JAKARTA - Tindakan polisi ketika menangani demonstrasi mahasiswa di kawasan gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (23/9), mendapat sorotan masyarakat. Polisi dianggap cenderung bertindak brutal saat berhadapan dengan demonstran.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Manik Margamahendra menegaskan aksi mereka murni, tidak ditunggangi, dan steril, serta tidak merusak fasilitas publik. "Kami sangat mengapresiasi masyarakat yang membantu mahasiswa saat terjadi bentrokan," kata Manik dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta yang dihadiri oleh Gresnews.com, Rabu (25/9).

Namun Manik menyayangkan banyak sekali mahasiswa yang menjadi korban kekerasan yang diduga dilakukan oleh polisi. Catatan Gresnews.com, hingga Rabu (25/9/2019) dini hari, setidaknya 232 orang menjadi korban dari aksi demonstrasi yang berlangsung di sejumlah daerah, mulai dari Jakarta, Bandung, Sumatera Selatan, hingga Sulawesi Selatan. Tiga orang di antaranya dalam kondisi kritis.

Sementara itu, Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Siliwangi (BEM UNSIL) Tasikmalaya Rifqi Andreansyah mengatakan masih banyak mahasiswa yang hilang tak ada kabar, entah di rumah sakit atau ditangkap polisi. Ia menilai tindakan polisi tidak berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP).

Puri Kencana Putri dari Amnesti Internasional Indonesia menyayangkan sampai terjadi bentrok, lantaran polisi gagal membangun negosiasi dengan demonstran. Polisi lebih memilih langkah represif yang cenderung brutal dengan menggunakan kekuatan yang berlebihan. Menurut Putri, hal itu tidak sejalan dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. "Padahal sudah ada aturannya tentang pengendalian massa tetapi tidak mampu dikelola oleh kepolisian dengan baik," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: