JAKARTA - Apa pangkal masalah munculnya polemik tentang Tous Les Jours dan sertifikat halal, yang dipicu oleh inisiatif manajemen Waralaba Toko Roti asal Korea Selatan itu yang menempelkan aturan tentang pelarangan penulisan hari besar agama selain Islam (Natal dan Imlek) dan untuk perayaan yang tidak sesuai syariah Islam seperti Halloween dan Valentine? Tous Les Jours menyatakan pelarangan itu mengacu pada peraturan sistem jaminan halal. Tous Les Jours sedang dalam proses pengurusan sertifikat halal.  

Sontak aturan tersebut mengundang pro dan kontra yang didominasi oleh cercaan dari warganet. Pihak manajemen Tous Les Jours kelimpungan tidak mampu menjawab serbuan tersebut dan menyatakan bahwa aturan tersebut hanya berlaku untuk kalangan internal.

Mantan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, JM Muslimin, MA, PhD., menyatakan kurangnya sosialisasi dan pengetahuan merupakan masalah pertama yang menimbulkan polemik Tous Les Jours. 

Pria asal Bojonegoro yang saat ini menjabat Ketua Program Magister Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut juga menyoroti tentang lampiran Surat Keputusan (SK) Nomor 46/Dir/LPPOM/MUI/XII/14 tentang Ketentuan Penulisan Nama Produk dan Bentuk Produk yang menjadi asal mula atau sumber perkara Tous Les Jours. 

“Acuannya kan dari peraturan itu. Tous Les Jours mengacu pada aturan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Maka harus dibedah dulu aturan tersebut agar diskusi tetap berada di relnya,” kata Muslimin di Jakarta, Selasa (26/11).

Menurut Muslimin, banyak kelemahan aturan tersebut. Di antaranya soal inkonsistensi. Nama-nama produk yang mengarah pada hal-hal yang menimbulkan kekufuran dan kebatilan tidak dapat disertifikasi. "Tetapi, anehnya, juga dijelaskan dalam lampiran yang sama, produk tertentu yang telah dikenal luas tidak mengarah kepada hal negatif, seperti spa sensual yang ditulis eksplisit, bisa mendapatkan sertifikat halal," kata dia.

Hal kedua adalah tentang indikasi adanya “masalah bawaan” dari peraturan MUI itu sendiri. Lampiran tersebut terindikasi mengatur lebih dari sekadar sertifikasi, seperti soal bahan pokok dan pemrosesan produk, bahkan menjurus kepada untuk apa roti tersebut dipergunakan. Dalam bahasa hukum, ini mirip dengan ultra petitum, di mana hakim memutus lebih dari yang dimohonkan. 

Peraih gelar PhD dari Universitas Hamburg Jerman itu juga menyatakan, peraturan MUI tersebut dari sisi teori hukum Islam masih dibatasi oleh prinsip preventif dan pre-emptif (sad Al-dzariah). 

“Asumsinya, hal-hal yang menjurus kepada keharaman dianggap dengan sendirinya terbukti haram, self-evidence. Padahal dalam konteks tantangan kemajemukan dan kerjasama saling memberi manfaat, dalam perspektif tradisi, ajaran juga iklim investasi perdagangan, justru prinsip sertifikasi halal sebaiknya berbasis pada legalitas, inklusivitas, dan proporsionalitas. Sesuai tekstualitas aturan kewenangan yuridis dan terbuka untuk semua tradisi dan keyakinan” jelas Muslimin. 

“Filosofinya adalah membuka peluang kebaikan dan kemanfaatan sebesar-besarnya (fath al-dzariah) untuk memperjelas posisi Islam rahmatan lil alamien,” sambung mantan santri Gontor yang juga menggawangi Dewan Ahli di Perkumpulan Halal Institute.

Menurut dia, prosedur sertifikasi secepatnya mulai ditempatkan dan dikuatkan di atas rel regulasi sesuai perkembangan terkini. Agar prosesnya lebih akuntabel dan meniscayakan keterlibatan publik yang lebih luas. "Apalagi sekarang kan jaminan produk halal itu sudah mandatory, ditangani langsung oleh negara, bukan voluntary lagi seperti zaman MUI dulu," pungkasnya. (G-2)

BACA JUGA: