"In this country, you gotta make the money first. Then when you get the money, you get the power." Ucapan Tony Montana (Al Pacino) dalam film Scarface (1983) besutan sutradara Brian De Palma, itu seakan menyimpulkan hubungan erat antara uang dan kekuasaan. Kekuasaan dan uang. Lantas, apa hubungannya dengan keluarga Tanoesoedibjo di Indonesia?

Jelang final Piala Dunia 2010, Spanyol kontra Belanda. Minggu tengah malam, 11 Juli 2010, hiruk-pikuk manusia di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, rumah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lima layar ukuran lima meter, proyektor menyorot layar, pada setiap sisi tenda yang terpasang di halaman rumah itu. Empat televisi layar datar juga ada. Presiden, personil kabinet, para undangan bersiap nonton bareng. Kudapannya: soto, siomay, dan banyak lagi.

Para pejabat dan pengusaha berkerumun. Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng dan pemilik PT. Media Nusantara Citra (MNC) Hary Tanoesoedibjo datang duluan. Hary tampak sumringah. Andi dan Hary saling tegur. Di beranda yang sama, ada Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Jaksa Agung (saat itu) Hendarman Supandji, dan Kepala Polri (saat itu) Jenderal Bambang Hendarso Danuri.

Hary kelihatan senang ada dalam kerumunan pejabat. Stasiun televisi milik dia, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), menayangkan langsung Final Piala Dunia 2010. Pertanyaannya, apa kepentingan Hary ada dalam "Ring I" negeri ini?

Para wartawan saksama mengamati polah para pejabat di situ. Salah satu yang membetot mata, apa yang terjadi antara Hary dan Hendarman. Saat itu, media massa ramai memberitakan kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang tengah diusut oleh Kejagung. Kakak Hary, Hartono Tanoesoedibjo, belum genap sebulan (ketika itu) dicap sebagai tersangka, dalam posisinya sebagai Komisaris Utama PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD), operator Sisminbakum. Bareng dengan penetapan tersangka Hartono, mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, juga dibalut stempel tersangka kasus itu.

Tepat empat hari setelah acara nonton bareng, 15 Juli 2010, adalah jadwal penyidik Kejagung memeriksa Hartono Tanoesoedibjo, dalam kasus korupsi Sisminbakum yang diduga merugikan negara Rp420 miliar itu. Bisa ditebak, Hartono ´diistimewakan´ dibandingkan dengan Romli Atmasasmita dan Syamsudin Manan Sinaga. Romli dan Syamsudin masuk bui, Hartono lenggang kangkung, jauh dari jeruji besi. Wow, ada apa ini? Sihir Piala Dunia-kah penyebabnya?

Lunturnya prinsip persamaan perlakuan di muka hukum menjadi poin yang disorot dalam kasus yang melibatkan konglomerasi keluarga Tanoesoedibjo. Pada Juni 2010, Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) menyuarakan hal itu dalam catatan hukum atas perkara yang melibatkan Yohanes Waworuntu, mantan direktur PT SRD.

Ketika itu YLBHI bersikap, "menekankan pada proses hukum yang adil terhadap semua pihak yang diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi tersebut dan mempertanyakan tentang mengapa dalam penyidikan dan persidangan, jaksa tidak menelusuri aliran dana Sisminbakum tersebut. Hingga saat ini YLBHI melihat belum ada tindak lanjut pemeriksaan dari Kejaksaan Agung, terhadap orang-orang yang disebut-sebut dalam dakwaan dan tuntutan JPU, yaitu perihal permufakatan jahat melakukan tindak pidana korupsi di kasus Sisminbakum."

Hipotesis publik pun mengemuka. Hal yang disorot adalah, sejauhmana penegak hukum berani bertindak adil dan tegas dalam kasus-kasus yang melibatkan pihak yang kuat secara ekonomi dan politik. Ya, keluarga Tanoesoedibjo memegang imperium bisnis yang merentang dari bisnis investasi, media massa, dan sebagainya. Khusus untuk kasus Sisminbakum, sejarahnya, PT SRD yang dipegang oleh Hartono, menguasai operasional sistem pendaftaran badan hukum secara online di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Perkembangan terakhir kasus Sisminbakum, "hasil kajian tim penyidik Sisminbakum sudah selesai dan sudah diplenokan di tingkat direktur dan Jaksa Agung Muda (JAM)," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Noor Rachman, di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis (10/3).

Sementara kasus Sisminbakum masih berlanjut penyidikannya, sejumlah kasus hukum juga menyelimuti imperium Tanoesoedibjo, baik di Pengadilan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sampai kasus pidana penyiaran.

Beranikah penegak hukum negara ini untuk adil dan tegas terhadap mereka yang kuat ekonomi dan politik? Direktur Eksekutif Indonesia Court Monitoring (ICM), Tri Wahyu KH, Kamis (10/3), kepada primaironline.com, mendesak penegak hukum untuk berani adil dan transparan dalam mengungkap kasus yang menjerat para pengusaha. "Jangan saling melindungi, saling memberi keuntungan," kata Tri Wahyu.

Sisminbakum: datang, ambil, blokir!
BOLEHLAH dibilang, kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) merupakan perkara seksi yang berada di papan atas perjalanan hukum bangsa ini dalam kurun setahun terakhir. Nilai duitnya, kerugian negara, ditaksir Rp420 miliar. Pihak yang terlibat: para pejabat dan eks pejabat, pengusaha.

Sejarah Sisminbakum begini. Pada 1999, International Monetary Fund (IMF) mensyaratkan, dalam Letter of Intent (LoI) semasa Presiden Gus Dur, percepatan pendaftaran badan hukum perusahaan di Indonesia, yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehakiman dan HAM (saat itu).

Menteri saat itu Yusril Ihza Mahendra mengusulkan modifikasi Sisminbakum. Semula sistem ini manual. Namun disulap menjadi sistem teknologi informasi (IT). Saran itu diterima oleh Presiden.

Sejak saat itu Sisminbakum mulai dipersiapkan. Proses pengesahan badan hukum perusahaan ini di bawah kewenangan Administrasi Hukum Umum (AHU). Rencana perubahan sistem itu pertama kali dilempar pemerintah saat Dirjen AHU, Prof Romli Atmasasmita (saat itu) bertemu dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI).

Konsep Sisminbakum kemudian diterima oleh calon penggunanya. Pada 8 November 2000 Direktorat Jenderal AHU menunjuk dua operator Sisminbakum, yakni PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) dan Koperasi Pengayoman Pegawai Kehakiman (KPPDK). Di kantor Dirjen AHU, penandatanganan kerjasama itu dilakukan.

PT SRD diwakili oleh Direktur Utama Yohanes Waworuntu, sementara KPPDK diwakili Ketuanya Ali Amran Djanah. Suasana meriah. Turut hadir Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra serta pengusaha Hary Tanoesoedibjo dan Hartono Tanoesoedibjo. Apa peran keduanya?

Hartono hadir sebagai salah seorang komisaris PT SRD. Lewat anak perusahaan PT Bhakti Investama, yakni PT Bhakti Aset Management (BAM), terbentuklah PT SRD di bawah kendali Hary Tanoesoedibjo.

Disepakati, PT SRD mendapat 90 persen dari total biaya penggunaan jasa. Sisahnya 10 persen masuk kantong KPPDK. Dalam butir kesepakatan, SRD juga diminta menyerahkan seluruh fasilitas yang dibangun setelah 10 tahun. Terhitung dari tanggal 31 Januari 2001 Sismibakum beroperasi. Presiden Megawati Soekarnoputri meluncurkan sistem ini.

Kecepatan akselerasi Sisminbakum berhenti di tahun 2008. Kejaksaan Agung, melalui penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), menetapan Romli Atmasasmita sebagai tersangka. Proyek ini dituding sebagai praktik korupsi.

Dari penyidikan jaksa ditemukan dugaan korupsi proyek Sisminbakum. Modusnya adalah dengan menaikkan biaya pokok pembuatan badan hukum menjadi 300 persen dari ketetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Semua biaya pembuatan Sisminbakum dipatok, dari semula Rp200 ribu menjadi Rp1,35 juta.

Tak tanggung-tanggung, total kerugian negara dalam proyek ini hingga Rp420 miliar. Total itu didapat dari jumlah pendaftar selama 7 tahun. Sebagian besar dari total itu, yakni 90 persen mengalir ke PT SRD. Pada tahap pertama penyidik menetapkan lima tersangka. Yakni, tiga mantan Dirjen AHU Romli Atmasasmita, Samsuddin Manan Sinaga dan Zulkarnain Yunus. Direktur Utama PT SRD Yohanes Waworuntu dan Ketua KPPDK Ali Amran Djanah juga masuk dalam gelombang pertama.

Baru dua tahun kemudian, tanggal 24 Juni 2010, Hartono resmi ditetapkan sebagai tersangka. Media geger. Pasalnya, saat ditetapkan sebagai tersangka, Hartono diduga kabur ke Singapura. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Imigrasi, Hartono pergi satu hari sebelum ditetapkan sebagai tersangka.

Pada pemeriksaan pertama tanggal 1 Juli 2010, Hartono mangkir. Ia menyatakan sedang berobat di Singapura. Baru pada 15 Juli 2010, Hartono hadir. Namun ia tidak sendiri.

Pemeriksaan itu gaduh. Bukan karena kakak bos PT Media Nusantara Citra (MNC) itu diperiksa. Gaduh justru karena terungkapnya pertemuan antara Jampidsus M Amari dengan Hary di Kejaksaan Agung, tepat saat Hartono diperiksa. Alhasil Hartono tidak ditahan seperti tersangka lain seusai diperiksa.

Sisminbakum ini merembet menjadi persoalan lain, utamanya ketika Sisminbakum dipergunakan untuk kepentingan yang diduga menyimpang dari tujuan pendirian sistem itu.

Berdasarkan penelusuran dokumen oleh primaironline.com, pekan lalu, dalam surat Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum Umum, Nomor AHU. AH.03.04-03 tertanggal 19 Januari 2011, yang ditujukan kepada Deputi Menteri Sekretaris Negara, disebutkan bahwa Sisminbakum pernah disalahgunakan untuk memblokir akses pemegang saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Siti Hardiyanti Rukmana. Perintah pemblokiran ini dilakukan oleh Hary Tanoesoedibjo kepada Yohanes Waworuntu.

"Pihak Hary Tanoeseodibjo melalui notaris Bambang Wiweko memberikan kuasa kepada Yohanes Waworuntu, Direktur PT Sarana Rekatama Dinamika (PT SRD) yang mengendalikan secara teknis sistem pendaftaran badan hukum pada saat itu, (pengelolaan teknis ini jadi obyek penyidikan Kejagung dan belakangan kasus ini dikenal sebagai kasus Sisminbakum membuat beberapa pejabat/orang menjadi tersangka, terdakwa hingga terpidana) untuk memproses permohonan perubahan pemegang saham dan pengruus perseroan melalui akta nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 yang akhirnya menerbitkan surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor C 07564 HT.01.04 Tahun 2005 tanggal 21 Maret 2005. Jadi surat itu tidak melalui proses pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengubah anggaran dasar perseroan. Penegasan itu disampaikan kepada tim independen oleh Zulkarnaen Yunus (Dirjen AHU), Syamsudin Manan Sinaga (Direktur Perdata), Budiharjo (Kasubdit Badan hukum) dan menurut pengakuan Yohanes Waworuntu Direktur PT SRD dirinya melakukan hal tersebut atas perintah Hary Tanoeseodibyo," demikian surat Dirjen AHU Aidir Amin Daud, sebagaimana dikutip, Jumat (11/3).

Surat ini menanggapi permintaan Setneg yang mendapat pengaduan masyarakat. Tepatnya permintaan dari Direktur dan Wakil Direktur TPI Nomor 056/DIR-TPI/XI/2010 tanggal 18 Oktober 2010, perihal keberatan mengenai perubahan nama TPI menjadi MNC TV.

Aidir menyatakan, kajian tim Kemenkumham merupakan dasar dikeluarkannya surat 8 Juni 2010 yang menyebut SK Menkumham tahun 2005 soal pendaftaran hasil RUPLSB 18 Maret 2005 adalah cacat hukum. Jawaban yang sama juga sudah disampaikan dalam tanggapan pencabutan gugatan tata usaha negara yang diajukan PT Media Nusantara Citra.

"Kekeliruan dalam menerbitkan surat keputusan oleh menteri hukum dan hak asasi manusia telah dikoreksi dan diralat beserta segala akibat hukumnya," ujar Aidir.

Mengenai perubahan nama TPI menjadi MNC TV, dalam arti mengubah nama perseroan (PT), maka perubahan nama perseroan tersebut wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Menkumham, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

"Menteri atau pejabat yang ditunjuk yang dalam hal ini Direktur Jenderal AHU dapat memberikan persetujuan perubahan anggaran dasar perseroan apabila permohonan akta perubahan anggaran dasar perseroan telah memenuhi ketentuan UU maupun syarat administrasi lainnya," jelasnya.

Kendati demikian, Aidir menggarisbawahi, bahwa antara Tutut dan Hary Tanoe belum pernah meminta persetujuan perubahan nama itu. Setiap akses perubahan anggaran dasar TPI masih ditutup Dirjen AHU lantaran ada sengketa di PN Jakpus terkait gugatan Tutut kepada PT Berkah Karya Bersama.

Diwawancarai terpisah mengenai perkara korupsi dan penyimpangan penggunaan Sisminbakum oleh primaironline.com, pihak keluarga Tanoesoedibjo membantah melakukan korupsi dalam kasus sistem administrasi badan hukum.  Pihaknya juga mengaku tak punya kuasa dalam mempengaruhi pejabat termasuk aparat penegak hukum.

Kuasa hukum Hartono Tanoesoedibjo, Andi F Simangunsong, kepada primaironline.com, Jumat (11/3), berkata, Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah tidak memiliki alasan lagi dalam memperkarakan Hartono. Pasalnya, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan Romly Atmasasmitha menjadi dasar, bahwa saat peristiwa pembagian keuntungan dalam Sisminbakum terjadi belumlah dikategorikan sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). "Bukan keuangan negara," ujar Andi.

Siapa berbohong di Pengadilan?
DARI perkara korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) menjalar ke perebutan saham Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Bom panas ada di tangan Pengadilan.

Pihak Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut menilai Hary Tanoesoedibjo suka menghalalkan segala cara untuk mendapat keinginannya, terutama dalam sengketa kepemilikan saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

Kuasa hukum Tutut, Hary Ponto, menduga terdapat kebohongan yang dilakukan pemilik PT Media Nusantara Citra Tbk itu dengan tujuan ingin meraup untung banyak dalam proses go public di pasar modal. Caranya, dengan menggunakan status selaku  perusahaan yang memiliki banyak televisi di Indonesia.

"Ini kan clear semua untuk MNC. Jadi mereka waktu go public bisa mencapai Rp4,5 triliun. Jadi memang dia (Hary Tanoe) membereskan utang sampai mengambil alih secara melawan hukum TPI supaya ada benefit  lebih jauh. Ada kepentingan, bahwa ada RCTI, ada Global TV dan ada TPI di bawah MNC semua, itu membuat MNC jadi seksi kan," kata Hary Ponto, kepada primaironline.com, Kamis (10/3).

Padahal, kata dia, untuk TPI jelas terdapat sengketa kepemilikan saham yang sudah berlangsung sejak lama dengan PT Berkah Karya Bersama (BKB). Hary mengatakan, sengketa ini dimulai jauh sebelum penawaran umum  saham perdana PT MNC di pasar modal dan tindakan PT BKB memindahkan 75 persen saham yang direbut  dari Tutut kepada MNC.

Hary menegaskan sengketa ini sudah muncul terkait dengan pelunasan utang TPI yang dilakukan oleh PT Berkah Karya Bersama (BKB) milik Hary Tanoesoedibyo. Tutut sendiri memiliki utang senilai US$55 juta. BKB menawarkan pelunasan utang itu.

Untuk melunasi itu, dibuatlah Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 guna menyelesaikan utang-utang TPI saat dimiliki Tutut. Dalam perjanjian disebutkan, ada tiga opsi untuk menyelesaikan utang.  Pertama, tawaran pemgambilaihan saham Tutut di TPI. Kedua, BKB menawarkan utang diselesaikan dengan nilai Rp630 miliar. Ketiga,  sebanyak 75 persen saham Tutut dibeli BKB senilai Rp210 miliar.

Pada akhir 2004 sudah ada pembicaraan. Tutut mengatakan bakal mengganti seluruh utang-utang yang dibayarkan oleh PT BKB berikut bunga. "Tetapi secara tiba-tiba BKB mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham luar Biasa (RUPSLB) tertanggal 18 Maret 2005 dengan mengaku mendapat kuasa dari Tutut bahwa kepemilikan 75 persen  saham dialihkan," kata Hary.

Hary menjelaskan, sebelum RUPSLB tanggal 18 Maret 2005, Tutut dan pemegang saham lainnya yakni PT Tridan Satriaputra Indonesia, PT Citra Lamtoro Gung Persada, dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi mengadakan RUPSLB tertanggal 17 Maret 2005 yang tujuannya untuk merombak jajaran direksi dan dewan komisaris TPI.

Keputusan tersebut kemudian dilaporkan ke Menteri Hukum dan HAM melalui fasilitas sistem administrasi badan hukum (Sisiminbakum) Departemen Hukum dan HAM. Tapi, fasilitas tersebut tidak dapat diakses sehingga anggaran dasar sebagaimana RUPSLB 17 Maret tidak dapat dimasukan. Anehnya, anggaran dasar hasil RUPSLB 18 Maret yang diajukan BKB dapat diproses dalam Sisminbakum.

Dalam gugatannya dengan nomor 10/PDT.G/2010/PN. JKT. PST, mewakili Tutut, Hary menggugat PT BKB telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pada intinya, gugatan terkait dengan penggunakaan kuasa tidak sah dalam RUPSLB yang mendelusi saham Tutut serta adanya pemblokiran akses sisminbakum.

Perkara ini sendiri, menurut Hary, sudah menjelang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Pada pekan depan, Kamis (17/3) para pihak diminta memberikan kesimpulan sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan.

Namun ada yang janggal dari Hary Tanoe dalam perkara ini. Menurut Hary Ponto, dalam kesaksiannya Hary Tanoe telah melakukan kebohongan di pengadilan. Biaya yang sudah dikeluarkan saat mengelola TPI dan membayarkan utangnya Tutut diklaim sudah mencapai US$ 80 juta. Padahal, Hary Ponto memastikan bahwa PT BKB sendiri pernah mengirim surat secara resmi pada Januari 2005 bahwa biaya yang dikeluarkan hanya Rp623 miliar sudah termasuk dengan bunga.

Selain itu, PT BKB juga sudah pernah mengklaim bahwa terdapat kemungkinan kerugian yang perlu diganti sehingga angkanya berubah menjadi Rp680 miliar untuk total seluruhnya. Pada akhirnya PT BKB menawarkan lagi bahwa ongkos yang dikeluarkan adalah Rp630 miliar. Meskipun, berdasarkan penilaian Tutut biaya yang dikeluarkan BKB hanya Rp363 miliar ditambah US$10 juta

"Bagimana mereka bisa mengatakan pengeluarannya itu semua 80 juta USD. Ini kan equal dengan Rp800 miliar," kata Hary. "Untung keterangan Hary Tanoe tidak di bawah sumpah, kalau di bawah sumpah saya laporkan ke polisi dia," jelas Hary.

Terkait blokir Sisminbakum, Hary Tanoe juga mengaku tidak mengenal PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD). Padahal, menurut Hary Ponto, Komisaris PT SRD Hartono Tanoeseodibyo adalah kakak dari Hary Tanoe.

Hary Ponto melanjutkan, keterkaitan Hary Tanoe dengan Sisminbakum ini erat. Foto-foto yang dirilis oleh mantan Direktur Utama PT SRD Yohanes Waworuntu menunjukan bahwa hubungan dekat tersebut. "Foto-foto peresmian sisminbakum itu menunjukan Hary Tanoe ada disitu, Hartono ada di situ," jelasnya.

Namun, ia maklum jika kini Yohanes Waworuntu mencabut intervensi dalam perkara ini karena ada pengaruh dari keluarga Tanoe. Apalagi, menurut Hary Ponto, saat ini Yohanes sedang dipenjara dalam kasus Sisminbakum.

"Ya itu memang kalau di tesimoniya kan ada rekaman si Yohanes, dia pernah bikin press conference bahwa dia yang dikorbankan segala macam. Memang mungkin saja ada deal-deal dan bisa kita maklumi bahwa kemungkinan itu bisa terjadi," jelasnya.

Menanggapi tudingan Ponto, kuasa hukum PT Berkah Karya Bersama (BKB) Andi F. Simangunsong yakin menang di pengadilan. Sebab sudah ratusan bukti diajukan ke persidangan.

"Juga PT Berkah sudah membutkikan bahwa di tahun 2006 PT Berkah sudah mengalihkan kepemilikan TPI kepada MNC. BKB juga mmebuktikan bahwa di tahun 2007 MNC sudah melakukan IPO dengan pengumuman di koran dan public expose. Jadi PT Berkah sudah melaksanakan kewajiban dan membayar harganya," ujar Andi, Jumat (11/3).

Kronologi sengketa TPI
PT Crown Capital Global Limited gugat paillit TPI
Pertengahan 2009
PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dimohonkan pailit di Pengadilan Niaga pada  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) karena dinilai belum membayar surat utang (obligasi) senilai  53 juta USD kepada PT Crown Capital Global Limited selaku pemegang hak tagih piutang tersebut.

Menurut PT Crown, TPI memiliki surat utang yang diterbitkan pada tahun 1996 dengan masa berlaku 10 tahun sehingga sudah jatuh tempo pada 24 Desember 2006, namun tidak kunjung dibayarkan. PT Crown menjadi kreditur TPI karena telah membeli surat utang tersebut dari pemegang sebelumnya, yakni PT Fillago Limited pada tahun 2004. Karena sudah mengantongi hak tagih itu, seharusnya TPI membayar utangnya, sejak jatuh tempo berakhir.

Dalam penerbitan obligasi tersebut, PT Bhakti Investama menjadi placement agent atau agen penempatan dan arranger. Crown mengajukan permohonan pailit dengan membawa bukti bahwa TPI memiliki kreditur lain, sehingga memenuhi persyaratan mengajukan pailit kepada Pengadilan Niaga. Utang yang lain, kata dia, dimiliki oleh Asian Venture Finance Limited sejak November 1998 sebesar 10,325 juta dollar AS, yang telah jatuh tempo pada 1999. Karena itu, pihak PT Crown mengajukan pailit kepada TPI.
 
14 Oktober 2009
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan PT Cipta Televisi  Pendidikan Indonesia (TPI) dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya.

21 Oktober 2009
Perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo PT Media Nusantara Citra (MNC) ikut masuk dalam proses kasasi atas putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah mempailitkan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) karena takut rugi dalam pembagian harta pailit.

16 November 2009
PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) melaporkan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah memutuskan TPI sebagai perusahaan yang pailit kepada Komisi Yudisial.

12 Desember 2009
Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk mengabulkan permohonan kasasi atas putusan pailit PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (PT CTPI).

23 Desember 2009
Advokat Marthen Pongrekun dan Andi F Simangunsong yang telah memberikan pengumuman di salah satu media massa, mengenai status PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) yang sudah tidak di bawah kurator, dilaporkan ke Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Kuasa hukum PT Crown Capital Global Limited Ibrahim Senen menyatakan seluruh pihak hingga saat ini, termasuk hakim pengawas dan kurator belum mendapatkan salinan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan pailit TPI.
 
Selain itu, PT Crown Capital Global Limited juga melaporkan PT Media Nusantara Citra (MNC) Tbk kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) atas dugaan rekayasa laporan keuangan anak perusahaannya PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia.

Pasalnya, surat utang dengan hak tagih yang dikeluarkan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) senilai 53 juta USD, milik kliennya itu, telah terungkap dalam rapat verifikasi tertanggal 15 Desember 2009 sebagai milik Santoro Corporation.

25 Maret 2010
Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali Crown Capital Global Limited untuk kembali memailitkan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

Kubu Hary Tanoe gugat Tutut
Pada awal 2010
Perseteruan antara PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dengan Siti Hardiyanti Rukmana atau lebih dikenal dengan Tutut, bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam perkara dugaan penggelapan. Sengketa ini sekarang masuk pada tahap mediasi, sebagaimana tata cara jalannya persidangan.

Tutut gugat Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya Bersama soal pengambilalihan saham TPI secara melawan hukum
Pada Februari 2010
Perseteruan antara Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dengan Hary Tanoesudibjo kian panjang dan memanas. Pasca sengketa subordinated bond (subbond) senilai US$ 53 juta yang berujung pada gugatan kepailitan PT Cipta Televisi Indonesia (TPI) yang juga masih belum selesai. Kini keduanya kembali bertemu di Pengadilan, pasalnya mbak Tutut beserta para pemegang saham TPI menggugat Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya Bersama (BKB).

Tutut menggugat lantaran tidak terima atas hasil Rapat Umum Pemegang saham Luar Biasa (RUPSLB) TPI tertanggal 18 Maret 2005. Dalam RUPSLB tersebut, BKB dengan memegang Surat Kuasa (Power of Attonery) tertanggal 3 Juni 2003 melakukan perubahan jajaran direksi TPI sesuai tertuang Akta No.16 dan No.17.

Dengan surat kuasa tidak sah itu, BKB melalui RUSLB tertanggal 18 Maret 2005 mendilusi saham kepemilikan Tutut dari 100 persen menjadi 25 persen. Hary Tanoe melalui BKB mendapatkan 75 persen saham TPI.

Padahal, menurut Tutut, BKB tidak mempunyai kewenangan untuk hadir dan mengambil keputusan dalam RUPSLB tersebut karena  Tutut dan para pemegang saham TPI lainnya telah mencabut surat kuasa/power of attorney. Tepatnya  pada tanggal 16 Maret 2005.

Sebelum RUPSLB tanggal 18 Maret 2005, Tutut dan pemegang saham lainnya yakni PT Tridan Satriaputra Indonesia, PT Citra Lamtoro Gung Persada, dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi mengadakan RUPSLB tertanggal 17 Maret 2005 yang tujuannya untuk merombak jajaran direksi dan dewan komisari TPI. Yaitu Dandy Nugroho Hendro Mariyanto Rukmana selaku Dirut menggantikan Hidajat Tjandradjaja.

Sebagai tindak lanjut dari Keputusan RUPSLB yang dibuat dalam Akta No.114 dihadapan notaris Buntario Tigris Darmawa. Keputusan tersebut kemudian dilaporkan ke Menteri Hukum dan HAM melalui fasilitas sistem administrasi badan hukum (Sisiminbakum) Departemen Hukum dan HAM. Tapi anehnya, fasilitas tersebut tidak dapat diakses sehingga anggaran dasar sebagaimana RUPSLB 17 Maret tidak dapat dimasukan.

Justru anggaran dasar hasil RUPSLB 18 Maret yang diajukan BKB dapat diproses dalam Sisminbakum. Terang saja, kemudian mbak Tutut makin berang pasalnya disinyalir adanya indikasi permainan dalam Sisminbakum.

Dalam berkas gugatannya tertanggal 11 Januari 2010 dengan Nomor 10, Tutut tidak hanya menggugat BKB selaku tergugat 1, tetapi juga menyertakan PT Sarana Rekatama Dinamika (tergugat 2), PT Cipta Televisi Pendidikan (selaku turut tergugat 1), Artine Savitri Utomo (tergugat tergugat 2), Sang Nyoman Suwisma, Dirut TPI (selaku turut tergugat 3), Bambang Wiweko (turut tergugat 4), Sutjipto (turut tergugat 5), dan Menteri Hukum dan HAM (turut tergugat 6).

Tutut menuntut Pengadilan supaya menyatakan sah hasil keputusan RUPSLB tanggal 17 Maret 2005 tertuang dalam Akta No.114. Disamping itu meminta ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan sebesar Rp 3,4 triliun yang terdiri kerugian materil sebesar Rp 1,4 triliun dan Immateril Rp 2 triliun.

Tutut mau dipailitkan perusahaan asing kepanjangan Hary Tanoe
Pada 8 Februari 2010
Setelah sebelumnya Siti Hardijanti Rukmana atau dikenal dengan Tutut terbelit sengketa hukum dengan PT Berkah Karya Bersama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, putri mantan mendiang Presiden Soeharto ini harus segera bersiap-siap bertempur menghadapi gugatan pailit di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Diketahui, Literati Capital Investment Limited, perusahaan asal British Virgin Islands saat ini mengajukan pailit terhadap mbak Tutut. Literati ini tidak lain perusahaan yang pemegang hak tagih terakhir piutang PT Citra Industri Logam Mesin Persada (CILMP).

Berdasarkan gugatannya yang tercatat dalam No. 06/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. Kasus ini bermula dari adanya perjanjian kredit antara PT Citra Industri Logam Mesin Persada (CILMP) bersama PT Bank Internasional Indonesia (BII) pada 17 November 1994. Dalam perjanjian itu, BII mengucurkan kredit sebesar Rp7,5 miliar buat CILMP. Dalam perjalanannya, perjanjian kredit itu beberapa kali diperpanjang dan diperbarui, terakhir pada 16 Maret 2006. Penandatangan perjanjian kredit juga dibarengi dengan penandatanganan perjanjian garansi.

Tutut dinilai berperan sebagai penjamin utang CILMP. Perjanjian garansi menentukan kewajiban yang dijamin  Tutut adalah utang dan kewajiban penjamin sendiri, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1316 KUHPerdata.

Pada akhirnya permohonan pailit ini kandas. Majelis hakim niaga PN Jakpus menolak permohonan pailit terhadap Tutut pada 7 April 2010.

27 Juni 2010
Seusai beberapa waktu sebelumnya PN Jakpus menolak kepailitan terhadap Tutut, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi dalam upaya kepailitan yang diajukan Literati Capital Investment Limited terhadap Siti Hardiyanti Rukmana.

SK Menkumham soal adanya pemblokiran Sisminbakum modal Tutut kalahkan Hary Tanoe
27 Juni 2010
Pihak Siti Hardiyanti Rukmana mengklaim dengan bekal Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM (SK Menkumham) tertanggal 8 Juni 2010 mengenai tidak sahnya kepemilikan PT Cipta Televisi Pendidikan Indoensia (CTPI) yang dikuasai oleh PT Berkah Karya Bersama bakal memperkuat gugatannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pada Juli 2010
PT Media Nusantara Citra (MNC) dan Hary Tanoesoedibjo menegaskan sudah resmi memperkarakan surat Nomor AHU: AH.03.04/114 A tertanggal 8 Juni 2010 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Surat yang digugatnya terkait penetapan tidak sahnya keputusan Menteri Kehakiman Nomor C-07564.HT.01.04.TH.2005 tanggal 21 Maret 2005 mengenai pengesahan akta PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang diajukan PT Berkah Karya Bersama (BKB).

Dirjen Administrasi Hukum Umum Menkumham menegaskan, bahwa SK Menkumham tahun 2005 yang mengesahkan akta TPI versi PT Berkah Karya Bersama mengandung cacat formil. Sebab, pendaftaran itu dilakukan penuh kejanggalan. Surat 8 Juni 2010 sendiri bertujuan untuk memberitahukan kejanggalan itu.

19 Agustus 2010
Secara resmi Kementerian Hukum dan HAM menjawab gugatan TUN itu, dengan menyatakan surat keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor C 07564.HT.01.04.TH.2005 tertanggal 21 Maret 2005 yang sempat mengesahkan pendaftaran akta PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) versi PT Berkah Karya Bersama (BKB), sudah tidak memiliki akibat hukum lagi.

Prosedural pengesahan SK Menkumham tahun 2005 tidak benar, termasuk dalam melakukan pencetakan dan penandatanganan secara elektronis SK Menhukham tanpa perintah pejabat berwenang di Administrasi Hukum Umum.
 
Akta TPI nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 yang didaftarkan oleh BKB memiliki cacat hukum. Sebab, proses pendaftarannya mengandung kejanggalan dengan adanya pemblokiran akses sistem administrasi badan hukum saat Siti Hardiyanti Rukmana mau mendaftarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tertanggal 17 Maret 2005. Akibat kejanggalan itu membuat SK Menkumham yang mengesahkan akta TPI itu atau SK bernomor C 07564.HT.01.04.TH.2005 itu harus dibatalkan juga.

Gugatan TUN MNC ini sendiri sudah dicabut. Perusahaan milik Hary Tanoe itu menganggap surat 8 Juni  bukanlah surat keputusan yang bisa digugat. Pencabutan ini dilakukan seusai Kemenkumham memberikan tanggapan atas gugatan MNC yang menyatakan bahwa surat tersebut hanya pemberitahuan bahwa akta TPI versi BKB cacat dan SK yang mendasarinya patut dibatalkan.

Merasa Terzalimi Tanoe, bekas Direktur PT Sarana Rakatama Dinamika (SRD) Yohanes Waworuntu intervensi
Mantan Direktur PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) Yohanes Waworuntu menyatakan seluruh dalil Siti Hardiyanti Rumana terkait blokir akses sistem administrasi badan hukum (sisminbakum) dalam gugatan perbuatan melawan hukum terhadap PT Berkah Karya Bersama (BKB) mengenai pengambilan 75 persen saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) adalah benar.

Blokir itu terjadi saat notaris dari Siti Hardiyanti alias Tutut, Buntario Tigris, mau mencatatkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) tertanggal 17 Maret 2005. Yohanes mengaku sempat dipanggil oleh pemilik PT Bhakti Investama, Hary Tanoesoedibjo di bulan Maret 2005, yang memerintahkan pemblokiran itu.

Belakangan, Yohanes yang juga terpidana dalam kasus korupsi Sisminbakum mencabut intervensi itu. Kubu Tutut menilai ada yang mempengaruhi Yohanes sehingga berani mencabut intervensi tersebut. Hal ini terkait iming-iming dibebaskannya Yohanes dari dalam penjara. Selain itu, pencabutan Intervensi Yohanes tidak bisa dilakukan karena proses sidang yang sudah berlanjut.

Ada flu burung, ada untung
SENIN, 7 Maret 2011, adalah hari melelahkan buat Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecarnya seputar kasus korupsi pengadaan alat kesehatan untuk penanganan outbreak flu burung di Departemen Kesehatan pada 2006.

Kakak kandung Hary Tanoesoedibjo itu adalah komisaris sekaligus direktur PT Prasasti Mitra, rekanan Depkes. Hari itu, setelah diperiksa 4 jam oleh KPK, kepada wartawan Bambang berdalih, sudah 10 tahun tidak aktif di Prasasti. Apa benar begitu?

Situs Digital Information Services (PT. Dataindo Inti Swakarsa), penyedia jasa layanan informasi perusahaan, mencatat seperti ini:

Prasasti Mitra, PT
Indonesia Company Report
Last Update 18-February-2010
Mugi Griya Building,5th Floor, Jl. Letjen. MT. Haryono Kav. 10, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 12810
Tel :  (021) 83708510
Fax :  (021) 83708455
Major Businessline : Hospital and Laboratory Supplies

Susunan pengurusnya: Mr. B. Rudijanto Tanoesoedibjo MBA (Director), Mr. Sutikno (Director).

Tanggal berdiri 16/06/1989. NPWP 01.333.818.1-021.000. Tercantum legalitas perusahaan sebagai perusahaan nasional dengan jumlah karyawan 45 orang.

Sebuah dokumen yang diperoleh primaironline.com dari sumber menyebutkan susunan pendiri, pengurus, dan pemegang saham perusahaan sebagai berikut: Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo (Direktur Utama), Sri Andina Surjati, Hariyanto Tanusudibyo (Komisaris Utama, Hartono Tanoesoedibjo, Ratna Endang Soelistiowati, Sutikno (Direktur), dan Harly Soeradi (Komisaris).

Keterangan yang tercantum dalam laman bhakti-investama.com, menyebutkan, Bambang lahir di Surabaya pada 1964. Pendidikan sarjana di Carleton University, Ottawa, Kanada 1987; dan Master of Business Administration di Universitas San Fransisco, Amerika Serikat, 1989. Tak dicantumkan ia adalah komisaris/direktur PT Prasasti Mitra. Yang tercantum justru, Ratna Endang Soelistiowati, sebagai komisaris Prasasti Mitra sejak 1994. Bambang tercatat sebagai komisaris Bhakti Investama sejak 2002, Presiden Direktur PT MNC Sky Vision sejak 2004, Vice Presiden Komisaris Mediacom dan RCTI sejak 2002, komisaris MNC sejak 2004, dan Presiden Komisaris PT dos ni roha sejak 2007.

Sumber di KPK, yang tak mau disebutkan namanya, kepada primaironline.com, Kamis pekan lalu, mengatakan, untuk mengetahui keterlibatan Bambang dapat dilihat dari perusahaan yang dipimpinnya, PT Prasasti Mitra. "Lihat saja dari perusahaan yang memenangkan tender," ujar sumber itu.

Sebagai latar, pada mulanya, pengadaan alat kesehatan tersebut dipegang oleh perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Namun PT RNI tidak bekerja sama sekali, dan melimpahkan kewajibannya ke PT Prasasti. Sejak saat itu, Prasasti menjadi pemegang penuh pengadaan alat kesehatan.

Direktur Penyidikan KPK, Ferry Wibisono, mengatakan KPK mendapatkan sejumlah alat bukti adanya penggelembungan harga. Selain itu, terdapat penunjukan langsung rekanan, PT Prasasti Mitra. "Ada mark up dan penunjukan langsung," kata Ferry.

Tidak hanya itu, proyek alat kesehatan yang telah merugikan negara sebesar Rp52 miliar itu, juga tidak lepas dari praktik manipulasi.

Sumber yang sama menyebutkan, PT Prasasti Mitra diduga turut serta bekerjasama untuk memanipulasi alat-alat kesehatan. Manipulasi tersebut, yakni dengan ikut dicantumkannya sejumlah alat kesehatan yang tidak ada hubungannya dengan penanganan flu burung, seperti alat bedah medik.

"Alat-alat yang diadakan tidak sesuai dengan kebutuhan pemberantasan flu burung, semisal yang dibeli alat bedah rumah sakit dan lain-lain yang jauh dari relevansinya," ujar sumber tersebut.

Informasi lain yang diterima, dalam proyek pengadaan ini dicurigai adanya suap. "(Dari manipulasi itu) Berakibat muncul kickback atau suap," kata sumber di KPK.

Untuk diketahui, dalam kasus ini KPK telah menetapkan dua orang tersangka yakni, Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Bina Pelayanan Medik (Yanmedik) Kementerian Kesehatan, Mulya A Hasyim. Ketika itu, Mulya menjabat sebagai Sesditjen, bertanggung jawab dalam pengadaan yang anggarannya telah digelembungkan.

Terdapat pula nama mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Kemenkes Ratna Dewi Umar. Ratna Dewi Umar ditetapkan sebagai tersangka dalam posisinya selaku kuasa pengguna anggaran dan pejabat pembuat komitmen dalam pengadaan alat kesehatan dan perbekalan.

Dari kedua nama tersangka tersebut, KPK sedikit bersikap sedikit tertutup. Hal itu, dilihat dari penetapan tersangka Ratna Dewi Umar yang ditutup selama satu tahun. Ratna, ditetapkan tersangka pada Mei tahun 2010 dan baru diketahui publik pada 3 Maret 2011.

KPK sendiri beralasan ditutupinya penetapan tersangka lantaran sedang melakukan proses penyidikan. Untuk diketahui pula, dalam kasus ini KPK belum satupun menetapkan tersangka dari pihak rekanan. "Sedang dalam proses," ujar  sumber KPK lainnya.

Kasus ini merupakan pengembangan penyidikan dari kasus pengadaan serupa di Kementerian Kesejahteraan Rakyat yang kala itu dipimpina oleh Aburizal Bakrie. Nama mantan Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Sesmenko Kesra) Sutedjo Joewono dijadikan tersangka kasus ini.

Diwawancarai mengenai proses perkara ini di KPK, Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Tri Wahyu KH mengatakan, dia intitusi pimpinan Busyro Muqoddas itu harus menjadi contoh yang baik dan juga menjadi pemecah lingkaran setan, sulitnya memproses pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. "KPK harus lebih maju," kata Tri Wahyu, Jumat (11/3). Artinya, jangan sampai kasus Bambang Tanoe, mengikuti jejak kasus keluarga Tanoe lain yang berlarut-larut penanganannya.

Goyang saham Tanoe
DARIMANA dan bagaimana keluarga Tanoesoedibjo mengisi pundi-pundi logistiknya? Tahukah anda, kerajaan bisnis multimedia yang dibangun keluarga Tanoesoedibjo dalam bendera PT Media Nusantara Citra (MNC) Tbk, misalnya, adalah berawal dari sebuah perusahaan sekuritas?

Ya, PT Bhakti Investama Tbk, perusahaan yang dikomandoi Hary Tanoe, sapaan karib Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo, itu yang menjadi titik awal ´mesin uang´ bagi keluarga ini.

Berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasi (tidak diaudit/unaudited) PT Media Nusantara Citra Tbk dan anak perusahaannya, untuk periode berakhir September 2010, PT. Media Nusantara Citra Tbk (Perusahaan) didirikan berdasarkan Akta No. 48 tanggal 17 Juni 1997 dari H. Parlindungan L. Tobing, SH, notaris di Jakarta. Akta pendirian ini disahkan oleh Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No. C-15092.HT.01.01.TH2000 tanggal 25 Juli 2000 dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 23 tanggal 19 Maret 2002 Tambahan No. 2780.

Anggaran Dasar Perusahaan telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir dengan akta No. 117 tanggal 15 Mei 2008 dari Sutjipto, S.H., notaris di Jakarta untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Akta perubahan ini telah memperoleh persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam Surat No. AHU- 19615.AH.01.02.Tahun 2009 tanggal 8 Mei 2009.

Kantor pusat Perusahaan berlokasi di MNC Tower (dahulu Menara Kebon Sirih), Jalan Kebon Sirih Kav. 17-19, Jakarta Pusat 10340. Perusahaan memulai kegiatan komersial pada Desember 2001. Jumlah karyawan Perusahaan pada tanggal 30 September 2010 dan 2009 adalah masing-masing sebanyak 207 karyawan dan 185 karyawan.

Tergabung dalam Mediacom, susunan pengurus perusahaan per 30 September 2010, adalah:
Komisaris Utama Rosano Barack; Komisaris Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo dan Lucas Chow; Komisaris Independen Djoko Leksono Sugiarto dan Irman Gusman; Direktur Utama Hary Tanoesoedibjo; Direktur Sutanto Hartono, Agus Mulyanto, Muliawan P. Guptha, dan Oerianto Guyandi.

Anak perusahaan silakan klik link ini.

Pada tanggal 13 Juni 2007, Perusahaan memperoleh pernyataan efektif dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) dengan Surat Keputusannya No. S-2841/BL/2007 untuk melakukan Penawaran Umum kepada masyarakat atas 4.125.000.000 saham Perusahaan dengan nilai nominal Rp 100 per saham dan harga penawaran Rp 900 per saham. Saham-saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (dahulu Bursa Efek Jakarta dan Surabaya) pada tanggal 22 Juni 2007.               
                         
Pada tanggal 5 September 2006, MNC B.V. menerbitkan Guaranteed Secured Notes sebesar US$ 168.000.000 dengan tingkat bunga tetap 10,75% per tahun, yang dicatatkan di Bursa Efek Singapura. Saldo notes pada tanggal 30 September 2010 dan 2009 masing-masing sebesar US$ 142,7 juta.

Pada tulisan-tulisan sebelumnya, telah diungkapkan mengenai perkara-perkara hukum, yang menyelimuti imperium bisnis keluarga Tanoesoedibjo, mulai dari kasus Sisminbakum, sengketa saham TPI, korupsi pengadaan alat kesehatan outbreak flu burung, dan sebagainya.

Primaironline.com mencatat, ada setidaknya perkara lain yang menghinggapi keluarga Tanoesoedibjo, yaitu:

1. Dugaan monopoli penyiaran melalui kepemilikan banyak televisi
Pada 2008
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sempat menyelidiki kembali dugaan praktik monopoli kelompok usaha MNC atas kepemilikan beberapa stasiun televisi. KPPU menyelidiki kepemilikan MNC atas stasiun televisi RCTI, TPI, dan Global TV setelah menerima tembusan surat somasi dari Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI).

Tanoe Ngotot pelaku usaha lain agar dihukum denda monopoli hak siar liga Inggris.

29 Agustus 2008
KPPU telah memutus perkara No. 03/KPPU-L/2008 mengenai Hak Siar Barclays Premier League (Liga Utama Inggris) musim 2007-2010. KPPU telah menyatakan Astro Malaysia dan ESS melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha. Perjanjian antara ESS dan Astro Malaysia soal distribusi konten Liga Inggris dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di industri televisi berbayar di Indonesia. Perkara atas laporan yang dilakukan oleh PT MNC Sky Vision alias Indovision.

Pada Februari 2010
Nasib upaya hukum keberatan terkait putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang diajukan oleh PT MNC Sky Vision terjawab sudah. Pengadilan Negeri Jakarta Barat memutuskan menolak upaya keberatan MNC ini.

Majelis Hakim yang diketuai Hakim Aris Munandar menegaskan dalam pertimbangan putusannya berpendapat MNC tidak mempunyai kapasitas untuk mengajukan upaya hukum keberatan. Posisi MNC tidak memenuhi legal standing sebagai pemohon keberatan sebagaimana UU No.5 tahun 1999 dan Perma No.03 tahun 2005. Dimana yang dapat mengajukan keberatan atas putusan KPPU hanya pelaku usaha terlapor.

2. Hary Tanoesoedibjo dilaporkan atas tayangan dalam program acara Silet di RCTI yang diduga melanggar Undang-Undang Penyiaran No 32/2002. Dalam tayangan itu, Silet mempertontonkan berita yang menyesatkan terkait bencana letusan Gunung Merapi.
 
Dalam laporan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Harry Tanoe dijerat dengan Pasal 36 ayat 5 UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Jika terbukti bersalah, bos MNC itu diancam lima tahun penjara dan denda paling besar Rp10 miliar.

Saat diwawancarai mengenai korelasi dan dampak antara setumpuk kasus MNC dan pencatatannya sebagai perusahaan publik di bursa, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) Nurhaida menegaskan, saat ini pihaknya belum dapat memberikan komentar terkait kasus perseteruan kepemilikan saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) antara Siti Hardijanti Rukmana melawan bos PT Media Nusantara Citra (MNC) Tbk Hary Tanoesoedibjo. "Saya belum ada komentar karena kasusnya sedang diproses di pengadilan," demikian bunyi pesan singkat Nurhaida yang diterima redaksi primaironline.com, Kamis (10/3) malam.

Dus, Nurhaida pun enggan mengomentari kemungkinan otoritas bursa untuk dapat menempuh jalur diskresi terhadap saham emiten multimedia tersebut. Sebab, perseteruan di ranah peradilan tersebut menguak kemungkinan potensi kerugian terhadap para pemegang saham publik MNC.

Sementara itu, pengamat pasar modal Adler Haymans Manurung menegaskan, dalam perkara hukum seperti yang tengah dihadapi emiten MNC ini, pihak otoritas bursa perlu sigap dalam bersikap. Pasalnya, apabila kasus gugatan kepemilikan saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) dimenangkan oleh kubu Tutut selaku penggugat, maka putusan pengadilan itu berpotensi menimbulkan kerugian besar terhadap pemegang saham MNC.

“Harusnya ketika ada perkara gugatan semacam ini, saham MNC mesti di-suspend atau dihentikan perdagangannya sampai kasusnya selesai diputus di pengadilan,” tegas Adler, saat dihubungi primaironline.com, di Jakarta, Kamis (10/3).

Menurut dia, sesuai ketentuan pasar modal di negara mana pun, saham milik emiten yang tengah berperkara hukum, tidak boleh untuk diperdagangkan. “Di sini yang terjadi justeru sebaliknya, sudah jelas manajemen MNC tengah menghadapi gugatan hukum, tapi sahamnya tetap diperjualbelikan,” tukas dia.

Menyangkut lamanya proses perkara gugatan di ranah peradilan, imbuh Adler, otoritas bursa, dalam hal ini Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) mesti membuat sebuah terobosan baru. “Terobosan ini yang sedang diperjuangkan oleh pelaku pasar agar otoritas bursa bisa menerapkan diskresi terhadap saham emiten yang menghadapi perkara hukum. Hal ini demi melindungi kepentingan pelaku pasar modal,” kata Adler.

Sekadar mengingatkan, Ketua Bapepam LK (kala itu) Fuad Rahmany, telah melakukan penyelidikan terkait sengketa kepemilikan saham TPI antara Hary Tanoesoedibjo melawan Siti Hardiyanti Rukmana. Bapepam juga telah meminta informasi klarifikasi terkait sengketa itu kepada Kementerian Hukum dan HAM.

Berdasarkan pengakuan Fuad Rahmany, menurut dokumen penawaran saham perdana melalui konsultasi hukum perseroan menyebutkan TPI adalah salah satu kelompok usaha di bawah bendera PT Media Nusantara Citra Tbk.

Bila boleh berandai-andai, kalau nantinya putusan pengadilan ternyata memenangkan kubu Tutut, bisa dipastikan persoalan gugatan hukum lainnya bakal menanti bos MNC itu. Pasalnya, dengan klaim sepihaknya dengan menyerobot 75 persen saham TPI milik Tutut, Hary Tanoe bakal menghadapi gugatan dari pemegang saham publik di MNC. “Jika pengadilan memang memenangkan kubu Tutut, sangat layak jika pemegang saham MNC lainnya ingin menggugat bos MNC itu,” imbuh Adler.

Putus rantai main mata
MEMUTUS hambatan dalam penegakan hukum yang melibatkan mereka yang kuat secara ekonomi dan politik, agaknya merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Anggota Komisi III DPR RI Nasir Jamil mengatakan, seharusnya pengusaha-pengusaha seperti Hary Tanoesoedibjo dan keluarganya tidak boleh lolos dari jeratan hukum bila aparat penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian tidak bermain mata.

"Kalau mengacu kepada UUD 1945, semua sama di mata hukum, tidak ada alasan orang diperlakukan istimewa, harus sama satu sama lainnya. Kalau kemudian ada semacam perbedaan itu, justru kualitas dan integritas dari penegak hukum kita pertanyakan, ada apa? Seharusnya itu tidak boleh terjadi," kata Nasir di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (10/3).

Ia menyebutkan, anggota DPR yang memiliki imunitas atau kekebalan hukum saja bisa ditangkap, begitu juga dengan kepada daerah seperti gubernur, bupati, walikota.

"Masak pengusaha bisa lolos dari jerat penegak hukum. Seharusnya pengusaha seperti Hary Tanoe itu tidak harus lolos dari jeratan hukum," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.

Menurut dia, sebenarnya masalah lolos atau tidaknya itu sangat tergantung kepada aparat penegak hukumnya, bukan pada hukum itu sendiri.

"Yang salah, bukan hukumnya tapi aparatnya. Penegak hukum, menurut saya bisa bermain mata dengan pengusaha tersebut sehingga kasusnya dilambat-lambatkan, statusnya dilambat-lambatkan dan ujung-ujungnya bisa dipetieskan," kata Nasir.

Ia berharap, pengawasan yang ada di masing-masing institusi seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian harus meningkatkan kerja untuk mengawasi aparat yang bermain mata dengan pengusaha seperti Hary Tanoe bersaudara.

"Kalau mau jujur, di Kejagung, Kepolisian kan ada bidang pengawasan, itulah yang harus dioptimalkan. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum juga diharapkan untuk membantu," ujar dia.

Komisi III DPR, kata dia, memang  tidak bisa melakukan intervensi terhadap penegak hukum dalam kasus Hary Tanoe.

"Kalau ada pengusaha-pengusaha yang bermasalah harus dijerat dengan hukum. Kalau lolos dari jeratan hukum, itu integritas aparat penegak hukum yang dipertanyakan," kata politisi dari Nanggroe Aceh Darussalam itu.

Ada pendapat, tidak tersentuhnya keluarga Tanoesoedibjo dikarenakan ada bekingan yang sangat kuat dari orang-orang tertentu di negeri ini sehingga aparat penegak hukum tak mampu menyentuh dan enggan menindak.

"Saya menduga, ada orang kuat yang ada dibelakang keluarga Tanoesoedibjo," kata anggota Komisi III DPR RI Yahdil Harahap di Jakarta, Kamis (10/3).

Politisi Partai Amanat Nasional itu menyebutkan, karena punya beking kuat tentunya tak lepas dari uang.

"Selain memiliki beking, keluarga Tanoe juga memiliki uang. Dengan uang, tak tertutup kemunginan aparat penegak hukum bisa dibeli atau ada kemungkinan terjadi kongkalikong," kata Yahdil.

Sebenarnya, kata Yahdil, semua sama dimata hukum dan tidak ada kecualinya.

"Begitu juga dengan keluarga Tanoesoedibjo. Aparat hukum harus memiliki integritas dan harus mampu menuntaskan kasusnya. Jangan mudah terpengaruh dengan uang, dengan beking," kata Yahdil.

Kuasa hukum pihak MNC, Andi F. Simangunsong membantah adanya intervensi serta dekatnya keluarga Tanoe dengan aparat penegak hukum. "Enggak ada yang kuat. Tidak ada intervensi," kata Andi.

Sementara itu, Indonesia Court Monitoring menilai  problematika mesranya praktek korupsi di negeri ini lantaran para kaum elite sudah masuk dalam lingkaran setan saling menguntungkan dengan beberapa pengusaha, termasuk keluarga Tanoesudibjo.

Akibatnya, Kepolisian, Kejaksaan dan para politisi tidak kuasa menahan untuk bersikap melindungi pengusaha.

"Jadi kayak lingkaran setan, saling melindungi saling memberi keuntungan ´ekonomi politik´," ujar Direktur Indonesia Court Monitoring, Tri Wahyu Kh, ketika berbincang dengan primaironline.com, Kamis (10/3).

Keuntungan bagi Kepolisian, Kejaksaan serta politisi, menurut dia dapat dilihat dari segi finansial.

Sedangkan bagi pengusaha, sambung dia, akan mendapatkan perlindungan hukum maupun politik dari dua institusi penegak hukum dan politisi.

Tim Redaksi

BACA JUGA: