JAKARTA - Dalam kasus lelang pengadaan bahan bakar minyak (BBM) jenis High Speed Diesel (HSD) pada 2010 dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji, nama Honggo Wendratno kerap disebut dalam dakwaan. Honggo adalah mantan Direktur Utama PT Trans Pasific Petro-chemical Indotama (TPPI) yang memiliki peran penting untuk mengungkap kasus ini.

Jaksa Penuntut Umum Yanuar Utomo ingin menjadikan Honggo sebagai saksi, namun ia masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). "Orang kalau sudah DPO, ya kita mau cari nggak ada. Yang jelas dari daftar pencarian orang berarti lagi dicari. Semua kan dikirim lewat interpol bisa, lewat kedutaan besar bisa," kata Yanuar kepada Gresnews.com di PN Jakarta Pusat, Senin, (3/2).

Penasihat hukum Nur Pamudji, Julius I. D. Singara, dari Lubis Santosa & Maramis (LSM) Law Firm, mengatakan Honggo adalah Direktur Utama PT TPPI sehingga selalu disebut dalam dakwaan. "Kami tidak tahu apa Honggo bisa dihadirkan. Itu bisa ditanyakan sama jaksa. Karena tadi katanya mereka tidak bisa menghadirkan," kata Julius kepada Gresnews.com.

Dalam persidangan lanjutan Senin 3 Februari 2020 di PN Jakarta Pusat, jaksa membacakan berita acara dari ketiga orang. Di antaranya Honggo, Tai Chong Hit dan Purwoko. "Nanti berita acaranya akan dibacakan. Itu sumpahnya di Singapura. Tapi ada BAP-nya di Singapura," kata Julius.

Menurut Julius, dari ketiga saksi tersebut, jaksa tidak dapat menghadirkan dua saksi, yaitu Honggo dan Tai Chong Hit. Satunya lagi telah meninggal dunia, yaitu Purwoko.

Selain dalam kasus PLN ini, Honggo juga telah ditetapkan sebagai tersangka beberapa tahun lalu terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) penjualan kondensat bagian negara yang menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah merugikan keuangan negara sebesar US$2,716 miliar.

Menurutnya, setelah dilacak oleh tim penyidik, hingga saat ini Honggo Wendratno masih berada di Singapura dan mulai menetap di sana agar tidak bisa ditangkap tim penyidik Bareskrim Polri.

BPK menaksir kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi dan pencucian uang terkait penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan SKK Migas, Kementerian ESDM, dan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) mencapai US$2,716 miliar.

Dalam kasus yang menyeret tiga tersangka, yakni mantan Deputi Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono, mantan Kepala BP Migas Raden Priyono, dan pendiri PT TPPI Honggo Wendratno tersebut, penyidik sudah memeriksa puluhan saksi dari unsur SKK Migas, TPPI, Kementerian Keuangan, Pertamina, dan Kementerian ESDM.

Kasus bermula dari penunjukan langsung BP Migas terhadap PT TPPI pada bulan Oktober 2008 terkait penjualan kondensat dalam kurun 2009 sampai 2010. Perjanjian kontrak kerja sama kedua lembaga tersebut dilakukan Maret 2009.

Penunjukan langsung ini menyalahi Peraturan BP Migas Nomor KPTS-20/BP00000/2003-50 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondesat Bagian Negara dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-S0 tentang Pembentukan Tim Penunjukan Penjualan Minyak Mentah Bagian Negara. (G-2)

BACA JUGA: