JAKARTA - Persidangan kasus lelang pengadaan bahan bakar minyak (BBM) jenis High Speed Diesel (HSD) pada 2010 dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (11/2), kembali bergulir. Dalam persidangan kali ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yakni seorang auditor Yitno MAk., CPA., CMA., CFr.A., CA. yang saat ini menjabat sebagai Kepala Sub Auditorat VII B.2.

Ia menjelaskan tujuan audit BPK terhadap pembelian BBM jenis HSD untuk mengungkap ada atau tidaknya kerugian negara terhadap pembelian BBM (HSD). BPK telah melakukan beberapa kali audit sejak awal kasus ini bergulir hingga saat ini, dan hasilnya sama yaitu adanya kerugian negara. "Terakhir tahun 2018 bahwa ada kerugian negara Rp188 miliar di PT PLN," kata Yitno di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (10/2), yang diikuti oleh Gresnews.com.

Yitno menjawab pertanyaan dari jaksa tentang apa saja kerugian tersebut, sesuai Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) ada kerugian negara akibat pembelian BBM jenis HSD tersebut sebesar Rp188 miliar. Kerugian tersebut berasal dari selisih harga dari awal perjanjian hingga akhir perjanjian (2010-2014). "Ada dua hal penyebab kerugian yang terjadi: adanya selisih harga dan perlambatan pembayaran," katanya, dalam persidangan.

Namun, penasihat hukum Nur Pamudji, Julius I. D. Singara dari Lubis Santosa & Maramis (LSM) Law Firm, mengajukan dokumen yang menunjukkan adanya kesalahan penghitungan perkalian dalam nominal selisih harga. Dokumen yang ada justru menyebut harga penggantian BBM HSD yang gagal pasok dari PT TPPI justru lebih murah, sehingga justru bukan kerugian yang didapat, tetapi justru PLN yang diuntungkan sekitar Rp190 miliar.

Menanggapi hal itu Yitno menegaskan tak bisa membenarkan begitu saja adanya salah perhitungan lantaran perlu melihat dokumen aslinya terlebih dulu. "Kalau memang dokumen kami seperti ini, kami salah. Kalau dokumennya ternyata tidak seperti ini maka kami benar," jawabnya dalam persidangan.

Ketua Majelis Hakim Muhammad Sirad menanggapi perdebatan antara ahli, jaksa, dan pengacara itu. "Atas kesalahan hitung dalam mengalikan nominal angka, kami memberikan waktu kepada semua pihak seluas-luasnya, termasuk kepada ahli dari BPK," katanya.

Ditemui usai sidang oleh Gresnews.com untuk meminta keterangan lebih lanjut, Yitno mengatakan tak bisa memberi keterangan lain. "Nggak ada kewenangan dari kantor pimpinan. Kami di sini ditugasi untuk memberi keterangan. Tidak ada kewenangan untuk ngomong ke sana ke mari, ke media tersebut, nggak ada. Jadi kantor yang mengatur," kata Yitno kepada Gresnews.com.

Sementara itu, Julius mengatakan ahli dari BPK yang diajukan oleh JPU merupakan ketua tim LHP yang melakukan audit investigatif kerugian terhadap negara. Namun terdapat kesalahan dalam perhitungan yang terbukti di dalam persidangan.

"Yang ada adalah keuntungan diterima oleh negara sebesar kurang lebih Rp190 miliar. Jadi kerugiannya ada di mana? Harga per liter pemasok pengganti dibandingkan harga Tuban Konsorsium ternyata harga pemasok pengganti lebih murah. Jadi kerugiannya ada di mana?" kata Julius usai persidangan kepada Gresnews.com.

Namun, sayangnya, majelis hakim masih tetap memberikan kesempatan, sebab adanya dokumen LHP terbaru yang diserahkan merupakan bukti dan merupakan satu kesatuan dalam dokumen perkara, berkas perkara yang menjadi dasar bagi penyidik dan juga bagi JPU untuk menuntut terdakwa Nur Pamudji.

Penasihat hukum keberatan, seharusnya LHP atau bukti baru tidak dapat lagi diajukan karena laporannya sudah selesai dan sudah ditandatangani oleh BPK sendiri, dan setiap halamannya itu diparaf. "Jadi besok kalau datang dengan angka yang lain, kan namanya buktinya berubah dong. Itu kan lembaga negara menerbitkan laporan hasil pemeriksaan," kata Julius.

Julius juga menyayangkan keterangan auditor yang mengaku hanya membaca sepintas hasil audit. "Apakah auditor seperti itu melakukan audit yang independen dan objektif?" katanya.

Lanjut Julius, dia membuat keterangan yang tidak benar. "Jadi ya dia harus bertanggung jawab secara profesional dan moral juga. Tadi sudah saya sampaikan juga, bahwa pembuatan LHP sedemikian rupa ini menzalimi terdakwa loh," ujarnya.

(G-2)

 

BACA JUGA: