Tanah sebagai sumber daya dan alat produksi sebagaimana dinyatakan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan kekayaan nasional Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Kemudian, dilihat dari UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa tanah di seluruh Indonesia adalah milik Bangsa Indonesia, yang sekaligus menjadi simbol kesatuan bagi keutuhan bangsa dan negara.

Riwayat pengaturan tanah dan agraria di Indonesia telah mengalami berbagai fase, dari masa penjajahan Belanda, Inggris dan juga Jepang, sampai kemudian sampai masa Kemerdekaan.

Selanjutnya pada masa Reformasi juga terdapat beberapa perubahan penting, yakni dengan diterbitkannya TAP MPR RI Nomor IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Begitu juga dengan arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pidatonya tanggal 31 Januari 2007 tentang reforma agraria, yang menyatakan bahwa reforma agraria dilakukan secara bertahap dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin.

Namun pada kenyataannya, berbagai peraturan perundang-undangan terbit untuk memfasilitasi pemodal, tanpa memberikan privilege kepada masyarakat luas. Hal ini mirip sekali dengan pemerintahan Orde Baru. Pada era Reformasi justru terbit UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Berbagai kebijakan ini lahir untuk memudahkan para investor menanamkan modalnya di Indonesia.

TIM HUKUM GRESNEWS.COM

BACA JUGA: