Arizka Warganegara, Universitas Lampung

Gibran Rakabuming Raka, putra pertama Presiden Joko “Jokowi” Widodo, mendapat dukungan sangat kuat sebagai calon wali kota Surakarta di Jawa Tengah hingga terbuka kemungkinan ia menjadi calon tunggal dalam pemilihan tersebut.

Gibran awalnya mendapat dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang memiliki 30 kursi dari total 45 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surakarta.

Ia kemudian mendapat dukungan dari Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Golkar, yang masing-masing menguasai tiga kursi di DPRD.

Dengan dukungan 39 kursi di DPRD, besar kemungkinan Gibran menjadi satu-satunya calon wali kota Surakarta untuk periode 2020-2025 yang pemilihannya dijadwalkan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada 9 Desember 2020.


Baca juga: Pentingnya menghindari bias kognitif dalam memilih pemimpin yang baik saat pemilu


Mekanisme calon tunggal

Undang-Undang (UU) No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada mensyaratkan partai politik (parpol) atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika memiliki minimal 20 persen dari total kursi DPRD.

Di Surakarta, ini berarti pasangan calon membutuhkan dukungan minimal 9 kursi.

UU tersebut juga menjelaskan mengenai mekanisme calon tunggal. Ada lima kemungkinan calon tunggal akan melenggang dalam Pilkada.

Pertama, calon tunggal terjadi jika sampai batas akhir pendaftaran dan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya ada satu calon yang dinyatakan memenuhi syarat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Kedua, terdapat beberapa pasangan yang mendaftar akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh KPUD hanya satu pasangan yang memenuhi syarat, dan setelah masa pendaftaran diperpanjang terdapat pasangan lain mendaftar akan tetapi tidak memenuhi syarat.

Ketiga, beberapa pasangan memenuhi syarat pendaftaran, namun sejak masa penetapan calon sampai dimulainya masa kampanye terdapat pasangan lain yang berhalangan tetap seperti kandidat meninggal dunia atau kandidat tidak dapat melaksanakan tugas secara permanen.

Calon tunggal terjadi jika parpol atau koalisi parpol pendukung pasangan yang berhalangan tersebut tidak mengusulkan pergantian calon atau calon pengganti yang diajukan tidak memenuhi syarat.

Keempat, calon tunggal juga bisa terjadi jika sejak kampanye dimulai sampai dengan pemungutan suara, ada pasangan calon lain berhalangan tetap dan parpol atau koalisi parpol tidak mengusulkan pengganti atau mengajukan pengganti tapi tidak memenuhi syarat.

Kelima, calon tunggal juga bisa terjadi jika pasangan calon lain terdiskualifikasi seperti memalsukan ijazah atau petahana menggunakan fasilitas negara bagi kepentingan kampanye sehingga menyebabkan satu pasangan calon yang memenuhi syarat.

Secara teknis, pelaksanaan pemilihan calon tunggal tidak jauh berbeda dengan pemilihan dengan pasangan calon lebih dari satu.

Pemilih akan disuguhi dua kotak dalam kertas suara. Kotak pertama adalah gambar pasangan calon tunggal dan kotak kedua adalah kotak kosong yang tidak bergambar.

Setiap pemilih diminta untuk mencoblos salah satu kotak tersebut.


Baca juga: Celah hukum dalam aturan dana kampanye pilkada serentak 2020 bisa picu banyak kecurangan


Bagaimana jika calon tunggal kalah?

Kotak kosong menang jika calon tunggal tidak mampu mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah.

Jika ini terjadi, UU mengamanatkan pemilihan ulang pada periode pemilihan serentak berikutnya.

Calon tunggal yang dinyatakan “kalah” dapat kembali mencalonkan diri dengan mengikuti mekanisme awal termasuk juga susunan parpol pendukung yang mungkin saja berbeda.

Secara politik, tidak ada jaminan parpol atau koalisi parpol lama akan mendukung calon tunggal yang kalah tersebut.

Pada Pilwalkot Makassar di Sulawesi Selatan pada 2018, kotak kosong dinyatakan menang dengan memperoleh 53 persen suara sedangkan calon tunggal, pasangan Munaffri Arifuddin-Rachmatika Dewi, hanya memperoleh 47 persen suara.

Karena tidak ada ada pasangan calon terpilih, maka pemerintah menugaskan penjabat sementara untuk memimpin hingga pemilihan berikutnya.


Baca juga: Riset temukan tiga penyebab praktik kecurangan pada pemilu 2014 dan 2019


Calon tunggal dalam demokrasi

Keberadaan calon tunggal dapat dikaitkan dengan kemunduran demokrasi dan menguatnya oligarki politik.

Mekanisme pemilihan di Indonesia saat ini sangat berbasis pasar dan modal sehingga memunculkan kesempatan bagi satu kelompok politik untuk mendominasi.

Tahun lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut bahwa seseorang butuh dana setidaknya Rp30 miliar jika ingin menjadi calon bupati.

Pilkada Indonesia sangat pragmatis dan menyebabkan dinamika politik yang mendorong munculnya calon tunggal dalam arena Pilkada.

Menurut saya ada beberapa sebab mendasar munculnya calon tunggal.

Pertama, ada satu kelompok politik yang terlalu menguasai dan dominan sehingga tidak terdapat ruang interaksi kekuasaan yang berimbang.

Hal ini diperparah dengan kepentingan elite untuk selalu berada dalam lingkaran kekuasaan.

Pada posisi inilah Gibran berada.

Dominasi PDI-P di Surakarta, mesin elektoral Jokowi, dan kekuatan modal adalah tiga unsur begitu kuatnya posisi Gibran dalam arena politik di Surakarta.

Kedua, ada kandidat yang sangat populer dan tingkat elektabilitas tinggi, sehingga calon yang lain melihat tidak ada peluang mengalahkan kandidat tersebut.

Ini biasanya terjadi pada kandidat dengan posisi petahana yang memiliki modal konstituen.

Sebenarnya, keberadaan “kotak kosong” dapat menjadi simbol perlawanan publik terhadap kepentingan elite.

Kemenangan kotak kosong pada Pilwalkot Makasar 2018 menunjukkan bahwa keinginan elite dan publik tidak selalu berbanding lurus.

Mekanisme kotak kosong setidaknya dapat menjadi metode untuk memperkecil dominasi kepentingan elite terhadap kehendak publik.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.The Conversation

Arizka Warganegara, Lecturer at Department of Government Studies, Universitas Lampung

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: