JAKARTA - Setelah beberapa kali tertunda, persidangan kasus lelang pengadaan bahan bakar minyak (BBM) jenis High Speed Diesel (HSD) pada 2010 dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (3/2), kembali bergulir. Dalam persidangan kali ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan ahli yakni Sekretaris Utama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP)  Setya Budi Arijanta.

Secara garis besar, Setya Budi menjelaskan tentang proses pelaksanaan tender, termasuk siapa yang menanggung kerugian bila terjadi hal-hal di luar kesepakatan. "Penyedia utama yang harus menanggung kerugian," kata Setya Budi saat bersaksi di dalam persidangan perkara itu yang dihadiri oleh Gresnews.com.

Pada persidangan Senin, 2 Desember 2019, saksi Wakil Presiden Direktur PT Trans Pacific Petro-Chemical Indotama (TPPI) Bambang Luksiono Marguhadi mengakui Direktur Utama TPPI Honggo Wendratno, yang kini berstatus buron, adalah orang yang membentuk konsorsium untuk memenuhi persyaratan tender di PLN. Konsorsium itu terdiri dari TPPI (ketua), PT Tuban LPJ Indonesia (TLI), dan PT Tuban BBM. Bambang berkata semua itu yang melakukan adalah Honggo dan direksi lain tidak banyak mengetahui. Saksi lain yakni Dirut TPPI tahun 2015, Katarina Denni Wisnuwardani mengakui kondisi keuangan TPPI memprihatinkan dan kesulitan membayar ganti rugi Rp29 miliar kepada PLN akibat kegagalan memasok BBM pada 2010.

Setya Budi kemudian juga ditanya oleh Nur Pamudji tentang berapa volume yang dapat dihitung dari pengadaan BBM HSD oleh PLN itu, dan apakah ada penghematan. Setya Budi menjawab bahwa ia bukan seorang ahli penghitungan keuangan negara. Hal itu, kata dia, sebaiknya ditanyakan kepada pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

JPU Yanuar Utomo menegaskan ahli yang dihadirkannya kompeten dan mampu memberikan pembuktian yang diharapkan. "Ahli mendukung pembuktian kami. Itu penting untuk membuktikan dakwaan," ujarnya kepada Gresnews.com.

Menurut Yanuar, unsur-unsur tindak pidana sudah terbukti. Misalnya, jelas dia, lelang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di PLN. Kemudian pengguna (user), yakni PLN, mengintervensi serta melakukan perbuatan yang bukan merupakan pekerjaannya.

Sementara itu, penasihat hukum Nur Pamudji, Julius I. D. Singara dari Lubis Santosa & Maramis (LSM) Law Firm, mengatakan JPU mengajukan ahli dari LKPP yang mempunyai keahlian pada bidang pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah. Padahal, tegasnya, PLN adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Tadi kita menyambut gembira. Karena ahli LKPP ternyata memberikan keterangan yang sangat meringankan Pak Nur Pamudji ya. Karena apa yang dilaksanakan Pak Nur Pamudji pada keterangan ahli LKPP itu benar," kata Julius kepada Gresnews.com saat rehat persidangan.

Menurut Julius, ahli dari LKPP mengatakan dalam peraturan Menteri BUMN disebutkan bahwa BUMN itu diminta untuk memprioritaskan produksi dalam negeri. Salah satu bentuk penerapan pengutamaan produksi dalam negeri yaitu Right to Match (RTM). Namun, menurut saksi Vice President Fuel Industry Marketing PT Pertamina (Persero) Dani Adriananta dan Kepala Bagian Hukum PT Shell Indonesia tahun 2010 Widowati Ratno Djajanti Soekirman, TPPI tidak layak memperoleh RTM. Alasannya adalah karena TPPI tidak bisa menyuplai sesuai syarat dari PLN dan ada kemungkinan TPPI melakukan impor sehingga hal itu menyalahi aturan. (G-2)

BACA JUGA: