JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta DPR dan pemerintah untuk menunda pengesahan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (Kamtan Siber) menjadi undang-undang. Ada potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) mengingat besarnya kewenangan yang dimiliki oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk mengendalikan segala aspek kehidupan siber di Indonesia.

"Belum lagi melihat proses yang berkembang, nampak ada upaya dari sejumlah pihak untuk mempercepat proses pembahasan RUU ini, dan mengesahkannya sebelum berakhirnya periode DPR 2014-2019," kata anggota koalisi yang juga Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Senin (19/8).

Menurut Wahyudi, bila mencermati materinya, RUU ini belum dapat dikatakan sebagai aturan keamanan siber yang baik, mengingat adanya sejumlah inkonsistensi pengaturan antarpasal, ketidakjelasan fokus pengaturan, hingga besarnya potensi ancaman terhadap kebebasan sipil. Secara umum, pembahasan RUU Kamtan Siber cenderung dilakukan secara tergesa-gesa dan minim partisipasi publik.

Kondisi itu menimbulkan dugaan kecurigaan adanya kepentingan di balik pembahasan RUU ini. Padahal prinsip utama dalam pembuatan perundang-undangan itu harus dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi publik yang luas. Sebagai sebuah rancangan aturan yang akan menjadi panduan dalam keamanan siber di Indonesia, rumusan RUU ini sangat menekankan pada pendekatan state-centric, sehingga gagal untuk memberikan kejelasan untuk memastikan perlindungan keamanan individu, perangkat, dan jaringan dalam ruang siber.

Selain itu, pada ketentuan umumnya, RUU ini juga lebih banyak memberikan definisi yang identik dengan pengaturan keamanan nasional pada aspek pertahanan, tetapi malah melupakan elemen-elemen dalam keamanan siber, seperti sistem komputer, perangkat, jaringan siber. Perumusan aturan dalam rancangan ini juga telah menciptakan ambiguitas dalam tata kelola dan kerangka kerja kelembagaan yang berwenang dalam pengelolaan keamanan siber, yang berpotensi overlapping kewenangan, bahkan sengketa kewenangan di antara mereka.

Dalam menghadapi ancaman siber, pemerintah sudah memiliki beragam aturan dan institusi yang berkerja untuk menanganinya sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Dengan demikian, tidak cukup alasan untuk DPR tergesa-gesa membahas RUU ini. Jikapun terjadi serangan siber maka institusi yang ada sudah bisa digunakan untuk menangani insiden tersebut.

Rancangan ini selain berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan dengan pengaturan serupa yang telah ada dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik, juga memberikan ruang yang sangat luas bagi tindakan penapisan. Dikatakan, tindakan penapisan dapat dilakukan terhadap konten/aplikasi yang berbahaya. Lalu apa definisi berbahaya? Juga cakupan dan prosedurnya yang akan datur lebih lanjut dengan peraturan BSSN, yang berarti memberikan kewenangan yang sangat besar bagi BSSN. (G-2)

 

BACA JUGA: