JAKARTA - Selama terjadi pandemi COVID-19, majelis hakim diharapkan dapat menggunakan pilihan untuk menghukum terdakwa selain dengan pemenjaraan. Tujuannya ialah untuk membantu mengurangi jumlah warga binaan pemasyarakatan di rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan yang sudah mengalami kelebihan kapasitas (overcapacity).

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah menegaskan hakim seharusnya berusaha untuk memproduksi putusan yang sejalan dengan pencegahan COVID-19, yaitu dengan pemidanaan non-pemenjaraan. "Kondisi kelebihan penghuni dan penyebaran COVID-19 menyebabkan rutan/lapas bukan lagi menjadi tempat aman untuk pelaksanaan pemidanaan," kata Liza kepada Gresnews.com, Senin (30/3).

Bahkan, organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menyerukan untuk mengurangi orang dalam tahanan demi untuk mencegah penyebaran masif COVID-19. Ada upaya yang dapat dilakukan hakim dengan memaksimalkan penggunaan pidana bersyarat dengan masa percobaan yang diatur dalam Pasal 14a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), untuk tindak pidana tanpa korban dan tindak pidana tanpa kekerasan, misalnya tindak pidana politik.

Upaya yang dapat dilakukan lainnya, dia melanjutkan, memaksimalkan pengguna pasal pidana bersyarat dengan masa percobaan yang menyertakan syarat khusus seperti dalam Pasal 14c KUHP untuk tindak pidana dengan korban, kekerasan ringan atau pun tindak pidana dengan kerugian ekonomi.

Ia menjelaskan untuk tindak pidana itu, hakim harus mengupayakan adanya syarat khusus berupa ganti kerugian atau kewajiban lain yang terkait dengan kompensasi kerugian korban. Nantinya, terpidana akan berada di bawah pengawasan Balai Pemasyarakatan untuk diawasi pemenuhan syarat umum dan syarat khusus atas putusannya.

"Terpidana akan menjadi klien dalam pengawasan Balai Pemasyarakatan. Pidana bersyarat juga dapat diberlakukan bagi pengguna narkotika coba-coba atau yang tidak butuh perawatan medis," ujarnya.

Untuk tindak pidana narkotika, sebagai perkara yang paling banyak diadili di pengadilan negeri, hakim bisa memperbaiki jalannya kebijakan narkotika yang saat ini kurang tepat dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif (restorative justice). Hakim harus mencegah pemenjaraan bagi pengguna narkotika, termasuk penguasaan dan kepemilikan untuk kepentingan pribadi.

Hakim juga harus mencegah adanya penahanan bagi pengguna narkotika. Sekalipun telah ditahan, hakim tetap harus mengupayakan adanya penilaian atas kebutuhan rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Hal itu sesuai dengan SEMA 4/2010 jo. SEMA 3/2011 bahwa hakim atas penilaiannya dibantu dengan surat keterangan dokter dan laboratorium dapat memutus dengan rehabilitasi sekalipun dalam proses penyidikan belum dilaksanakan proses penilaian oleh Tim Asesmen Terpadu (TAT).

Selain itu, menurutnya, hakim dapat menerobos ketentuan pidana minimum khusus untuk pengguna dan pecandu narkotika. Sesuai dengan SEMA 3/2015 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Rapat Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang menjelaskan jaminan rehabilitasi berdasarkan penilaian hakim, sekalipun penuntut umum tidak menggunakan Pasal 127, hakim diperbolehkan menyimpangi ketentuan minimum khusus pasal-pasal UU Narkotika, sehingga tidak harus memberlakukan pidana penjara.

"Lewat kebolehan menyimpangi ketentuan minimum khusus, hakim dapat memberlakukan pidana bersyarat dengan masa percobaan dalam Pasal 14a dan Pasal 14c KUHP untuk pengguna narkotika. Khususnya bagi mereka yang tidak membutuhkan rehabilitasi medis atau pengguna awal dan coba-coba," katanya.

Rehabilitasi tersebut bisa dilakukan dengan rawat jalan tanpa harus menginap di rumah sakit. Hal itu akan membantu pemerintah sendiri dalam memprioritaskan pasien COVID-19. 

Sebagai informasi, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Surat Edaran 1/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya. Dalam SEMA itu salah satunya diatur tentang persidangan perkara pidana, pidana militer, dan jinayat terhadap terdakwa yang secara hukum penahanannya masih beralasan untuk dapat diperpanjang, ditunda sampai dengan berakhirnya masa pencegahan penyebaran COVID-19. Penundaan persidangan dapat dilakukan dengan hakim tunggal.

(G-2)

BACA JUGA: