Aksi Elanto Wijoyono, seorang warga Yogyakarta, yang menyetop rombongan motor gede (moge) yang dinilainya tak taat lalu lintas telah membuat perdebatan tentang adanya diskresi oleh pejabat pemerintahan. Masyarakat berpendapat tindakan polisi mengawal rombongan moge merupakan tindakan yang berlebihan. Di sisi lain, ada pendapat yang menyatakan tindakan kepolisian merupakan diskresi dari pejabat pemerintahan. Lalu bagaimana aturan hukum diskresi?

Banyak pakar hukum yang memberikan definisi asas diskresi. Menurut Saut P. Panjaitan, diskresi (pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman) merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, jadi merupakan "kekecualian" dari asas legalitas.

Menurut Prof. Benyamin, diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dengan demikian, menurutnya, setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi.

Selanjutnya Gayus T. Lumbuun mendefinisikan diskresi sebagai berikut:
"Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).”

Freies Ermessen (Jerman), pouvoir discretionnaire (Perancis), discretionary power (Inggris) atau diskresi menurut Kuntjoro Purbopranoto (1981) adalah kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah dalam menghadapi situasi yang konkret (kasuistis). Dalam pandangan Kuntjoro, freies ermessen harus didasarkan pada asas yang lebih luas yaitu asas kebijaksanaan, yang menghendaki bahwa pemerintah dalam segala tindak tanduknya itu harus berpandangan luas dan selalu dapat menghubungkan dalam menghadapi tugasnya itu gejala-gejala masyarakat yang harus dihadapinya, serta pandai memperhitungkan lingkungan akibat-akibat tindak pemerintahannya itu dengan penglihatan yang jauh ke depan.

Jadi dapat diartikan diskresi yaitu kebebasan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam menyelesaikan persoalan yang memerlukan penanganan segera tetapi peraturan untuk penyelesaian persoalan itu belum ada karena belum dibuat oleh badan yang diserahi tugas legislatif.

Menurut Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan. Badan dan atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.

Hal-hal penting menyangkut diskresi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan antara lain:
1. Diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang;

2. Setiap penggunaan diskresi pejabat pemerintahan bertujuan untuk:
a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. mengisi kekosongan hukum;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Adapun yang dimaksud dengan stagnasi pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, contohnya: keadaan bencana alam atau gejolak politik.

3. Diskresi pejabat pemerintahan meliputi:
a. pengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan;
b. pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
c. pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
d. pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

4. Pejabat pemerintahan yang menggunakan diskresi harus memenuhi syarat:
a. sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB);
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.

5. Penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan dimaksud dilakukan apabila penggunaan diskresi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.

DISCLAIMER: Rubrik Konsultasi dan Tips Hukum ditujukan untuk memberikan pengetahuan umum tentang persoalan hukum sehari-hari dan tidak digunakan untuk kepentingan pembuktian di peradilan. Rubrik ini dikelola oleh advokat dan penasihat hukum.  

BACA JUGA: