Perkawinan merupakan upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain dalam satu ikatan suci. Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Namun, dalam kenyataannya tidak semua perjalanan perkawinan dapat berlangsung dengan rukun atau langgeng, meski hal ini adalah hal yang tidak diinginkan tiap orang ketika niat untuk menikah. Sehingga banyak pasangan yang berakhir dengan cerai setelah diputus pengadilan Agama.

Terdapat konsekuensi dari putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas anak.

Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan, jelas dikatakan bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan istri yang telah bercerai) dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus.

Namun, bagaimanakah status anak yang masih di bawah umur, jika bapak dan ibunya bercerai, hal tersebut diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan:

“Dalam hal terjadi perceraian:
a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

Sehingga, berdasarkan Ketentuan Kompilasi Hukum Islam tersebut, bagi mereka yang memeluk agama Islam maka anak di bawah umur hak pengasuhannya jatuh ke tangan ibu.

HARIANDI LAW OFFICE

BACA JUGA: