JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dinilai belum mencerminkan pemenuhan hak-hak rakyat, sebagaimana diatur dalam konstitusi serta visi dan misi (Nawacita) pemerintahan Jokowi–JK. Beberapa bagian krusial dalam pemenuhan lingkungan hidup misalnya diniali salah, bahkan belum diadopsi dengan benar.

Padahal seharusnya dalam RPJMN agenda pembangunan yang dilaksanakan sejalan dengan janji kampanye dahulu. "Ada beberapa bagian yang belum diadopsi secara baik seperti dalam visi-misi," kata Myrna Safitri, Direktur Epistema Institute kepada Gresnews.com, kemarin.

Salah satu yang dinilai tidak tepat pengakomodirannya adalah poin penyelesaian konflik. Dimana tidak ekplisit terdapat perumusan yang jelas. Selanjutnya pada pengakuan masyarakat adat yang hanya ditempatkan pada pemberantasan ilegal loging. "Ketika bicara masyarakat adat, pengakuan megara lah yang dibutuhkan. Bukan mobilitasi mencegah kejahatan kehutanan," katanya.

Lingkungan dan SDA belum mendapat tempat memadai, sehingga penting diberikan perhatian kusus. Sehingga rancangan RPJMN yang ada saat ini belum sepenuhnya mencerminkan nawacita dan janji-janji kampanye Jokowi-JK.

Ia berpendapat bahwa RPJMN belum secara substantif merumuskan empat aspek, yakni, pertama, perbaikan tata kelola kehutanan, perluasan wilayah kelola rakyat dan resolusi konflik.

Kedua, pencegahan perusakan dan pencemaran lingkungan, rehabilitasi lahan, sungai, dan pesisir. Ketiga, pemberantasan kejahatan sumber daya alam dan lingkungan hidup dan keempat, perubahan iklim dan bencana ekologis.

Dalam pembangunan ke depan, Kabinet Kerja perlu memastikan tercapainya ruang pengelolaan hutan dan sumber daya alam yang lebih luas oleh masyarakat. Termasuk diantaranya dengan melaksanakan mandat Tap MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Pada ranah pencegahan perusakan dan pencemaran lingkungan, ia dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk RPJMN mendorong agar pembangunan diarahkan pada pengurangan lahan kritis dan percepatan penyusunan aturan turunan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selain itu penegakan hukum perlu dilakukan lebih efektif dengan menyasar mafia yang selama ini tidak tersentuh. Sembari menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat marjinal. "Isu penyidik negeri sipil yang fokus pada kejahatan SDA belum diperhatikan," katanya.

Hal lain terkait dengan wilayah otonomi khusus Aceh dan Papua yang diatur undang-undang baik pada periode SBY maupun saat ini belum menggambarkan kekhususan kedua wilayah tersebut dalam pengelolaan SDA. Padahal, jika Pemerintah secara sungguh-sungguh dan konsisten menghormati kekhususan tersebut, maka ketegangan yang ada dapat diselesaikan.

"Penting agar RPJMN memberikan ruang kekhususan kedua wilayah otonomi tersebut dalam pengelolaan SDA secara lestari," katanya.

Sebelumnya bahkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meminta Presiden Jokowi tidak memasukkan proyek besar beresiko lingkungan ke dalam pengesahan RPJMN 2015-2019. Terutama pada pembangunan rel kereta api batubara di Kalimantan Tengah. Sebab proyek besar ini akan digarap di atas Hutan Kalimantan Tengah di bagian utara.

Walhi sempat mengirimkan surat permintaan pembatalan pembangunan Rel Kereta Api Batubara Kalimantan Tengah tertanggal 15 Desember 2015. "Kami menagih visi kampanye yang menetapkan kebijakan secara permanen, bahwa negara berada pada titik kritis bahaya kemanusiaan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup, "ujar Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi dalam surat tersebut.

BACA JUGA: