JAKARTA - Sidang perkara tindak pidana korupsi dalam proyek lelang bahan bakar minyak (BBM) jenis high speed diesel (HSD) dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji tetap berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, pada Senin (16/3) malam, di tengah kebijakan `isolasi` oleh pemerintah karena pandemi COVID-19. Sidang menghadirkan dua saksi ahli dari pihak terdakwa, yakni Irmansyah, seorang auditor/akuntan publik, yang melakukan penghitungan apakah benar ada kerugian negara dalam proses pengadaan BBM HSD 2010; dan Prof. Nindyo Pramono, ahli hukum perusahaan.

Irwansyah adalah auditor sejak 1993 di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Ia memulai karier sebagai akuntan publik pada 2002 dan menjadi pengajar di Universitas Indonesia (UI). Saat ini ia bekerja sebagai auditor swasta. Ia juga pernah duduk sebagai penasihat Bank Dunia untuk menyusun keuangan pemerintah pada 2003-2010.

Penasihat hukum terdakwa Julius I.D Singara menanyakan kepada Irmansyah, apakah ia pernah diminta untuk melakukan audit yang berkaitan dengan kasus korupsi lelang BBM di PLN pada awal persidangan. "Ya, saya pernah diminta oleh kantor hukum Bani Sentosa untuk audit atas beberapa kasus PT PLN dengan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI)," jawab Irmansyah, dalam persidangan yang hadiri oleh Gresnews.com tersebut.

Julius melanjutkan pertanyaan tentang Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang di dalamnya menyebutkan ada kerugian negara pada 2011, berkaitan dengan kasus PLN sebesar Rp188 miliar. Menurut Irmansyah, mengenai kerugian negara di dalam kasus lelang BBM HSD harus dilihat dari dua sisi. "Yang pertama itu dari sisi kerugian, ganti rugi. Yang kedua, masalah denda," kata Irmansyah.

Menurut dia, istilah kerugian keuangan negara kurang tepat, karena yang disebut kerugian itu bukan hanya masalah dari sisi debet melainkan juga kredit. Ada beberapa hal yang seharusnya dilihat, salah satunya adalah masalah pencairan jaminan. Kemudian juga masalah berapa efisiensi yang diperoleh oleh PLN atas penunjukan TPPI selama 2011-2012. Itu yang ia pikir perlu dijadikan unsur penerimaan negara dan PT Pertamina (Persero) adalah pemasok utama di PLN.

Ia berpendapat, dalam kasus ini, mestinya dipertimbangkan juga mengenai ganti rugi, denda, jaminan, dan efisiensi. Tentang ganti rugi, ada beberapa hal yang bisa dipertimbangkan. "(Selain itu) data yang saya gunakan di sini adalah data dari BPK sendiri. Karena di BPK dari lampiran kelima itu ada beberapa hal yang agak aneh. Karena menghitung kerugian justru di situ ada keuntungan. Misalnya, harga TPPI justru lebih mahal daripada harga pemasok lainnya, sehingga setelah saya hitung bukan hanya kerugian, ada keuntungan. Jadi PLN tidak ada kerugian malah ada keuntungan dari selisih harga. Apalagi sudah di-cover dengan jaminan sepanjang jaminan itu bisa dicairkan," jelas Irmansyah.

Julius menegaskan dari hasil penghitungan oleh Irmansyah, faktanya tidak terdapat kerugian negara. Justru negara diuntungkan. "Kalau berdasarkan acuannya dari laporannya BPK malah keuntungan negara sekitar Rp350 miliar. Kalau dari acuan putusan Badan Arbitrase Indonesia sekitar Rp150 miliar keuntungan negara," kata Julius kepada Gresnews.com seusai sidang.

Julius menambahkan, salah satu anggota majelis hakim juga menanyakan pada Irmansyah, pernahkah menemukan kesalahan auditor BPK seperti itu dan Irmansyah menjawab belum pernah ditemukan ada kesalahan seorang auditor yang cukup fatal seperti itu. "Ada sanksi etik di BPK," katanya.

Sementara itu Prof. Nindyo menjelaskan proses pengadaan barang dan jasa dalam lelang itu sudah sesuai proses, yakni ada mekanisme persetujuan dari korporasi, ada panitia pengadaan, kemudian ada persetujuan dari Komite Energi Primer, ada juga dari direksi dan kemudian persetujuan dari dewan komisaris.

"Maka ini merupakan suatu tindakan korporasi dan jika terjadi kerugian maka itu merupakan kerugian bisnis. Jadi direksi dalam hal ini dilindungi dengan prinsip bisnis yang diatur di dalam undang-undang perseroan terbatas," katanya.

Julius mengatakan bahwa Prof. Nindyo sudah menyampaikan bahwa salah satu bentuk kehati-hatian yang dilakukan adalah ketika direksi melakukan due dilligence. "Dan juga iktikad baik, contohnya, direksi melakukan pelelangan untuk mendapatkan hal yang terbaik. Itu bentuk iktikad baik dan kehati-hatian," tuturnya.

Mengenai pra dan pasca kualifikasi yang dijelaskan oleh Prof. Nindyo, maksudnya adalah ketika direktur utama menulis disposisi bahwa metode yang digunakan adalah prakualifikasi, tetapi Nur Pamudji sebagai pengguna barang menggunakan metode pascakualifikasi, hal itu tidak menjadi masalah.

"Karena saat itu Pak Dahlan Iskan (sebagai) direksi, bahkan seluruh direksi sudah meratifikasi, menyetujui tindakan tersebut, dan juga tidak ada kerugian terhadap perseroan, karena hal itu mendapat yang terbaik," jelas Julius.

Selain itu, lanjutnya, dari saksi terdahulu yaitu dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) membenarkan tindakan prakualifikasi dan pascakualifikasi itu adalah yang terbaik untuk meminimalisasi terjadinya persekongkolan.

Di pihak lain, kepada Gresnews.com, salah satu anggota tim jaksa penuntut umum (JPU) perkara itu, Ichwan, seusai sidang menjelaskan Irmansyah hanya menjelaskan mengenai masalah laporan audit yang berdasarkan versi terdakwa dan penasihat hukumnya, berbeda dengan sudut pandang jaksa, yang mengambil dari laporan BPK.

"Di situ kan ada selisih, ya tadi ada selisih dan juga ada denda. Nah itu dihitung dari jangka waktu empat tahun berdasarkan kontrak tersebut selama empat tahun. Hitungan dari BPK itu sudah sesuai dengan yang kita hadirkan di dalam persidangan dan ada kerugian negara sebesar Rp188 miliar," katanya.

Mengenai keterangan Prof. Nindyo, kata Ichwan, disebutkan apabila proses lelang tidak dilakukan dengan iktikad baik, tidak bertanggung jawab, itu bagaimana. Hal itu diatur dalam hukum perseroan terutama tentang pertanggungjawaban direksi.

"Direksi berwenang menjalankan kepengurusan sebagaimana dimaksud pada UU Perseroan Terbatas (Direksi menjalankan kepengurusan untuk kepentingan Perseroan dan acuannya adalah sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan). Asalkan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan anggaran dasar perseroan," katanya.

Menurut Ichwan, dalam proses pengadaan lelang tersebut ada intervensi atau campur tangan yang dilakukan oleh Nur Pamudji, yang saat itu sebagai direktur energi primer. Dari situ panitia pengadaan mengatakan tidak layak sebagai pemenang. Tapi diintervensi oleh Nur Pamudji. Dari situlah ada rekayasa untuk memenangkan TPPI/Tuban Konsorsium tersebut.

"Artinya di sini, kalau tadi ahli mengatakan bahwa itu termasuk ada perbuatan melawan hukumnya, konspirasinya. Nah itulah yang harus ditelusuri karena dia (Prof. Nindyo) secara detail tidak tahu tentang posisi kasus ini," tuturnya.

Selanjutnya, kata Ichwan, seharusnya pelaksanaan kontrak adalah selama empat tahun, namun pada pelaksanaannya hanya satu tahun setengah. "Ternyata ini tidak menguntungkan bagi PLN," ujarnya.

Kemudian, dia menambahkan, kalau penasihat hukum terdakwa menyebutkan ada wanprestasi, dasarnya apa? "Apakah ada putusan pengadilan perdata? Ternyata kan tidak. Kami, jaksa penuntut umum, tetap bahwa ini adalah perbuatan pidana. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh Nur Pamudji, sehingga yang seharusnya negara diuntungkan, ternyata ya rugi seperti tadi itu. Itu dari ahli mereka. Tapi dari ahli kami sudah jelas (merugikan negara)," kata Ichwan.

(G-2)

 

BACA JUGA: