JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menegaskan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya tidak memiliki beban apapun untuk masuk mengambil alih kasus-kasus besar yang macet. Termasuk menuntaskan kasus penunjukan PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas, kini SKK Migas) sebagai penjual kondensat bagian negara.

"By law, dalam aturan, KPK bisa mengambil alih kasus, tapi persoalannya ada kendala di KPK sehingga terhadap beberapa kasus lebih memilih bersikap diam," kata Firdaus kepada Gresnews.com, usai sebuah diskusi di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Firdaus, secara jujur bila melihat KPK saat ini masih memiliki beban. Beban ini terkait juga dengan para pimpinan KPK. Padahal seharusnya KPK bisa masuk kemanapun tapi yang terjadi seolah ada pembagian dengan penegak hukum lain.

Dari sisi pemerintah, lanjut Firdaus, juga harus bisa memberi garansi kebebasan bergerak KPK. Ada kejelasan dari pemerintah agar KPK dapat menggarap kasus-kasus besar manapun. "Ini terkait dengan visi dan komitmen dari para pemimpin KPK," imbuhnya.

Masa jabatan KPK periode 2015-2019 akan habis pada Desember mendatang dan akan digantikan dengan komisioner yang baru. Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan (Capim) KPK masa jabatan 2019-2023 mengumumkan 40 orang peserta seleksi capim KPK yang lolos tes psikologi. 40 orang ini berasal dari bermacam-macam latar belakang profesi dan daerah.

Tercatat, angka terbanyak berasal dari akademisi/dosen sejumlah 7 orang, menyusul selanjutnya anggota Polri 6 orang, dan komisioner/pegawai KPK 5 orang. Advokat 2 orang, jaksa 3 orang, pensiunan jaksa 1 orang, hakim 1 orang. Selain itu, ada 4 orang auditor yang lolos, 1 orang Komjak Kompolnas, 4 orang PNS, 1 orang PNS aktif, dan lain-lain 5 orang. (G-2)

BACA JUGA: