Serupa dengan banyak daerah di Indonesia, Bali merupakan wilayah yang cukup kental memegang teguh hukum adat, khususnya dalam hal hukum pertanahan.

Di Bali dikenal Desa Adat atau disebut juga Desa Pakraman, yang merupakan salah satu dari berbagai kesatuan hukum masyarakat adat yang ada di Indonesia.

Dalam studi kasus Kabupaten Buleleng, Bali, yang ditulis oleh S. Hendriatiningsih dkk pada Jurnal Sosioteknologi, Desember 2008 dengan judul Masyarakat dan Tanah Adat di Bali, disebutkan bahwa sejak zaman Bali Kuna, yaitu, sekitar abad ke-9, masyarakat Bali yang disebut kraman telah mengenal desa dengan sebutan desa atau desa pakraman. Menurut Liefrinck, 1886, desa di Bali merupakan republik kecil yang memiliki hukum atau aturan budaya adatnya sendiri dengan susunan pemerintahannya bersifat demokratis dan memiliki otonomi

Jenis dan Fungsi Tanah Adat di Bali
Tanah-tanah adat atau tanah ulayat di Bali lebih dikenal dengan sebutan tanah desa. Tanah desa dapat dibedakan menjadi :
1. Tanah Druwe atau sering disebut juga Druwe Desa adalah tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh desa pakraman seperti Tanah Pasar, Tanah Lapang, Tanah Kuburan, Tanah Bukti;
2. Tanah Pelaba Pura adalah tanah yang dulunya milik desa yang khusus digunakan untuk keperluan Pura yaitu tempat bangunan Pura dan yang dipergunakan guna pembiayaan keperluan Pura seperti pembiayaan upacara-upacara rutin, hingga perbaikan pura;
3. Tanah Pekarangan Desa merupakan tanah yang dikuasai oleh desa pakraman yang diberikan kepada krama negak untuk tempat tinggal dengan ayahan yang melekat;
4. Tanah Ayahan merupakan tanah yang dikuasai desa pakraman yang penggarapannya diserahkan kepada krama desa setempat dengan hak untuk dinikmati dengan perjanjian tertentu serta kewajiban memberikan ayahan.

Pemanfaatan tanah adat yang dimilik desa pakraman menimbulkan tiga bentuk fungsi dari tanah tersebut yaitu berfungsi ekonomi, berfungsi sosial, dan berfungsi keagamaan.

HARIANDI LAW OFFICE

 

BACA JUGA: