Beberapa hari lalu muncul polemik terkait aturan yang melarang pengambilan foto dan merekam, baik suara maupun video, di ruang sidang tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Aturan tersebut sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Persidangan, yang pada pokoknya menyatakan pengambilan foto, rekaman suara, rekaman televisi harus seizin Ketua Pengadilan Negeri Bersangkutan. Namun, diberitakan juga bahwa SEMA tersebut akan dicabut.

Aturan itu juga melarang pengunjung sidang untuk mengaktifkan ponsel selama persidangan berlangsung serta melarang pengunjung sidang untuk keluar masuk ruang persidangan. Apabila hal tersebut dilanggar maka majelis hakim dapat memerintahkan untuk mengeluarkan pengunjung yang melanggar tersebut dari ruang persidangan.

Aturan itu jelas menyulitkan kerja-kerja jurnalistik yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Menurut UU Pers, pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Bahkan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Hal itu tertuang dalam Pasal 4 UU Pers.

Lebih jauh ditegaskan dalam Pasal 6 UU Pers, pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :

  1. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
  2. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
  3. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
  4. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
  5. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

(NHT)

BACA JUGA: