JAKARTAIndonesia dan Malaysia perlu bekerja sama jika ingin mengajukan gugatan ke World Trade Organization (WTO) berkaitan dengan diskriminasi sawit di pasar global—terutama oleh Uni Eropa.

“Selama ini kerap gagal bila sendirian,” kata peneliti Center of Food, Energy and Sustainable Development dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra P.G Talattov kepada Gresnews.comRabu (4/9).

Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Prof. Dr. Bustanul Arifin, Senin (2/9), kepada Gresnews.com, menyatakan langkah mengajukan notifikasi keberatan kepada Panel Sengketa WTO adalah salah satu opsi yang bisa diambil pemerintah untuk menghadapi diskriminasi sawit Indonesia tersebut. Dua opsi lainnya adalah menggencarkan kampanye sisi positif sawit terhadap perekonomian domestik dan pengentasan kemisikinan; dan melakukan strategi tarik-ulur memboikot produk Uni Eropa.

Jenis hambatan dalam perdagangan beragam: hambatan tarif, hambatan non-tarif (seperti penerapan kebijakan Kemanusiaan, Kesehatan, Keselamatan dan Lingkungan/K3L), Trade Remedies (antidumping, antisubsidi, safeguards), Regulasi/Kebijakan, dan Sentimen Negatif (meningkatnya opini negatif terhadap produk Indonesia khususnya kampanye negatif terkait kelestarian lingkungan).

Resolusi dari Parlemen Uni Eropa tanggal 4 April 2017 dalam poin Rekomendasi No. 41 meminta Uni Eropa mengembangkan teknologi dan langkah nyata, termasuk menyusun materi kampanye, untuk mengurangi dampak konsumsi sawit di Uni Eropa dan mengurangi investasi di negara dunia ketiga yang mengalami deforestasi. Indonesia dan Malaysia sendiri disebut menguasai 85%-90% pasar sawit global, sementara deforestasi di Indonesia sebesar 0,5% per lima tahun. Selain itu, Uni Eropa menetapkan batasan penggunaan kelapa sawit untuk periode 2021-2023 di level yang sama dengan 2019, yang kemudian akan diikuti dengan pengurangan bertahap pada 2030.

Berdasarkan data statistik yang dikutip dari Direktorat Pengamanan Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan per Maret 2017 (Lihat tabel) total sengketa (dispute) yang diajukan selama hampir 23 tahun WTO berdiri mencapai 500 kasus dan melibatkan 104 anggota. Jumlah kasus yang ditangani itu lebih besar dibandingkan dengan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang selama 47 tahun menangani 300 kasus dan Internatonal Court of Justice (ICJ) yang selama hampir 23 tahun baru menyidangkan 162 kasus. Penggugat terbesar melalui mekanisme Dispute Settlement (DS) adalah Amerika Serikat (23%), Uni Eropa (EU) (18%), Kanada (7%) dan Brazil (6%). Sedangkan tergugat terbesar adalah Amerika Serikat (25%), Uni Eropa (20%), China (7%) dan India (5%).

Pada 1995-2017, terdapat 42 sengketa yang melibatkan Indonesia: 10 kasus sebagai Penggugat (Complainants), 14 kasus sebagai Tergugat (Respondents), dan 18 kasus sebagai Pihak Ketiga (Third Party). Salah satu perkara itu adalah ketika Indonesia menggugat Uni Eropa berkaitan dengan kebijakan anti-dumping biodiesel dari Indonesia pada 2011-2013. Uni Eropa menggunakan cost adjusment dalam perhitungan margin dumping dan menerapkan besaran profit yang dianggap tinggi bagi Indonesia. Sebanyak lima perusahaan terdampak dengan Margin Dumping 8,8%-20,5%. Dalam kasus ini, Indonesia menang.

 

Gugatan ke WTO itu sendiri diperkirakan membutuhkan waktu satu tahun tiga bulan secara formal. Tahapan yang akan dilalui cukup panjang mulai dari pra-hearing, hearing, sanggahan, keterangan ahli, laporan interim, kesimpulan, hingga adopsi oleh WTO.

Sebagai bandingan, China baru saja memasukkan gugatan ke WTO setelah Amerika Serikat menetapkan tarif baru impor terhadap produk China yang nilainya mencapai US$300 miliar. Analis China Shen Jianguang, dikutip South China Morning Post, menyebut langkah tersebut lebih bermakna simbolik ketimbang substansi—mengingat salah satunya prosesnya yang akan memakan waktu cukup lama. Apalagi, kata dia, Presiden AS Donald Trump mengancam akan membawa negaranya keluar dari WTO. “Jadi tak ada yang bisa dilakukan untuk menekan AS meskipun China memenangkan gugatan,” kata Shen, Selasa (3/9). (G-1)

BACA JUGA: