Pemilihan Gubernur DKI Jakarta merupakan salah satu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di wilayah Indonesia yang menjadi perhatian Nasional bahkan Internasional. Sebab, salah satu pasang calon Gubernur DKI Jakarta yang diunggulkan menjadi terdakwa atas tindak pidana Penodaan Agama. Ada pihak mengganggap, kekalahan dari Pasangan calon tersebut , diduga disebabkan karena isu Sara dan kecurangan saat proses Pilkada berlangsung .

Dalam sistem hukum Indonesia, kecurangan dalam proses Pilkada dapat digugat oleh salah satu pasangan calon yang merasa dicurangi, gugatan diajukan di Mahkamah Konstitusi. Namun, gugatan tersebut ada jangka waktunya, dan dimulai sejak diumumkannya hasil Pilkada oleh penyelenggara pemilihan umum yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, dengan cara mengeluarkan surat keputusan penetapan perolehan suara hasil Pilkada.

Nah, berapa jangka gugatannya? Pada dasar Makamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan tentang hasil Pilkada. Hal itu tertuang dalam UUD 1945, UU No 24 Tahun 2003 tentang Makamah Konstitusi. Pihak yang digugat adalah KPU Provinsi untuk pemilihan gubernur, sedangkan KPU Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan atau Walikota.

Adapun jangka waktu gugatannya adalah 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam. Hal tersebut sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 10 Ayat (2) Peraturan Makamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Persesilihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Dengan Satu Pasangan Calon, menyatakan bahwa:

Permohonan pemohon sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan kepada Makamah paling lambat dalam tenggang waktu 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak termohon mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan.

BACA JUGA: