Fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan merupakan aktivitas Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukan atau memilih pejabat publik seperti: hakim agung, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, komisioner Komnas HAM, anggota Komisi Yudisial dan yang terakhir ini dilakukan adalah memilih tujuh anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Dari banyaknya pejabat publik yang turut dilakukan uji kepatutan/kelayakan di DPR, setidaknya terdapat tiga pejabat publik yang uji kepatutan di DPR ditegaskan dalam UUD 1945, yakni, seleksi Komisi Yudisial melalui Pasal 24B; seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan melalui Pasal 23F ayat (1), serta seleksi calon hakim agung melalui Pasal 24A ayat (3) UUD 1945.

Meski demikian, banyak pertentangan, apakah DPR berhak melakukan fit and proper test terhadap calon pejabat publik tersebut atau tidak, mengingat bunyi dalam UUD 1945, bahasa yang digunakan adalah "persetujuan" DPR, bukan pemilihan oleh DPR.

Selain diatur dalam UUD 1945, undang-undang masing-masing tentang jabatan-jabatan tersebut juga mengatur serupa, seperti di UU Kekuasaan Kehakiman untuk memilih hakim agung, atau dalam UU Komisi Yudisial untuk memilih anggota Komisi Yudisial.

Ada juga pejabat publik yang fit and proper test dari DPR hanya diatur melalui peraturan setingkat undang-undang, misalnya, pemilihan tujuh anggota LPSK. Pasal 20 UU Perlindungan Saksi dan Korban berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20
(1) Panitia seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang calon yang telah memenuhi persyaratan.
(2) Presiden memilih sebanyak 14 (empat belas) orang dari sejumlah calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat memilih dan menyetujui 7 (tujuh) orang dari calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Dapat disimpulkan, kewenangan DPR untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan terdapat dalam UUD 1945, serta diperkuat dalam undang-undang lainnya.

 

HARIANDI LAW OFFICE

BACA JUGA: