JAKARTA - Pandemi COVID-19 masih jauh dari kata selesai, sementara para buruh belum mendapatkan kepastian dari pemerintah untuk mendapat bantuan.

Kebijakan pemerintah masih setengah hati dalam memberikan bantuan bagi masyarakat, masih banyak yang belum tercakup, termasuk para buruh.

Ketua Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) Indra Munaswar mengatakan situasi saat ini dalam kondisi tidak menentu akibat pemerintah tidak serius berpegang pada ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Ketika PSBB maka berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018, mestinya sudah masuk kategori karantina wilayah.

Banyak negara, misalnya Turki, menanggung biaya hidup seluruh masyarakatnya karena orang tidak bisa ke mana-mana atau tidak bisa ke luar rumah.

"Kalau itu karantina wilayah, artinya menurut UU, pemerintah bertanggung jawab terhadap seluruh rakyat atas kebutuhan dasar hidupnya dan hewan peliharaannya. Tapi ini kan tidak, harus tanggung jawab penuh loh," kata Indra kepada Gresnews.com, Senin (20/4).

Menurutnya, dalam konteks ketenagakerjaan bertambah kacau. Di satu sisi dikatakan tidak boleh beraktivitas. Tapi di sisi lain Menteri Perindustrian mengeluarkan surat edaran membolehkan industri berproduksi dengan mengajukan surat permohonan.

Akhirnya banyak perusahaan mengajukan permohonan dan diberikan izin, padahal bukan industri strategis. Itu artinya untuk pembatasan sosial dalam mencegah penyebaran virus menjadi percuma sehingga setiap hari semakin bertambah orang yang terdampak COVID-19.

Di kalangan pekerja juga menjadi tantangan berat antara bekerja atau tidak bekerja, sementara perusahaan masih berproduksi.

Di sisi yang lain, perusahaan-perusahaan yang sudah terpaksa harus menutup perusahaannya atau merumahkan karyawannya karena menghadapi masalah ekonomi yang berat. Karena tidak bisa ekspor, tidak bisa impor bahan baku dan lain sebagainya.

"Mestinya kalau sudah begini, pemerintah bertanggung jawab. Tidak bisa lepas tangan. Tidak bisa itu diserahkan kepada di bawah. Dia harus tanggung jawab, ini kondisi pandemi kok bukan kondisi yang normal," kata Indra.

Selain itu, kata dia, dibutuhkan cadangan anggaran negara yang besar. Bukan malah mengurusi infrastruktur, anggaran infrastruktur tidak dikurangi sama sekali. Mestinya itu dipindahkan untuk urusan ini sampai tuntas hingga hilang virus korona. Hal inilah yang menjadi kacau balau.

"Bagi perusahaan besar yang masih beroperasi masih agak mending. Itu pun kalau yang masih ada serikat pekerjanya. Kalau yang nggak ada. Sudah banyak kejadian pekerja di PHK tanpa pesangon. Kalau toh ada pesangon, pesangon dicicil. Ada yang dirumahkan sudah banyak. Tapi yang dirumahkan juga belum tentu bayar. Ada yang dibayar 50%-50%," katanya.

Menurutnya, hal-hal seperti ini mestinya pemerintah yang bertindak. Para pekerja, apalagi yang tidak ada syarat pekerjanya, tahu apa.

Mestinya menteri tenaga kerja membuat tim, melibatkan asosiasi pengusaha, melibatkan serikat pekerja, melibatkan para ahli.

Kalau perlu melibatkan Kejaksaan turun sama-sama memeriksa perusahaan yang tutup, yang merumahkan. Untuk memastikan hak para pekerja dibayar atau tidak, kalau tidak dibayar bagaimana tindakan pemerintah.

"Sampai saat ini mana ada coba. Periksa saja tanya Kemenaker apa. Yang ada surat edaran. Harus begini-begini. Nggak lagi penting edaran. Sekarang tindakannya apa, bentuk tim. Tim ad-hoc, tim deteksi dini, tim mengatasi masalah ketenaga kerjaan. Harus dibentuk itu," katanya.

Dari 40 juta lebih tenaga kerja formal tidak semuanya berserikat. Belum lagi tenaga kerja yang bekerja pada industri-industri informal.

Pekerja informal itu menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) ada sekitar 70 jutaan.

"Sementara kalau dia dirumahkan ngga dibayar upahnya atau di-PHK, pesangon belum dapat. Mau makan apa dia seharian?" katanya.

Akibat hal itu, mulai banyak tindakan kriminal terjadi, perampokan, penjambretan. Pemerintah tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi, tidak bisa harus menunggu korona selesai.

Selain itu, kata Indra, belum lagi ada perusahaan yang nakal. Menggunakan kesempatan ini untuk memberhentikan semua pekerjanya. Terutama bagi para pekerja tetap.

Sebulan dua bulan kemudian perusahaan tersebut membuka lowongan kerja dan menerimanya sebagai pekerja kontrak. Atau menerima pekerja dari calo, penyalur tenaga kerja.

"Itu yang perlu disikapi atau dibuat oleh pemerintah. Bukan lepas tangan begini. Dibilang uang anggaran tidak ada," katanya.

Sementara, menurut dia, program kartu prakerja pemerintah itu dinilai tidak tepat sasaran. Pertama, bisa saja tidak tepat sasaran. Yang kedua, prosesnya juga terbilang aneh.

"Masa mau bantu orang pakai ada tes matematikanya, ada tes ini, ada tes itu. Itu maksudnya apa coba. Kan ini bantuan. Ya sudah bantu. Oh, dia di-PHK bantu. Ngga usah pakai tes-tes segala. Buktikan kalau dia di PHK, kalau perlu perlu data oleh timnya didatangi perusahaannya. Benar nggak, ini perusahaan ini memberhentikan, dia tutup nggak," ujarnya.

Aplikasi kartu prakerja pun tidak jelas, banyak serikat pekerja dan buruh melaporkan hal itu. Ketika sudah mengisi aplikasi ternyata tidak ada tanggapan berikutnya.

"Saya sih belum tahu, tapi banyak teman yang sudah mencoba mengisi aplikasi itu sampai saat ini belum ada tanggapan. Padahal semua sudah dipenuhi syarat-syarat yang ada di aplikasi itu," katanya. (G-2)

 

BACA JUGA: