JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah RI berhasil membebaskan dua warga negaranya, Sudirman (28) dan Badar (29), dari tangan kelompok bersenjata yang menamakan Gerakan Separatis Papua Bersenjata (GSPB) di pedalaman hutan negara Papua Nugini (PNG). Keduanya berhasil dibebaskan karena upaya aktif yang dilakukan Pemerintah mendesak Pemerintah PNG untuk membebaskan dua WNI tersebut.

Satu jempol patut diacungkan untuk Pemerintahan Jokowi untuk keberhasilan ini. Karena itu, layak kiranya jika keberhasilan pembebasan sandera di PNG ini juga diteruskan dengan satu pekerjaan rumah lagi yang dimiliki rezim Joko Widodo-Jusuf Kalla, yaitu memulangkan buronan kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra. Bukan kebetulan Joko Tjandra juga diketahui menetap di Papua Nugini.

Melihat keberhasilan Pemerintah RI bekerjasama dengan Pemerintah PNG dalam pembebasan kedua sandera itu dengan cepat dan tanpa ada korban, seharusnya tak sulit jika kerjasama serupa bisa dilakukan untuk memulangkan Joko Tjandra.

Meski kabarnya Joko Soegiarto Tjandra diduga kuat sudah menjadi warga negara PNG, tentu, memulangkan Joko Tjandra dari negara itu, untuk menjalani hukuman di Indonesia tetap tak bisa diabaikan begitu saja oleh Pemerintah. Bagaimanapun, Joko Tjandra adalah seorang terdakwa yang dinyatakan buron dan harus menjalani proses hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pada 10 Juni 2009 Joko S Tjandra melarikan diri dari Indonesia ke PNG. Joko merupakan terdakwa kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp904 miliar pada 11 Januari 2009 yang ditangani Kejaksaan Agung pada 29 September-Agustus 2000. Kejaksaan juga pernah menahan terdakwa, namun hakim Pengadilan Negeri Jakarta memutus bebas karena itu bukan perbuatan pidana tapi perdata.

Lalu 2008 Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dan memutus terdakwa dipidana dua tahun penjara. Selain itu, Joko Tjandra harus membayar denda Rp15 juta serta merampas uang hasil kejahatannya sebesar Rp45 miliar yang berada di Bank Bali untuk dikembalikan ke negara. Namun sebelum dieksekusi oleh Kejaksaan, Joko kabur meninggalkan Indonesia.

Joko S Tjandra adalah satu-satunya terpidana perkara Bank Bali yang belum dieksekusi, dalam kapasitas sebagai Wakil Dirut PT Era Giat Prima (EGP). Dia kabur ke Papua Nugini, satu sehari sebelum putusan peninjauan kembali (PK) dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Bersama dia, turut dipidana mantan Gubernur Bank Indonesia ( BI) Syahril Sabirin dan sudah dieksekusi dan bahkan sudah menjalani pidana di Lapas Cipinang. Satu lagi, mantan Wakil Kepala BPPB Pande N Lubis yang dipidana selama empat tahun. Sementara tujuh tersangka lain dalam kasus ini tidak diketahui kelanjutannya.

ADA PAYUNG HUKUM - Pemerintahan Jokowi punya tanggung jawab besar untuk segera memulangkan Joko Tjandra dari PNG. Joko Tjandra jelas harus mempertanggungjawabkan kejahatan yang telah dilakukannya. Tetapi entah kenapa, telah beberapa pemerintahan berlalu, selalu saja pemerintah dan aparat penegak hukumnya tak berdaya untuk memulangkan Joko Tjandra.

Padahal, untuk memulangkan buronan kasus korupsi itu, saat ini telah ada payung hukumnnya setelah DPR mengesahkan UU Ekstradisi dengan PNG pada Februari lalu. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, Februari lalu saat membahas pengesahan UU Ekstradisi di DPR mengatakan, pengesahan RUU tersebut mampu mempermudah upaya pemerintah memulangkan Joko Tjandra, yang diduga sudah berkewarganegaraan Papua Nugini.

Setelah UU Ekstradisi disahkan, Menteri Luar Negeri dan Jaksa Agung perlu duduk bersama merumuskan strategi memulangkan Djoko Tjandra. "Konsentrasi (pemerintah) termasuk kepada Joko Tjandra. Kalau bisa disahkan, tindaklanjutnya kemudian diserahkan pada Kejaksaan Agung. Itu sudah menjadi target kita," kata Yasonna Laoly ketika itu.

Pengajuan RUU pengesahan perjanjian ekstradisi oleh Pemerintah diakui Laoly tidak hanya untuk menangkap Joko Tjandra yang sudah berada di Papua Nugini sejak 2009 silam. Menurutnya, keberadaan para buronan yang berada di dua negara tetangga itu juga menjadi dasar dari pengajuan RUU tersebut kepada lembaga legislatif nasional.

"Sekarang ada Joko Tjandra, namun bisa juga ada buronan yang lain. Banyak teman-teman dari OPM (yang melarikan diri) misalnya. Samadikun Hartono juga di Vietnam," ujar Yasonna menambahkan.

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir yang dimintai tanggapannya soal pemulangan Joko Tjandra, mengakui dengan disahkannya UU Ekstradisi oleh DPR akan mempermudah untuk memulangkannya buronan yang juga terlibat kasus BLBI itu. Karena selama ini, salah satu kesulitan memulangkan buronan adaah karena pemerintah PNG tengah meratifikasi UU Ekstradisi yang juga harus dilakukan Indonesia.

Proses ekstradisi Joko Tjandra nantinya kedua negara harus bertemu untuk membicarakan langkah yang perlu dilakukan. Karena Arrmanta mengaku baru mendengar tentang disahkannya UU Ekstradisi dengan PNG, dirinya masih akan mengecek dan mempelajarinya.

"Yang jelas, ekstradisi Joko Tjandra akan mudah jika PNG juga telah melakukan ratifikasi UU Ekstradisinya. Barulah proses ekstradisi Joko Tjandra akan bisa dijalankan. Kita akan lihat apakah PNG juga telah meratifikasi UU Ekstradisi, jika tidak kita akan dorong untuk segera meratifikasi," jelas Arrmanatha kepada gresnews.com, Sabtu (19/9).

KEJAGUNG MANDUL - Pertengahan tahun lalu, Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto pernah mengatakan upaya memulangkan Joko Tjandra terus diupayakan. Kejaksaan Agung melalui Central Authority terus memantau keberadaan Joko yang diketahui ada di PNG. Surat Mutual Legal Assistance atau MAL sudah direspons Papua Nugini untuk memulangkan Joko. "Pada prinsipnya mereka sepenuhnya siap membantu otoritas Indonesia," kata Andhi di Kejagung ketika itu.

Andhi mengatakan memulangkan terdakwa yang berada di luar negeri bukan hal mudah. Belajar pada kasus buronan Adrian Kiki yang berhasil diekstradisi dari Australia membutuhkan waktu yang cukup lama. Harus jelas payung hukumnya.

Kini Jaksa Agung M Prasetyo juga menegaskan lagi, pihaknya tidak akan pernah berhenti menempuh berbagai cara demi menyeret kembali para DPO dari sejumlah kasus-kasus besar, untuk bisa dibawa dan diadili di Indonesia, termasuk Joko Tjandra. Semua langkah penyelesaian kasus-kasus tersebut akan terus diupayakan demi memenuhi harapan dan tuntutan keadilan dari masyarakat, apalagi telah ada payung hukumnya.

"Tapi yakinlah bahwa kita tidak akan berhenti, dan akan terus berupaya semaksimal mungkin dalam memenuhi harapan masyarakat atas penyelesaian kasus-kasus tersebut," kata Prasetyo

Hanya saja, janji-janji itu tentu harus bisa dibuktikan, dan sekarang mungkin saat yang paling tepat untuk itu. Logikanya, jika pemerintah bisa bekerjasama dengan Pemerintah PNG memulangkan WNI yang disandera di tengah hutan dengan lokasi berpindah-pindah, masak untuk memulangkan seorang Joko Tjandra--yang tentunya tinggal di tengah kota besar-- tak berdaya?

Jika iya tak berdaya, orang tentu akan bertanya, seriuskah pemerintahan Jokowi mengekstradisi Joko Tjandra ke Indonesia? Terlebih hingga saat ini belum terlihat langkah yang dilakukan pemerintah.

Malah empat bulan setelah DPR mengesahkan UU Ekstradisi, Jokowi diketahui bertemu dengan kerabat Joko Tjandra saat diadakan makan malam kenegaraan di State Function Hall Gedung Parlemen Papua Nugini pada Mei silam yang digelar oleh Perdana Menteri PNG Peter O´Neil. Hadir dalam kesempatan itu pejabat dan pengusaha PNG.

Saat itu adik Joko Tjandra bernama Sangkara Tjandra dari perusahaaan Papindo Ltd ikut menemui Jokowi. Menanggapi pertemuan itu, Jaksa Agung M Prasetyo mengaku tidak mendapatkan penjelasan dari Presiden. Namun Prasetyo menegaskan, pertanggung jawaban pidana tidak bisa digantikan oleh siapapun.

BACA JUGA: