AGUNG NUGRAHA
Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pecah kongsi dengan WWF Indonesia? Ya, informasi itu bukan lagi rumor atau sebatas isu. Adalah foto salinan formulir berita radiogram Menteri Lingkungan Hidup  dan Kehutanan (Menteri LHK) tertanggal 19 September 2019 yang diterima oleh gubernur, bupati dan wali kota seluruh Indonesia. Radiogram, yang pada era digital sekarang ini, dengan sangat cepat segera menyebar dan beredar masif di berbagai kelompok diskusi.

Dengan klasifikasi penting dan sangat segera, pesan Menteri LHK yang termaktub dalam radiogram tersebut bisa dikatakan telah menjadi pemicu (trigger) perseteruan yang selama ini bersifat di bawah permukaan alias manifes. Telegram tersebut telah meningkatkan eskalasi konflik, yang semula masih bersifat laten menjadi sengketa (dispute) terbuka sebagaimana diungkapkan Dahrendorf (1959). Hal itu sekaligus memberikan konfirmasi kepada publik tentang terancam putusnya jalinan—untuk sementara waktu—hubungan kemitraan kedua belah pihak.

Sudah barang tentu banyak organisasi dan pegiat konservasi yang terkejut. Bahkan tidak sedikit tokoh yang menyayangkan. Belum lagi kebingungan beberapa pemerintah di daerah-–baik provinsi, kabupaten dan kota—atas rencana kelanjutan program kerjasama mereka dengan WWF Indonesia.

Bagaimanapun, kerjasama antara KLHK dengan WWF Indonesia telah berhasil menggabungkan dua kekuatan besar di bidang konservasi dan kehati. Pemerintah dan masyarakat sipil madani. Kerja bersama keduanya terbukti telah memberikan banyak kontribusi. Konkrit dan riil dalam bentuk implementasi di tingkat tapak. Wajar bila konflik tersebut kemudian menimbulkan beragam pertanyaan.

Konflik Pintu Masuk Perubahan
Konflik tidak selamanya buruk. Apalagi bersifat tabu sehingga harus dihindari. Termasuk ditutupi. Dalam beberapa perspektif, konflik justru diperlukan untuk membuka pintu gerbang perubahan. Meminjam konsep Robbin (1996) dalam bukunya The Conflict Paradoks dinyatakan pandangan konflik yang memiliki dua wajah yang saling bertentangan. Bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok melalui konsensus. Tetapi di sisi lain konflik dinilai sebagai sesuatu yang buruk sehingga harus dilakukan minimalisasi.

Lebih jauh, dalam salah satu pandangan yang bermuara pada konsep hubungan manusia atau The Human Relation View, Robbin (ibid) menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu gejala manusiawi. Sebuah peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok masyarakat atau organisasi. Termasuk antarorganisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari. Karenanya, konflik harus dikelola. Dijadikan sebagai suatu media yang bermanfaat guna mendorong terjadinya perubahan. Khususnya peningkatan kinerja organisasi.

Perseteruan Menteri LHK dengan mitra tradisionalnya, WWF Indonesia, haruslah dinilai dalam konteks positivistik. Setidaknya, terdapat tiga perspektif utama.

Pertama. Merujuk isi radiogram Menteri LHK dinyatakan  bahwa kerjasama KLHK dan WWF Indonesia berdasarkan perjanjian kerjasama No. 188/DJ-VI/BINPROG/1998 tertanggal 13 Maret 1998 Jo MoU No CR/026/III/1998. Artinya, kerjasama keduanya secara resmi telah berlangsung selama ± dua dekade.  Dalam konteks pandangan tentang perubahan, wajar bila dalam kurun waktu yang relatif lama tersebut perlu ada suatu penyesuaian sekaligus pembaharuan. Terlebih, globalisasi dewasa ini telah mendorong pesatnya perubahan konstelasi dan perubahan lingkungan strategis di sektor hutan dan kehutanan di berbagai tingkatan. Baik lokal, nasional, regional dan global. Karena itu, perubahan menjadi sebuah keniscayaan.

Kedua. Masih merujuk pada isi radiogram yang sama, berdasarkan hasil evaluasi Menteri LHK No. 291/MenLHK/SETJEN/ROKLN/KLN-0/2/2019 tertanggal 23 Maret 2019 dinyatakan bahwa bidang yang menjadi objek kerjasama adalah konservasi dan kehati.  Sangat jelas dan pasti hal itu sepenuhnya merupakan yuridiksi KLHK sebagaimana diatur dalam Pasal 360 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.  Apa yang telah dilakukan oleh WWF Indonesia bersama dengan para gubernur, bupati dan wali kota di berbagai wilayah di Indonesia merupakan pengejawantahan kerja konservasi dan kehati dalam rangka perlindungan dan pelestariannya di era desentralsiasi. Apabila berdasarkan evaluasi Menteri LHK di atas, WWF Indonesia dinilai “melampaui” batas kewenangan yang menjadi yuridiksi KLHK, memang sepatutnya harus diperbaiki. Baik dengan melakukan revisi, koreksi atau menyusun SOP (Standar Operasional Prosedur) baru sesuai dengan tupoksi yang menjadi kewenangan KLHK maupun UPT KLHK di bidang konservasi dan kehati di daerah. Antara lain BKSDA maupun Taman Nasional serta lembaga-lembaga lainnya di daerah.

Ketiga. Penilaian Menteri LHK atas sikap WWF Indonesia yang dianggap overclaim atas kerja-kerja konservasi dan kehati yang dilakukannya juga patut dilihat sebagai sebuah pelurusan sikap yang selama ini dipandang sangat sensitif. Walaupun tetap dengan kacamata konstruktif dan jauh dari penilaian subjektif. Artinya, di era keterbukaan berbasis digital dewasa ini konflik dan resolusi konflik yang berjalan harus menjadi bagian dari sebuah upaya untuk meluruskan mekanisme sekaligus menyempurnakan standar  atas ungkapan capaian keberhasilan. Kembali lagi jangan sampai ungkapan klaim keberhasilan tersebut secara obyektif dinilai “melampui” batas. Harus terdapat kriteria objektif atas parameter “melampui” batas tersebut. Bagaimanapun kerja dengan kelengkapan kriteria dan indikator kinerja akan memberikan kenyamanan diantara para pihak. Baik WWF Indonesia  sebagai sebuah supporting system sekaligus KLHK sebagai institusi negara pemegang domain kerja konservasi dan kehati. Sangat jelas dan logis.

Karenanya, dengan memahami ketiga perspektif di atas, kedua belah pihak akan bisa menghasilkan sebuah konsensus baru. Bagaimana kerja konservasi dan kehati ke depan dilakukan bersama dengan rambu–rambu yang tidak lagi abu–abu. Melainkan sangat jelas. Pasti dan tidak akan menimbulkan multiinterprestasi. Pada akhirnya tidak ada lagi yang bisa menimbulkan salah persepsi.

Implikasi Konflik
WWF Indonesia merupakan organisasi konservasi independen yang telah berkiprah selama ± 57 tahun di Indonesia. Dengan 24 kantor yang tersebar di seluruh negeri disertai dukungan tidak kurang dari 40,000 supporter individu di Indoensia dan sebanyak 6 juta di seluruh dunia menempatkan WWF Indonesia sebagai salah satu organisasi penting dan strategis yang memiliki kontribusi dan pengaruh nyata. Tentu dalam upaya perlindungan dan pelestarian konservasi dan kehati di Indonesia (WWF. 2019). Bukan hanya di tingkat domestik, melainkan juga dalam aras internasional.

Dengan kredibilitasnya, WWF Indonesia menjadi salah satu rujukan utama berbagai pemangku kepentingan di tingkat lokal maupun internasional dalam menyelesaikan beragam issue dan agenda konservasi dan kehati di Indoensia. Periode masa kerja organisasi yang telah demikian panjang, juga telah berhasil menempa banyak SDM WWF Indonesia. Mulai dari kader-kader, aktivis hingga pegiat konservasi yang kemudian menjelma menjadi tokoh-tokoh konservasi yang malang melintang di berbagai lembaga dan institusi. Domestik dan juga internasional.

Visi yang menjadi perjuangan WWF Indonesia sejalan dengan amanat konstitusi. Hutan lestari masyarakat sejahtera. Hal itu dilakukan dengan mengusung misi utamanya. Yaitu melestarikan, merestorasi serta mengelola ekosistem dan kehati Indonesia secara berkeadilan demi keberlanjutan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Tak dapat dibantah, WWF Indonesia memang pantas dirangkul oleh berbagai lembaga dan institusi dalam memperjuangkan kepentingan konservasi dan kehati.

Pecah kongsi (baca: konflik) antara WWF Indonesia dengan KLHK yang kini akan merembet ke ancaman penundaan maupun kelanjutan jalinan kerja bersama dengan pemerintah di daerah, diyakini akan menghambat kerja-kerja perlindungan dan pelestarian konservasi sekaligus kehati. Bagaimanapun, pemerintah memiliki keterbatasan kemampuan di lapangan. Baik anggaran dan sumberdaya manusia. Luasnya wilayah dan kompleksnya dimensi konservasi dan kehati memang membutuhkan dukungan para pihak. Tentu yang bersifat saling melengkapi, bukan yang saling mempecundangi. Karenanya, WWF Indonesia yang telah berkiprah hampir enam dekade sejak berdirinya, harus tetap dijadikan aset strategis pemerintah.

Implikasi lain, konflik tak berkesudahan KLHK dengan WWF Indonesia bisa berimbas terhadap memburuknya persepsi dunia internasional terhadap konservasi dan kehati nasional. Terlebih, dengan kemajuan teknologi digital membuat perjuangan diplomasi konservasi dan kehati Indonesia di dunia internasional menjadi kian berat. Sekali lagi, kredibilitas dan jaringan sosial politik WWF Indonesia dengan berbagai mitranya di dunia internasional sedikit banyak bisa membantu pemerintah dan para pihak lainnya dalam menjalankan diplomasi konservasi dan kehati. Bukan hanya kayu—hutan alam dan hutan tanaman—saja yang bisa memanfaatkan keberadaan dan peran WWF Indonesia. Termasuk primadona baru komoditas sawit yang kini tengah memperoleh serangan gencar dari kompetitor global. Antara lain melalui skema Mobilization Online (MO) berbasis kehati. Komoditas sawit juga bisa memperoleh dukungan WWF Indonesia sebagaimana kerja-kerja yang saat ini dilakukan.

Penutup
Konflik KLHK dengan WWF Indonesia tidak boleh dipandang sebelah mata. Apalagi hanya dalam kacamata kuda yang bernuansa gelap mata. Seluruhnya negatif semata. Ia juga harus dipandang secara holistik  sebagai sebuah mekanisme alamiah organisasi untuk menghasilkan perubahan konkrit dan nyata. Pascakonflik ini, sangatlah diharapkan akan diraih konsensus baru terkait dua hal yang menjadi isu sekaligus agenda utama.

Pertama, kesesuaian tupoksi kerja bersama yang menjadi yuridiksi resmi KLHK selaku pemegang mandat konservasi dan kehati. Kedua, mekanisme klaim keberhasilan capaian program yang harus proporsional dan tidak boleh berlebihan. Apalagi melebihi kapasitas WWF Indonesia yang sesungguhnya merupakan mitra KLHK. Kedua aspek penting tersebut sudah harus direvisi sekaligus diperbaharui.  Menjelma menjadi konsensus baru sesuai hasil evaluasi Menteri LHK sebagaimana domain dan kewenangan institusi KLHK. Tentu dengan mengedepankan objektivitas substansi.

Terhentinya—walau untuk sementara waktu—perjuangan dua matra yang bermitra dalam perjuangan pelestarian konservasi dan kehati di Indonesia itu  sudah pasti meninggalkan keterkejutan. Termasuk proyeksi kekhawatiran keberlanjutan kerja bersama dengan pemerintah daerah yang selama ini sudah menjalin kemitraan konservasi dan kehati hingga di tingkat tapak. Semua pihak sangat berharap situasi akan mereda. Kondusif seperti sediakala. Tentu dengan berbagai perubahan ke arah perbaikan dan peningkatan kualitas kerjasama konservasi dan kehati di masa depan.

Pada akhirnya, konflik memang sudah harus disudahi. Disadari sepenuhnya model konflik seperti halnya yang kini melanda KLHK versus WWF Indonesia ini amat sangat menguras energi. Bukan saja melelahkan bagi WWF Indonesia sendiri, melainkan juga bagi aparatus KLHK yang selama ini memang sudah menemukan bentuk kerja bersama terbaiknya di tingkat tapak. Termasuk di kalangan pemerintah daerah maupun masyarakat sipil lainnya. Apalagi resolusi konflik yang diperlukan terhitung sederhana. Cukup melalui sebuah “pertemuan rekonsiliasi” sambil menikmati kopi hasil olahan dari produk perhutanan sosial hasil dampingan WWF Indonesia dan KLHK. Baik langsung maupun melalui mediasi.

Bagaimanapun, tidak akan ada yang diuntungkan atas pecah kongsi. Apalagi bila konflik berkepanjangan seperti ini. Kecuali—tentu saja—para pencoleng konservasi dan penjahat kehati. Pihak yang senantiasa mengintip kesempatan mencuri. Atau para bandit yang terus menggali dan mencari amunisi.  Tak ada kata lain. Konflik KLHK versus WWF Indonesia yang tak berkesudahan hanya akan mengantarkan pada sebuah ancaman kekalahan kehati dan konservasi. Quo vadis?

 

BACA JUGA: