JAKARTA - Guru Besar Universitas Gajah Madah (UGM), Yogyakarta, Sudjito, menilai banyak hakim dalam menangani perkara di pengadilan tidak memahami nomena di balik fenomena. Hakim yang tidak mempertimbangkan fakta metafisik di balik rasionalitas.

"Persoalannya, proses peradilan kita itu sudah terbiasa menghadirkan fakta sebagai barang bukti. Jadi, hanya berdasarkan apa yang dia lihat, dengar, dan pegang," kata Sudjito, Kamis (24/1).

Menurutnya, seharusnya seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara, melihat makna di balik fakta-fakta yang dimilikinya. Sebab, fakta-fakta di persidangan itu baru berupa barang mentah. "Dalam hal ini, rasa yang sesungguhnya diharapkan itu apa? Itu yang harus dipahami seorang hakim. Kita harus akui, banyak persoalan yang diselesaikan di negeri ini memang tidak pernah menyentuh pada wilayah nomena atau maknanya, sehingga hanya ada di wilayah permukaan saja," jelas Sudjito.

Parahnya, lanjut Sudjito, praktik tersebut hampir terjadi di semua peradilan di Indonesia. Sehingga keadilan yang diharapkan pun hanya bersifat formal dan keadilan yang dihasilkan hanya berdasarkan fakta dan rumusan pasal. "Bagi saya, baik hakim maupun polisi itu adalah corong UU. Mereka hanya menjadi corongnya. Corong itu kan cuma alat. Kalau manusia tentu punya hati. Harusnya, keadilan yang ditegakkan itu berdasarkan kepekaan hati nurani, bukan sekedar alat corong," pungkas Sudjito.

BACA JUGA: