Korban salah tangkap masih kerap terjadi dalam proses pengungkapan sebuah kasus tindak pidana oleh oknum kepolisian. Berita terkini, ada empat pengamen korban salah tangkap yang diduga melakukan tindak pidana pembunuhan yang akhirnya tidak terbukti bersalah dalam putusan kasasi.

Bagaimana sebenarnya aturan tentang penangkapan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana?

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyidik adalah pejabat polisi negara  Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Dalam hal penyidik Polri melakukan penangkapan terhadap tersangka yang diduga melakukan tindak pidana, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan penyidik. Hal tersebut berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia  Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang menyatakan bahwa:

Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Adanya bukti permulaan yang cukup; dan
b. Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar.

Maksud dari adanya bukti permulaan yang cukup adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 2 (dua) alat bukti yang sah yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penahanan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (23) Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Sejalan dengan aturan tersebut Pasal 18 Ayat (1) KUHAP menyatakan: Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. (NHT)

BACA JUGA: