JAKARTA - Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menelisik dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagai pengembangan dari perkara suap perizinan Meikarta mengarah pada entitas PT Lippo Cikarang, Tbk sebagai korporasi. Dalam berkas putusan atas nama terdakwa Billy Sindoro, majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, mempertimbangkan peran PT Lippo Cikarang, Tbk dan PT Mahkota Sentosa Utama (MSU)—pengembang Meikarta—sebagai pihak yang memiliki hubungan yang erat antara satu sama lain sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voorgezette handeling) dengan perbuatan terdakwa.

Perbuatan Terdakwa BILLY SINDORO bersama-sama dengan HENRY JASMEN P. SITOHANG, FITRADJAJA PURNAMA dan TARYUDI (dilakukan penuntutan terpisah), BARTHOLOMEUS TOTO, EDI DWI SOESIANTO, SATRIADI dan PT LIPPO CIKARANG, Tbk melalui PT. MAHKOTA SENTOSA UTAMA merupakan perbuatan yang sama atau sejenis, dan waktu antara perbuatan yang satu dan yang lain tidak terlalu lama serta berlangsung terus menerus yang dimulai sejak tanggal tahun 2016 sampai dengan 14 Oktober 2018, juga merupakan suatu fakta yang membuktikan suatu rangkaian perbuatan yang memiliki hubungan yang erat antara satu sama lain sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voorgezette handeling) maka Majelis Hakim berpendapat dengan demikian unsur Perbuatan yang saling berhubungan sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut telah terbukti kebenaran secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatan Terdakwa,” demikian dikutip dari putusan Billy Sindoro.

Berdasarkan riset Gresnews.com, sepanjang periode perbuatan pidana yang terbukti di pengadilan tersebut, PT Lippo Cikarang, Tbk melakukan sejumlah aksi korporasi hingga hari ini—melibatkan pula perusahaan cangkang di luar negeri. Salah satu dampaknya adalah perubahan komposisi kepemilikan saham perusahaan yang menyebabkan PT Lippo Cikarang, Tbk tidak lagi bertindak sebagai pemegang saham pengendali PT Mahkota Sentosa Utama (MSU)—selaku pengembang Meikarta. PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) tidak lagi berkedudukan sebagai entitas anak PT Lippo Cikarang, Tbk tapi sebagai entitas asosiasi.

Aksi korporasi terbaru, untuk penambahan modal proyek Meikarta, PT Lippo Cikarang, Tbk melakukan rights issue (HMETD) dengan dana terhimpun Rp2,9 triliun yang ditetapkan pada 27 Juni 2019. Dana itu dipinjamkan kepada MSU untuk proyek Meikarta. LPCK sendiri disebut sebenarnya masih memiliki 49,72% saham MSU secara tidak langsung melalui PT Megakreasi Cikarang Permai (MKCP).

Dikutip dari Laporan Keuangan Triwulan I Tahun 2019 PT Lippo Cikarang, Tbk, sepanjang menyangkut perkara Meikarta, ditulis sebagai berikut: “Sejak tanggal 15 Oktober 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan pemeriksaan terhadap beberapa orang atas dugaan suap terkait pengajuan perijinan proyek Meikarta yang dimiliki oleh PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), entitas asosiasi. Sampai dengan tanggal persetujuan penerbitan laporan keuangan konsolidasian, kasus ini telah memasuki tahap persidangan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Bandung. Manajemen Perusahaan sedang melakukan evaluasi atas hasil persidangan dan penyelesaian kasus ini dan belum dapat mengambil kesimpulan serta terdapat ketidakpastian atas potensi dampak hukum yang mungkin dapat ditimbulkan dari proses pemeriksaan kasus ini terhadap  Perusahaan dan MSU, entitas asosiasi.”

Terdapat perubahan penting dari sisi status perusahaan PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) dari sebelumnya sebagai entitas anak perusahaan PT Lippo Cikarang, Tbk menjadi sekarang sebagai entitas asosiasi. PT Lippo Cikarang, Tbk tidak lagi menjadi pengendali perusahaan yang memiliki proyek Meikarta tersebut. Dikutip dari Laporan Keuangan Triwulan I Tahun 2019 PT Lippo Cikarang, Tbk, pada 1 Februari 2017, pemegang saham MSU, yakni PT Megakreasi Cikarang Permai (MKCP) dan PT Great Jakarta Inti Development (GJID), menyetujui masuknya Peak Asia Investment Pte. Ltd (PEAK) sebagai pemegang saham. Lalu, pada 10 Maret 2017, bergabung ke dalam MSU yakni Hasdeen Holding Ltd (HH)—sebuah perusahaan yang didirikan di British Virgin Island—secara tidak langsung melalui penempatan saham di PEAK senilai US$300 juta. Pada 15 Maret 2017 terdapat perjanjian investasi antara MKCP, GJID, dan PEAK—yang direvisi pada 7 Februari 2018 dan 11 Mei 2018—yang menyepakati masuknya pemegang saham baru di MSU, yaitu Masagus Ismail Ning (IN), dengan cara penjualan 14 ribu lembar saham PEAK kepada IN seharga Rp14. PT Lippo Cikarang, Tbk lalu melepas seluruh saham di PEAK kepada Hasdeen Holdings Limited seharga US$1. Kemudian MSU menerbitkan 14 ribu lembar saham baru yang diambil oleh PEAK setelah dimiliki Hasdeem Holding Ltd. (HH) dengan harga Rp4.050.000. Akibat peningkatan modal pada MSU dan pelepasan seluruh kepemilikan saham di PEAK, PT Lippo Cikarang, Tbk kehilangan pengendalian atas MSU dan tidak mengkonsolidasi MSU.

PT Lippo Cikarang, Tbk sendiri melakukan ‘beres-beres’ internal. Cermati perubahan komposisi kepemilikan sahamnya pada periode Juni-Juli 2019. PT Kemuning Satiatama yang pada Juni 2019 hanya menguasai 42,2%, per 31 Juli 2019 telah menguasai 77,84%. Credit Suisse AGSG TRACCL PT Metropolis Propertindo Utama yang menguasai 11,68% pada Juni 2019, per 31 Juli 2019 susut menjadi 3,03%. Sisanya dipegang masyarakat.

Siapa PT Kemuning Satiatama itu? Berdasarkan Akta Perusahaan, perubahan akta notaris terakhir tercatat pada 24 Oktober 2018, sekitar seminggu setelah operasi tangkap tangan KPK terhadap sejumlah pihak dalam kasus suap izin Meikarta. Modal disetor sebesar Rp162,5 miliar. Komisaris adalah Tjokro Libianto dan Ketut Budi Wijaya. Direksi adalah Stephen Eko Purwanto (Presiden Direktur), Susanto, dan Norita Alex. Pemegang saham adalah PT Lipposindo Abadi dengan 162.119.000 lembar senilai Rp162,1 miliar, PT Wisma Jatim Propertindo sebanyak 380.000 lembar senilai Rp380 juta, dan PT Maharama Sakti sebanyak 1.000 lembar senilai Rp1 juta.

Terkait dekonsolidasi MSU seperti dijelaskan di atas, bila dikaitkan dengan peristiwa suap perizinan Meikarta, bermula pada April 2017, saat Bupati Bekasi Neneng Hasanah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Bekasi ke DPRD. Berdasarkan fakta persidangan, uang suap senilai Rp10 miliar diserahkan kepada Neneng secara bertahap selama Juni 2017-Januari 2018. Uang itu bersumber dan diserahkan oleh Sekretaris Direksi PT Lippo Cikarang, Tbk Melda Peni Lestari dan mantan Presiden Direktur LPCK Bartholomeus Toto di helipad PT Lippo Cikarang, Tbk kepada Kepala Biro Tata Ruang Pemda Bekasi Yusuf Taufik. Uang itu terkait penerbitan Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) Meikarta.

Lippo Group Deputy Chairman James Riady bersaksi di Pengadilan Tipikor Bandung pada 7 Februari 2019.

Secara hukum, menurut Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, hakim dapat menilai kesalahan korporasi antara lain 1) Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi; 2) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau 3) Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Diwawancarai terpisah, dari sisi hukum pencucian uang, ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dapat dibedakan antara pelaku TPPU aktif dan pelaku pasif. “Tetapi yang pasti keduanya melakukan perbuatan menyamarkan hasil tindak pidana,” kata Fickar kepada Gresnews.com, Rabu (21/8). (G-1)

BACA JUGA: