JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyoroti soal anak usaha perusahaan pelat merah yang jumlahnya sangat banyak. Langkah Kementerian BUMN yang akan melakukan evaluasi terhadap seluruh anak dan cucu usaha BUMN didukung pengusaha, bahkan mereka menyarankan agar anak cucu BUMN dijual saja ke swasta.

Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Mardani H. Maming mendukung rencana Menteri BUMN Erick Thohir mengkaji anak dan cucu usaha BUMN. "Maka kami usul, tawarkan saja ke swasta. Ditender ke swasta," ujar Maming kepada Gresnews.com, Senin (16/12).

Ia mengatakan, kehadiran anak dan cucu usaha yang menggurita menjadi sumber pemborosan dan membuat daya saing BUMN melemah. Rantai pasok (supply chain) BUMN saat ini dimonopoli oleh anak dan cucu usaha BUMN itu sendiri. Satu BUMN bisa memiliki puluhan bahkan ratusan anak dan cucu.

PT Pertamina (Persero) saja memiliki sekitar 142 anak dan cucu perusahaan. Sementara itu PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) juga tercatat mempunyai sekitar 60 anak dan cucu perusahaan. "Mungkin jumlah mereka saat ini hampir seribuan," ujar dia.

Akibat monopoli dari hulu ke hilir ini, rantai pasok BUMN tidak efisien dan menjadi ajang pemborosan baru. Sebab proses pengadaan di BUMN menjadi sangat panjang. "Memang akhirnya, pengadaan itu diserahkan ke swasta. Tapi panjang. Sebab melalui anak dan cucu-cucu usahanya. Kenapa tidak langsung mother company-nya saja yang langsung tender ke swasta," ucap dia.

Maming mengatakan dengan ditawarkan ke swasta, terjadi persaingan yang ketat di pihak vendor atau calon supplier. Dengan demikian, BUMN akan mendapatkan harga yang kompetitif dan kualitas barang dan jasa yang bagus pula. "Kita lihat di BUMN itu pemasoknya hampir tidak ada persaingan, ada penunjukan langsung karena anak dan cucu usaha atau tiba-tiba ada aturan anak usaha diminta bermitra dengan swasta. Padahal swasta bisa bersaing secara sehat memasok ke BUMN. Ruang-ruang ini tidak cukup sehat tercipta di BUMN," ucap Maming.

Dampak dari pemborosan ini, daya saing BUMN sangat lemah. Profitabilitas BUMN sangat memprihatinkan. Dari 142 BUMN, hanya sebagian kecil yang bisa dianggap memiliki profit dan punya kontribusi terhadap pendapatan negara. Laba BUMN sebesar Rp189 triliun, hanya 15 BUMN yang berkontribusi hingga 73%.

Sebab itu, Maming meminta agar ekosistem usaha BUMN disinergikan dengan sektor swasta. "Swasta itu kan 100 persen nafas atau rohnya daya saing dan persaingan. Kalau BUMN, yang separuh nafasnya sosial, bersinergi dengan swasta, marwah kompetitif itu akan tertransfer juga ke BUMN," ucap Maming.

Maming mencontohkan, industri keuangan yang dikelola BUMN saat ini, kinerjanya sangat bagus. Hal ini terjadi, sebab industri keuangan sangat ketat membatasi penguasaan usaha yang di luar core business BUMN Perbankan. "Bank-bank kita kinerjanya bagus-bagus. Aturannya ketat di sana. Mereka dilarang berbisnis di luar keuangan. Kan lucu kalau Bank Mandiri tiba-tiba punya bisnis laundry," ujar Maming.

Maming sepakat dengan Erick bahwa BUMN harus fokus menggarap lini usaha inti-nya saja.

Sebelumnya Erick mengatakan, hanya ada 15 BUMN yang punya kinerja laba yang memuaskan. Hal tersebut sebenarnya tidak baik, karena dari keseluruhan BUMN hanya sedikit yang mampu mengolah bisnisnya dengan baik. Ke-15 BUMN itu ternyata fokus pada bisnis dan sektor tertentu saja, misalnya perbankan, telekomunikasi, komunikasi, dan oil and gas. (G-2)

BACA JUGA: