Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, sebagaimana dijelaskan Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hal ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan jika dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, terlebih jika hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.

Jika tanah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara, misalnya berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang namun ternyata tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya, maka hal tersebut tergolong sebagai tanah telantar. Atau ringkasnya, tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya.

Tanah yang ditelantarkan oleh si pemegang hak, menurut peraturan perundang-undangan, Badan Pertanahan Nasional dapat menghapus hubungan si pemegang hak dengan tanahnya tersebut dengan menetapkannya sebagai tanah telantar. Objek penertiban tanah terlantar meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah lainnya.

Menurut literatur, ukuran yang dipakai untuk mengetahui apakah pemegang hak mengelola dengan baik lahannya, setidaknya ada tiga hal: Pertama, melihat kualitas tanaman di atasnya; Kedua, melihat manajemen atau pengelolaan dari pemanfaatan tanah (misal: perusahaan perkebunan); Ketiga, manajemen keuangan. Jika ketiga hal tersebut tidak jelas pengelolaannya, ditambah adanya penilaian dari Dinas Perkebunan Provinsi/Kabupaten yang menyatakan bahwa perkebunan tersebut tergolong kelas IV, maka tanah tersebut sudah dikategorikan sebagai tanah telantar.

Penetapan suatu area sebagai tanah telantar yang kemudian menghapus hubungan pemegang hak dengan tanah tersebut, merupakan amanat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria Jo Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 Tentang Penetapan dan Pendayagunaan Tanah Telantar.

HARIANDI LAW OFFICE

BACA JUGA: