Putu Sukma Kurniawan, Universitas Pendidikan Ganesha

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu yang paling terdampak oleh pandemi COVID-19, celakanya mereka adalah penopang perekonomian Indonesia.

Tahun lalu saja, UMKM diperkirakan menyumbang 65% dari produk domestik bruto (PDB) nasional atau sekitar Rp2.394,5 triliun.

Akibat dari pandemi banyak pelaku UMKM dari berbagai sektor tidak beroperasi maksimal, keberlangsungan mereka pun terancam. Sampai tahun 2018 sendiri tercatat ada sebanyak 64,2 juta UMKM di Indonesia.

Menurut survei pada bulan April lalu kepada 571 perusahaan yang dilakukan oleh Program International Labour Organization (ILO) mengenai Kesinambungan Daya Saing dan Tanggung Jawab Perusahaan (SCORE) Indonesia, sebanyak 90% perusahaan responden mengalami masalah keuangan karena pandemi, yang membutuhkan dukungan mendesak dari pemerintah dalam arus kas agar dapat bertahan. Dampak pandemi lainnya sekitar 63% perusahaan responden telah mengurangi jumlah pekerja dan banyak perusahaan lainnya berencana melakukan hal yang sama.

Untuk mengurangi dampak pandemi COVID-19, pemerintah telah merencanakan beberapa stimulus. Salah satunya berupa program pemulihan ekonomi sebesar Rp 150 triliun, yang akan digelontorkan untuk restrukturisasi hutang atau upaya perbaikan bagi debitur yang kesulitan membayar hutang. Upaya ini bisa berupa pengurangan bunga, perpanjangan jangka waktu kredit, sampai mengubah hutang menjadi saham perusahaan.

Beberapa informasi dari media massa dan fakta di lapangan menunjukkan bantuan tersebut kurang tepat sasaran, karena ada permasalahan-permasalahan hutang UMKM mendasar yang belum terpecahkan. Beberapa di antaranya adalah tentang hutang UMKM ke lembaga tidak resmi yang mencekik dan manajemen risiko mereka yang masih buruk. Pemerintah seharusnya membenahi masalah-masalah tersebut terlebih dahulu untuk memastikan bentuk yang tepat untuk menolong UMKM pada masa pandemi.

Permasalahan hutang UMKM

Bantuan dari pemerintah dipastikan hanya akan menjadi solusi sementara jika permasalahan UMKM di bawah ini tidak diselesaikan:

1. Meminjam dari lembaga keuangan ilegal

Banyak UMKM yang meminjam pendanaan dari lembaga keuangan ilegal atau tidak resmi.

Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, salah satunya karena persyaratan bank yang terlampau tinggi sehingga UMKM mencari sumber pendanaan lain.

Data pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 40% UMKM di Jawa Barat telah terjerat hutang rentenir.

Kerugian pendanaan dari lembaga tidak resmi adalah bunga pinjaman yang sangat tinggi dan tidak bisa melakukan proses restrukturisasi utang sesuai kebijakan pemerintah, terutama saat kondisi pandemi atau krisis.

2. Banyak tidak mengetahui mekanisme restrukturisasi

Jika pun UMKM mendapatkan pendanaan dari perbankan atau lembaga keuangan resmi, kebanyakan tidak memahami bagaimana caranya agar bisa melakukan restrukturisasi utang. Pengetahuan pelaku UMKM mengenai proses penjadwalan ulang hutang belum sejalan dengan kebijakan pemerintah dan sosialisasi pemerintah belum menjangkau luas.

3. Data UMKM belum lengkap

Permasalahan UMKM saat pandemi juga ditambah belum lengkapnya ketersediaan data UMKM pada tingkat pemerintah kabupaten.

Data-data pada tingkat kabupaten belum diperbarui secara berkala dan kurangnya dukungan data ini menyebabkan kebijakan pemerintah tidak berjalan dengan baik.

Bahkan pemerintah pusat pun mengakui bahwa data mengenai UMKM ini memang belum tersedia dengan baik.

Masalah ini dialami juga oleh pemerintah pusat yang menyatakan kesulitan untuk melakukan pendataan UMKM.

Tanpa adanya dukungan data ini kebijakan pemerintah mengenai UMKM tidak akan berjalan dengan baik, data ini dapat membantu menyeleksi UMKM mana yang perlu mendapatkan atau layak mendapatkan bantuan.

Pembenahan kebijakan untuk UMKM

Ini adalah beberapa kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk mendukung keberlanjutan bisnis pelaku UMKM di masa depan:

1. Sosialisasi proses dan standar restrukturisasi hutang UMKM

Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UMKM harus menggandeng pemerintah daerah untuk melakukan sosialisasi berkala kepada pelaku UMKM.

Pihak perbankan pun dapat terjun langsung ke lapangan untuk menjelaskan mekanisme restrukturisasi utang yang dapat dilakukan agar lebih banyak UMKM yang mengajukan pendanaan modal ke lembaga resmi. Informasi mengenai skema restrukturisasi hutang seperti ini harus dapat diakses dengan mudah oleh pelaku UMKM.

Pemerintah juga harus menyusun standar atau pedoman resmi bagi perbankan ketika pelaku UMKM mengajukan restrukturisasi utang saat krisis atau pandemi.

2. Sosialisasi mengenai Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan pemodalan UMKM

Informasi mengenai KUR dan mekanisme pemodalan resmi kepada pelaku UMKM harus diperluas. KUR dapat menjadi skema bagi pelaku UMKM untuk menambah pemodalan atau ekspansi bisnis baru. Praktek penyaluran KUR di lapangan harus sesuai dengan maksud dan tujuan dari KUR itu sendiri.

Data tahun 2017 menunjukkan bahwa realisasi KUR hanya mencapai 18%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada pelaku UKMK dan persyaratan administrasi dalam pengajuan KUR.

Data terakhir menunjukkan tahun 2020 realisasi KUR telah meningkat menjadi 32,15%. Hal ini karena pemerintah mengambil kebijakan untuk menurunkan suku bunga KUR dan industri perbankan yang tetap gencar menyalurkan KUR.

Sosialisasi yang masif harus dilakukan dan akses luas melalui media sosial terhadap informasi mengenai KUR bagi pelaku UMKM harus terus ditingkatkan di masa depan. Pemerintah pusat dapat menjalin kerja sama dengan komunitas sosial untuk melakukan kegiatan sosialisasi penyaluran KUR.

3. Penguatan data UMKM di pemerintah daerah

Data-data mengenai jenis usaha dan kondisi keuangan UMKM harus diperbarui secara konsisten.

Banyak UMKM di daerah yang mengalami kebangkrutan pada tahun 2019 dan tidak mendapatkan pendampingan dari pemerintah daerah.

Pendataan ini sangat penting karena berkaitan dengan perizinan, perpajakan, dan pengawasan terhadap keberlangsungan bisnis UMKM. Tentu saja data-data ini akan sangat berguna jika di masa depan ada pandemi atau krisis.

4. Penyusunan standar manajemen resiko UMKM saat krisis

Pelatihan mengenai manajemen risiko kepada pelaku UMKM harus dilakukan secara berkala, karena pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan mereka menjalankan kegiatan bisnisnya dengan prinsip-prinsip usaha yang baik. Belum adanya pemahaman yang baik mengenai konsep manajemen risiko juga membuat pelaku UMKM mengambil opsi cepat untuk merumahkan karyawan.

5. Peran serta perusahaan atau industri besar terhadap keberlangsungan bisnis UMKM saat pandemi atau krisis

Di masa depan, pemerintah dapat menyusun sebuah kebijakan mengenai peran serta industri besar terhadap pelaku UMKM saat pandemi atau krisis.

Program Kemitraan Bina Lingkungan dapat memberikan pedoman yang lebih spesifik untuk mendukung pelaku UMKM dalam kondisi pandemi atau krisis.

Kebijakan ini sangat penting sebagai bentuk kepedulian industri besar terhadap pelaku UMKM yang telah membantu dalam proses produksi dan distribusi barang dan jasa.

Ekosistem bisnis adalah sebuah ekosistem besar yang jika salah satu bagiannya rusak maka dapat membuat bagian lain menjadi tidak berfungsi. Kebijakan ini juga dapat dikaitkan dengan kebijakan tanggung jawab sosial yang selama ini sudah dimiliki oleh industri besar.The Conversation

Putu Sukma Kurniawan, Staf Pengajar Program Studi Akuntansi, Universitas Pendidikan Ganesha

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: