Eksekusi yang dimaksudkan di sini adalah dalam perkara perdata, yang menurut Yahya Harahap, merupakan tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela (Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata).

Kasus perdata, termasuk juga sengketa tanah, eksekusi atas sebuah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) merupakan langkah terakhir penyelesaian suatu sengketa di pengadilan, di mana pihak yang menang berharap dengan dilaksanakannya eksekusi tersebut, maka dia akan mendapatkan haknya sebagaimana ditentukan oleh putusan pengadilan.

Putusan akan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak ada upaya banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, putusan verstek yang tidak diikuti perlawanan (verzet), putusan perdamaian, putusan banding yang tanpa ada upaya kasasi, dan putusan kasasi.

Dalam perkara perdata, eksekusi oleh pengadilan dilakukan manakala pihak yang kalah tidak dengan sukarela melaksanakan putusan. Sehingga dibutuhkan upaya paksa melaksanakan putusan tersebut, ini merupakan eksekusi.

Eksekusi merupakan kewajiban yang masih harus dijalankan oleh pengadilan sebagaimana yang diisyaratkan dalam Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan. Sedangkan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut menyatakan bahwa putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.

Selain aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut, ketentuan eksekusi juga diatur dalam Pasal 195-208 HIR dan Pasal 224-225 HIR (Pasal 206-240 Rbg dan Pasal 258 Rbg).

HARIANDI LAW OFFICE

BACA JUGA: