JAKARTA - Para saksi dan ahli yang dihadirkan oleh pihak terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji menepis dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) bahwa Nur Pamudji merugikan keuangan negara sebesar Rp188,745 miliar. Ia didakwa telah melakukan penyimpangan kewenangan dengan kebijakan Right to Match (RTM) yang dianggap tidak memiliki dasar hukum. Nur Pamudji juga didakwa memperkaya orang lain, yaitu Honggo Wendratno, pemilik PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dalam kasus penjualan lelang BBM jenis High Speed Diesel (HSD).

Pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/3), yang diikuti oleh Gresnews.com, tim kuasa hukum Nur Pamudji menghadirkan dua orang saksi, yaitu Bonny Artha, pegawai PT PLN Divisi Treasury/Perbendaharaan PLN (saksi fakta) dan Nandang Sutisna, pegawai PT PLN Divisi Pengadaan Barang dan Jasa PLN (ahli).

Menurut Nandang, ada yang janggal dari dakwaan jaksa yang mendasarkan cara penghitungan selisih harga BBM HSD dari dua kontrak yang berbeda sebagai kerugian keuangan negara. Selisih harga yang dimaksud yaitu mengurangi harga kontrak yang baru dari Pertamina dengan TPPI yang sudah putus kontrak, kemudian dijadikan sebagai kerugian keuangan negara.

"Secara kaidah pengadaan, saya tidak sepakat dengan itu. Jadi kontrak putus, kemudian berkontrak lagi dengan yang baru. Harganya lebih mahal karena faktor pasar, sebenarnya itu biasa saja. Seperti itu kalau menurut pendapat saya," kata Nandang seusai persidangan di Gedung PN Jakarta Pusat, Senin (9/3/2020), malam kepada Gresnews.com.

Dalam proses seperti di atas, kata dia, semestinya tidak ada kerugian keuangan negara. Kenapa? Karena proses seperti itu biasa terjadi pada saat pengadaan barang dan jasa.

Dakwaan jaksa dan sangkaan Polri bahwa penerapan RTM tidak ada aturannya atau dasar hukumnya dan merupakan penyimpangan kewenangan juga ditepis oleh Nandang. RTM itu ada aturan hukumnya.

"Ya, ternyata kan ada ya. Tadi kan RTM sudah jelas di dokumen pengadaan. Dan di pengadaan pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) juga dikenal RTM sebetulnya. Itu metode yang paling moderat," katanya.

Bahkan, menurutnya, pengadaan pemerintah yang pakai Preferensi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKTN) 15% itu jauh lebih berpotensi mengeluarkan uang lebih banyak dibandingkan dengan RTM. "Jadi nggak ada sesuatu yang kemudian dikait-kaitkan dengan kerugian negara, sebenarnya tidak terjadi seperti itu. Tidak ada (kerugian keuangan negara)," kata Nandang.

Selain itu, lelang BBM HSD semua sudah sesuai prosedur. "Dari semua persidangan dibicarakan kan tentang pra kualifikasi dan pasca kualifikasi sudah sesuai, RTM juga sudah sesuai, pemutusan kontrak dengan plus denda dan lain-lain juga sudah sesuai. Jadi kerugian keuangan negara yang dilakukan dengan sekadar membandingkan nilai dua kontrak saya pikir itu tidak tepat dianggap sebagai kerugian keuangan negara dalam konteks tindak pidana," katanya.

Ia menjelaskan RTM adalah peraturan yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku karena diatur dalam dokumen pengadaan sehingga semua calon peserta lelang tahu bahwa aturannya ada seperti itu.

Sementara itu, Ketua Tim Kuasa Hukum Nur Pamudji, Julius I.D Singara, mengatakan dalam persidangan kali ini juga mengajukan satu saksi fakta dari PLN dari Divisi Treasury PLN. Untuk membuktikan bahwa Pembayaran terhadap BBM yang disuplai oleh Tuban/TPPI itu dilakukan langsung kepada TPPI sesuai dengan nomor rekening di dalam perjanjian.

"Jadi seperti tadi dijelaskan, BBM masuk ke PLN, kemudian ada berita acara serah terima baru dibayar. Artinya barang itu ada, tidak pernah barang fiktif," kata Julius seusai persidangan kepada Gresnews.com.

Julius menegaskan pembayaran yang dilakukan kepada TPPI menunjukkan dakwaan jaksa salah. Jaksa menyebut ada unsur memperkaya Honggo Wendratno. Faktanya tidak seperti itu tapi dibayarkan ke rekening TPPI. Kemudian ini juga sesuai dengan keterangan saksi dari JPU sendiri sebelumnya itu juga adalah rekening, memang rekening TPPI.

Ia juga mengajukan ahli pengadaan yang menyampaikan bahwa proses pengadaan yang dilakukan oleh PLN untuk BBM HSD 2010 tidak melanggar peraturan. Lanjutnya, bahwa saksi yang dihadirkan telah sesuai fakta dan meringankan terdakwa, juga senada dengan ahli dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Setya Arinanta.

"Bahwa RTM tidak melanggar. Itu merupakan suatu bentuk preferensi bahkan tadi dijelaskan oleh ahli preferensi 25%. Berarti pemerintah atau BUMN siap menanggung selisih 25%. Dan di dalam RTM tidak ada kerugian apa pun karena harganya turun. Jadi kami melihat, dan juga tadi dikatakan oleh ahli sendiri bahwa ada rapat oleh LKPP pada saat itu, Pak Setya, BPK juga membahas bahwa ini hanya masalah efisiensi yang tidak tercapai. "tutur Julius.

Julius mengutip salinan dokumen, "Bahwa selisih harga itu berdasar perjanjian yang diputus dengan harga BBM HSD yang dipasok oleh pemasok utama tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara. Karena selisih harga tersebut hanyalah potensi efisiensi yang tidak terealisasi karena faktor pasar. Hal ini diatur dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah. Bahkan pimpinan LKPP dan BPK dahulu telah sepakat, potensi efisiensi yang hilang atau potensi pendapatan yang hilang tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara."

(G-2)

BACA JUGA: