JAKARTA - Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) Rasio Ridho Sani mengakui kendala penegakan hukum lingkungan adalah mandeknya pelaksanaan eksekusi putusan.

“Total nilai gugatan lingkungan hidup mencapai Rp19,4 triliun, dengan salah satunya menjadi putusan terbesar dalam sejarah hukum perdata Indonesia. Namun perlu diakui bahwa kita masih lemah dalam eksekusi putusannya,” kata Ridho dalam Konferensi Hukum Lingkungan bertajuk Menyongsong Sepuluh Tahun Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Refleksi Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia pada 26-27 Agustus 2019 di Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Depok, Jawa Barat, yang diselenggarakan oleh FHUI bekerjasama dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sebagaimana keterangan yang diterima oleh Gresnews.com dari Humas Media ICEL.

Menurut Ridho, Gakkum KLHK telah melakukan berbagai inisiatif dalam meningkatkan kualitas pembuktian dan penegakan hukum secara umum, diantaranya dengan pengembangan penerapan UU PPLH melalui penguatan sanksi administratif, gugatan perdata, dan penerapan pasal pidana berlapis; serta pemanfaatan sains dan teknologi untuk pelaksanaan pengawasan melalui pemanfaatan artificial intelligence, big data serta sistem manajemen pengetahuan.

Sebagai catatan, Mahkamah Agung (MA) pada 17 Desember 2018, mengabulkan kasasi KLHK atas kasus perdata melawan PT National Sago Prima (NSP), yang merupakan anak usaha PT Sampoerna Agro, Tbk. PT NSP dihukum membayar ganti rugi lingkungan hidup sebesar Rp319,17 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp753 miliar. Totalnya berarti Rp1,07 triliun. Namun hingga saat ini eksekusi belum dilakukan. (G-1)

BACA JUGA: