Gugatan perdata Class Action atau perwakilan kelompok diakui pertama kali dalam sistem hukum Indonesia melalui UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lalu, dua tahun kemudian muncul UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), yang mengatur secara tegas dalam salah satu pasalnya mengenai permohonan perwakilan kelompok.

Akhirnya, demi mengakomodasi perkembangan-perkembangan hukum yang ada di masyarakat, dan demi efisiensi dan efektivitas dalam penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan orang banyak atau massal, pada tahun 2002, MA menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, gugatan class actions adalah suatu tata cara pengajuan permohonan, di mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok, mengajukan permohonan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.

Menggunakan mekanisme Gugatan Class Action, setdaknya terdapat beberapa keuntungan, yakni:
(1) Proses beperkaranya ekonomis (judicial economy) bagi para pihak. Bagi pemohon, ekonomis karena biaya yang timbul dari proses ini hanya sebagian kecil dari seluruh anggota kelompok dan dapat ditanggung bersama. Demikian juga Tergugat, terhindar dari banyaknya tuntutan yang timbul dan dapat mengurangi kewajiban membayar ganti kerugian akibat kesalahan;
(2) Proses permohonan perwakilan dapat mencegah terjadinya pengulangan perkara dan mencegah putusan-putusan yang berbeda satu sama lain atau putusan yang tidak konsisten;
(3) Membuka akses terhadap keadilan (access to justice) dengan jalan lebih mudah. Selain itu proses beperkara cepat, sederhana dan biaya murah.
(4) Dapat mendorong sikap berhati-hati (behaviour modification) dan mengubah sikap pelaku pelanggaran.

HARIANDI LAW OFFICE

BACA JUGA: