JAKARTA, GRESNEWS.COM - Setelah berhasil memulangkan buronan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono dan kasus pencucian uang nasabah Bank Century Hartawan Aluwy, Tim pemburu koruptor ditantang memulangkan buronan kasus cessie Bank Bali Djoko S. Tjandra yang saat ini menjadi warga negara Papua Nugini. Terlebih saat ini Indonesia telah meratifikasi perjanjian ektradisi dengan Papua Nugini seperti diminta sebelumnya.

Jaksa Agung Mohammad Prasetyo menegaskan terus berupaya memulangkan semua buronan termasuk Djoko Tjandra. Namun Prasetyo mengakui membawanya balik ke Indonesia tidak mudah. Apalagi Djoko diketahui banyak membantu pemerintah Papua Nugini selama ini.

"Itu kesulitan yang kami hadapi. Apalagi Djoko Tjandra sudah mengubah kewarganegaraan dan dilindungi negara mereka sekarang. Bahkan berita terakhir dia memberikan sumbangan luar biasa ke Papua Nugini," jelas Jaksa Agung Prasetyo usai menerima Ombudsman RI, Senin (25/4).

Meskipun Djoko Tjandra telah banyak membantu Papua Nugini, Prasetyo meminta untuk tidak melindunginya. Dia terbukti bersalah dan harus menjalani proses hukum di Indonesia. Jika Papua Nugini tetap melindunginya, maka perburuan terhadap Djoko Tjandra akan sulit.

"Kami berharap pemerintah Papua Nugini bisa menyerahkan. Kalau mereka melindungi terus agak sulit bagi kita," jelas Prasetyo.

Seperti diketahui, pada 10 Juni 2009 Djoko S Tjandra melarikan diri dari Indonesia ke Papua Nugini. Djoko merupakan terdakwa kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp904 miliar pada 11 Januari 2009 yang ditangani Kejaksaan Agung pada 29 September-Agustus 2000. Kejaksaan juga pernah menahan terdakwa, namun hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus bebas karena itu bukan perbuatan pidana tapi perdata.

Lalu 2008 Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dan memutus terdakwa dipidana dua tahun penjara. Selain itu, Djoko Tjandra harus membayar denda Rp15 juta serta merampas uang hasil kejahatannya sebesar Rp45 miliar yang berada di Bank Bali untuk dikembalikan ke negara. Namun sebelum dieksekusi oleh Kejaksaan, Djoko kabur meninggalkan Indonesia.

Djoko S Tjandra adalah satu-satunya terpidana perkara Bank Bali yang belum dieksekusi, dalam kapasitas sebagai Wakil Dirut PT Era Giat Prima (EGP). Dia kabur ke Papua Nugini, satu sehari sebelum putusan peninjauan kembali (PK) dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Bersama dia, turut dipidana mantan Gubernur Bank Indonesia ( BI) Syahril Sabirin dan sudah dieksekusi dan bahkan sudah menjalani pidana di Lapas Cipinang. Satu lagi, mantan Wakil Kepala BPPB Pande N Lubis yang dipidana selama empat tahun. Sementara tujuh tersangka lain dalam kasus ini tidak diketahui kelanjutannya.

POLITICAL WILL - Tujuh tahun Djoko dinyatakan buron. Di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono upaya telah dilakukan. Saat itu Ketua Tim Pemburu Koruptor yang juga Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto mengaku berkomunikasi intensif dengan Pemerintah Papua Nugini. Bahkan saat itu Papua Nugini telah memberikan sejumlah syarat di antaranya meratifikasi perjanjian ektradisi kedua negara.

"Sudah hampir final, persoalannya kita belum meratifikasi UU ekstradisi," kata Andhi saat itu.

Namun saat ini, UU ektradisi dengan Papua Nugini telah diratifikasi pada Februari 2016 lalu. Pengesahan UU tersebut ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly. Yasonna menyampaikan, pengesahan UU ektradisi mampu mempermudah upaya pemerintah memulangkan Djoko Tjandra, yang diduga sudah berkewarganegaraan Papua Nugini.

"Tindaklanjutnya kemudian diserahkan pada Kejaksaan Agung. Itu menjadi target kita," kata Yasonna usai disahkannya RUU Ektradisi dengan Papua Nugini.

Pengajuan RUU pengesahan perjanjian ekstradisi oleh Pemerintah diakui Laoly tidak hanya untuk menangkap Djoko Tjandra yang sudah berada di Papua Nugini sejak 2009 silam. Menurutnya, keberadaan para buronan yang berada di dua negara tetangga itu juga menjadi dasar dari pengajuan RUU tersebut kepada lembaga legislatif nasional.

"Sekarang ada Djoko Tjandra, namun bisa juga ada buronan yang lain. Banyak teman-teman dari OPM (yang melarikan diri) misalnya," ujar Yasonna menambahkan.

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir yang dimintai tanggapannya soal pemulangan Djoko Tjandra, mengakui dengan disahkannya UU Ekstradisi oleh DPR akan mempermudah untuk memulangkannya buronan yang juga terlibat kasus BLBI itu. Karena selama ini, salah satu kesulitan memulangkan buronan adaah karena pemerintah PNG tengah meratifikasi UU Ekstradisi yang juga harus dilakukan Indonesia.

"Yang jelas, ekstradisi Djoko Tjandra akan mudah jika PNG juga telah melakukan ratifikasi UU Ekstradisinya. Barulah proses ekstradisi Djoko Tjandra akan bisa dijalankan. Kita akan lihat apakah PNG juga telah meratifikasi UU Ekstradisi, jika tidak kita akan dorong untuk segera meratifikasi," jelas Arrmanatha kepada gresnews.com.

BOLAK-BALIK SINGAPURA - Adyaksa Monitoring Center (AMC) mendeteksi Djoko Tjandra bolak-balik Papua Nugini dan Singapura. Namun Pemerintah Indonesia tidak serta merta bisa menangkapnya karena belum ada ratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Singapura.

Upaya meratifikasi pernah ada namun Singapura meminta sejumlah syarat yakni dibolehkannya melakukan latihan militer di wilayah Indonesia. Namun Indonesia menolak.

Karenanya, atas penangkapan Hartawan Aluwy oleh otoritas keamanan Singapura, Pemerintah Indonesia menyampaikan terima kasih. Hartawan dideportasi oleh Singapura karena izin tinggalnya telah berakhir.

"Sementara kalau di Singapura kita belum punya ekstradisi dengan mereka. Makanya kita berterima kasih," kata Prasetyo disoal keberadaan Djoko Tjandra yang sering menetap di Singapura.

BACA JUGA: