Jakarta - Kerugian negara dalam kasus pengendapan pajak hingga Rp2,6 triliun yang terjadi sepanjang 2010 menunjukkan ketidakpastian komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam membangun sistem pengawasan fiskal negara.

"Omongan Presiden SBY tidak sebanding dengan tindakannya. Jadi, lebih banyak retorikanya," ujar anggota Pansus Mafia Pajak dari Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat, di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (8/11).

Selaku seorang Presiden, kata Martin, seharusnya SBY dapat memerintahkan seluruh aparat penegak hukum dalam melakukan pengawasan terhadap penerimaan negara yang diperoleh dari sektor pajak sehingga tidak memberikan ruang bagi pengemplang pajak. "SBY kan pemimpin Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Hukum dan HAM. Jadi, kalau SBY tegas, persoalan akan selesai," tegas Martin.

Sebab, lanjut Martin, akibat ulah pengemplang pajak yang lolos dari pengawasan telah menyebabkan rasio penerimaan pajak (tax ratio) di Indonesia mengalami penurunan. "Saya kira ukurannya, tax ratio kita kan masih sangat rendah, yakni 12 persen. Sedangkan tax ratio di negara lain, misalnya, Srilangka saja sudah 17 persen, dan 22 persen di Malaysia. Harus ada yang dibenahi di sektor perpajakan. Sebenarnya kalau dibenahi, pendapatan negara kan tinggi," tukas Martin.

Seperti diketahui, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Haryono Umar menyatakan, hampir setiap tahun keuangan negara dirugikan sangat besar karena penetapan kedaluwarsa pajak oleh Kementerian Keuangan.

Jumlah kerugian yang dialami negara akibat kedaluwarsa pajak itu, lanjut Haryono, tidaklah sedikit. Dia menyebutkan, pada tahun 2010 lalu Kementerian pimpinan Agus Martowardojo itu menyatakan kerugian akibat kedaluwarsa pajak mencapai Rp2,6 triliun. "Penetapan kedaluarsa pajak Rp2,6 triliun itu hanya yang kita ketahui pada 2010 saja. Bagaimana dengan tahun-tahun sebelumnya yang kita tidak tahu," kata Haryono.

BACA JUGA: