Sejak tahun 2004, Indonesia telah memiliki landasan hukum tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga melalui UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Dalam UU PKDRT, terdapat empat bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yakni: 1) Kekerasan fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat; (2) Kekerasan psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll; 3) Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau tujuan tertentu; dan 4) Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya.

Atas berbagai bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dimaksud di atas, Pasal 44 sampai dengan Pasal 47 UU PKDRT menyebutkan ancaman pidananya, mulai dari ancaman maksimal 5 (lima) tahun penjara sampai dengan ancaman maksimal 12 (dua belas) tahun penjara, sesuai jenis perbuatan pidana yang dilakukan.

Siapapun bisa menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, karena dalam UU PKDRT, lingkup rumah tangga mencakup suami, istri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri). Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri yang tinggal menetap dalam rumah tangga. Korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dapat melaporkan langsung kepada Kepolisian yang telah menyediakan ruang pelayanan khusus KDRT.

Jika dikehendaki, pelaporan bisa diwakilkan oleh keluarga atau pihak lain. Kemudian, dalam hal korbannya adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan. Dalam melakukan pelaporan ini, korban atau keluarga korban dapat juga meminta bantuan dari relawan pendamping (lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang perempuan dan anak), advokat, pekerja sosial, untuk mendampingi korban melaporkan ke kepolisian.

HARIANDI LAW OFFICE

BACA JUGA: