Sebagai seorang Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, Presiden haruslah bersih dari segala tindak pidana serta perbuatan tercela lainnya. Bagaimanakah jika seorang Presiden atau Wakil Presiden adalah orang yang terjerat korupsi?

Hal ini sudah diatur dalam Konstitusi, UUD 1945. Pada Pasal 7A UUD 1945 Republik Indonesia dijelaskan bahwa: "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."

Bagaimanakah pelaksanaannya? Hal ini dapat ditempuh melalui pemakzulan yang menjadi ruang kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika Presiden atau Wakil Presiden melakukan tindak pidana korupsi, maka Pimpinan DPR dapat mengajukan pemakzulan ke Mahkamah Konstitusi.

Secara singkat mekanismenya adalah sebagai berikut: Permohonan pemakzulan diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi dalam 12 rangkap. Permohonan haru menjelaskan dugaan Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dengan disertai alat bukti.

Lebih lengkap tentang hukum acaranya bisa dilihat di Peraturan MK Nomor 21 Tahun 2009, tertanggal 31 Desember 2009.

HARIANDI LAW OFFICE

BACA JUGA: