JAKARTA - Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss, telah resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), pada 9 Desember 2019. Namun langkah itu dinilai tak cukup untuk menekan Uni Eropa.

Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H. Maming menilai langkah tersebut tidak cukup efektif. HIPMI mengusulkan Indonesia menghentikan pembelian sebanyak 313 pesawat komersial Airbus yang sudah dipesan dari Perancis. "Gertak saja dengan menghentikan pesanan Airbus," ujar Mardani dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Rabu (18/12).

Maming mengatakan, total pesanan pesawat Indonesia ke Airbus saat ini sebanyak 313 unit. Yang telah selesai dibuat mencapai 95 unit: Citilink sebanyak 25 unit, Garuda Indonesia 58 unit, dan terbanyak oleh Lion Air 230 unit. "Kita adalah pemborong pesawat terbesar di Airbus," ujar Maming.

Dia mengatakan, meski memesan banyak pesawat dari Perancis, namun Perancis tidak berbuat sesuatu yang dapat membantu penyelesaian masalah diskriminasi CPO Indonesia di Eropa. Padahal, suara Perancis sangat berpengaruh besar di parlemen Eropa. Sebab negara itu memiliki kursi terbanyak. "Jadi, buat apa kita baik-baikan sama dia. Dia enggak bantu-bantu. Malah ikut ngompor-ngomporin CPO kita," ujarnya.

Maming mengatakan, kontribusi pembelian pesawat Indonesia sangat besar dibandingkan dengan ekspor sawit Indonesia ke Eropa. Diperkirakan pembelian pesawat ke Airbus mencapai US$42,8 miliar (setara Rp599 triliun), sedangkan ekspor sawit Indonesia ke Eropa pada 2018 sebesar US$4 miliar hingga US$5 miliar. "Tidak sebanding dengan kontribusi devisa kita ke dia. Meskipun itu realisasinya bertahap," ujar Maming.

Gugatan pemerintah Indonesia diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE yang diterapkan Uni Eropa. Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.

Rencana penghentian pemakaian minyak sawit sebagai bahan bakar hayati di Uni Eropa pada 2030 tercantum dokumen Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II). Pelarangan akan berlaku total mulai 2030 dan pengurangan dimulai sejak 2024. Negara-negara anggota Uni Eropa menyoroti masalah deforestasi alias perusakan hutan akibat adanya budi daya sawit yang masif.

Delegated Regulation itu merupakan aturan pelaksana RED II yang mengkategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi. Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.

Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapa sawit oleh UE. Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke UE, juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global. (G-2)

BACA JUGA: