Uni Eropa Belajar dari Kekalahan dan Pakai Isu Lingkungan, Peluang Sawit Indonesia Menang di WTO Kecil
JAKARTA - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Ketua Focus Group Pangan dan Pertanian Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Bustanul Arifin mengimbau pelaporan isu soal minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) ke Organisasi Dagang Dunia (WTO) sebagai pilihan terakhir. "Peluang untuk menangnya berat,” kata Bustanul kepada Gresnews.com, Rabu (4/9).
Menurut Bustanul, Uni Eropa (UE) cukup cerdik dalam membidik atau merumuskan Renewable Energy Directive (RED) II kali ini dengan mengaitkan sentimen negatif dengan masalah dalam negeri Indonesia. ILUC (Indirect Land-Use Change) yang dituduhkan cukup berat, berhubungan dengan tata guna lahan di Indonesia. Persoalan sektor tata guna lahan itu masih cukup besar, mulai dari konsistensi peta, proses alih-fungsi lahan hutan konversi menjadi areal kebun dan lainnya. Apalagi setiap instansi memiliki peta luas kebun sawit yang berbeda, ada versi versi Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga melakukan kajian.
Uni Eropa belajar dari kesalahan atau kekalahannya dalam sidang WTO tahun 2017, karena mereka menetapkan pajak impor yang tinggi, bahkan disebut pajak anti-dumping atas CPO Indonesia. Saat itu Indonesia mengajukan gugatan ke WTO dengan klausul diskriminasi dan Indonesia menang. Dampaknya ekspor CPO ke Indonesia kembali pulih sejak 2018. Bahkan, Majelis Tinggi Konstitusi di Uni Eropa memperkuat keputusan WTO dan memerintahkan Uni Eropa mencabut pajak anti-dumping itu. "Mereka belajar dari hal itu. Kini, mereka mengajukan klausul ILUC yang juga menjadi kelemahan atan inkonsistensi kebijakan di Indonesia," ujarnya.
Kalau persoalannya di dalam negeri, lalu bersidang di WTO, peluang menangnya kecil. Itu yang terjadi pada kasus produk hortikultura dan produk peternakan (Kasus DS 477-478). Indonesia kalah atas Selandia Baru dan Amerika Serikat, karena kurang sinkronnya kebijakan di Kementan dan di Kemendag. Terakhir, kita kalah lagi di WTO untuk produk unggas dari Brazil (Kasus DS 484). (G-2)
- Lawan Diskriminasi Sawit Uni Eropa, HIPMI Usul Hentikan Pesanan Airbus Perancis
- Potret Muram Buruh Sawit Perempuan Indonesia
- Inpres Sawit Jokowi Dinilai Tak Menyentuh Akar Masalah
- Lawan Akal-Akalan Politik Dagang Sawit Uni Eropa
- Jokowi Protes Diskriminasi Sawit ke Pengusaha Eropa
- Bank BUMN Biayai Perusahaan Pembakar Hutan dan Lahan
- GAR Bantah Temuan Investigasi RAN Soal Sawit Ilegal