Dicky Pelupessy, Universitas Indonesia

Sejak kasus pertama COVID-19 diumumkan di Indonesia pada 2 Maret 2020, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi dampak pandemi global yang kian meluas.

Setidaknya pemerintah pusat telah mengeluarkan setidaknya 15 peraturan nasional terkait wabah sejak Februari.

Namun, strategi-strategi penanganan yang dipilih cenderung top-down (dari atas ke bawah) atau bertumpu pada pemerintah pusat karena bergantung pada intervensi, struktur, dan kekuatan yang dimiliki pemerintah.

Sebagai contoh, untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB_ di suatu wilayah, gubernur, bupati, atau walikota setempat harus membuat permohonan kepada dan mendapat persetujuan dari Menteri Kesehatan.

Pendekatan berbasis komunitas – yang kita akrab kenal sebagai “gotong royong” - belum dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah.

Padahal kita telah melihat berbagai upaya-upaya mandiri masyarakat untuk mengatasi dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial secara bergotong royong cukup berhasil.

Namun pemerintah tampaknya tidak menjadikan pendekatan berbasis komunitas sebagai pilihan strategi.


Baca juga: Ahli: inisiatif masyarakat saat pandemi COVID-19 lahir karena lambannya gerak pemerintah


Mengapa top down?

Pada April, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menetapkan status bencana nasional, disusul dengan menetapkan pembatasan jarak (physical distancing) sebagai strategi dasar.

Pada Mei, pemerintah mengumumkan tiga ujung tombak: penanganan kedaruratan kesehatan, jaring pengaman sosial, dan ketahanan ekonomi.

Di luar masalah kesehatan, wabah telah meningkatkan pengangguran dan kemiskinan, kerawanan pangan, kekerasan dalam rumah tangga, gangguan keamanan dan potensi konflik sosial.

Pemerintah tampak kukuh dengan pendekatan top down setidaknya karena dua alasan: pertama, pemerintah tampak memiliki keyakinan yang berlebihan - atau dalam psikologi disebut bias optimisme - untuk menangkal atau mengatasi wabah COVID-19. Ini terutama terlihat di masa awal wabah.

Misalnya dari sikap Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mementahkan hasil studi Universitas Harvard di Amerika Serikat karena begitu yakin dengan standar pemeriksaan dan alat yang digunakan Kementerian Kesehatan untuk mendeteksi virus.

Indikasi lain adalah ketika pemerintah yakin coronavirus tidak kuat hidup di iklim tropis, dan merasa mampu mencegah kepanikan dan keresahan di tengah masyarakat dengan cara merahasiakan sejumlah informasi.

Kedua, pemerintah fokus pada ancaman wabah terhadap perekonomian terutama investasi dan pariwisata yang bisa diatasi dengan intervensi dari pemerintah dan bukan dari masyarakat.


Baca juga: Mampukah pemimpin populis berperan dalam krisis COVID-19?


Gotong royong dalam pandemi

Dalam konteks menghadapi pandemi, gotong royong di Indonesia lebih dari sekadar solidaritas sosial. Ada dua alasan pokok.

Pertama, alasan sejarah dan substansi. Pidato Soekarno yang menandai kelahiran Pancasila menegaskan gotong royong sebagai karakter utama negara Indonesia.

Dalam pidato yang ia lakukan beberapa minggu sebelum Proklamasi Kemerdekaan, Soekarno menjelaskan gotong royong sebagai “satu usaha, satu amal, satu pekerjaan …buat kepentingan semua, …buat kebahagiaan semua.”

Singkatnya, gotong royong adalah usaha bersama untuk kesejahteraan bersama.

Kedua, cara kerja. Gotong royong menjadi dasar operasi bagi Indonesia sebagai negara bangsa (nation state) yang dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kita mengenali warga Indonesia lain sebagai saudara sebangsa dan setanah air melalui simbol-simbol seperti bahasa, lagu kebangsaan, dan sebagainya.

Warga negara Indonesia yang beragam masing-masing membangun dalam pikiran atau benaknya kedekatan satu sama lain dan membangun pula kedekatan tersebut sebagai persatuan dalam satu negara Indonesia.

Indonesia disebut oleh sejarawan dan anthropolog Benedict Anderson adalah satu komunitas yang terbayang (imagined community).

Gotong royong menjadi dasar berlangsungnya satu komunitas yang disebut Indonesia. Dengan demikian, mempraktikkan gotong royong untuk mengatasi pandemi adalah wujud dari perasaan satu komunitas (sense of community) yang kita miliki.

Gotong royong di Indonesia bukan hanya menunjukkan kondisi ideal tentang komunitas, tetapi juga ikatan kuat suatu persatuan kolektif ketika komunitas terancam oleh bahaya.

Russell Dynes, sosiolog bencana asal Amerika Serikat, menyatakan bahwa komunitas adalah unit sosial yang fundamental untuk mendefinisikan bencana.

Dampak suatu bencana amat ditentukan oleh upaya yang ditampilkan oleh komunitas sebelum, saat, atau setelah bencana. Tindakan dan upaya adaptasi komunitas menentukan seberapa besar jumlah korban dan kerusakan atau kerugian.

Menurut Dynes, indikator paling akurat dampak suatu bencana sesungguhnya dapat dilihat dari aksi dan adaptasi komunitas.

Aksi dan adaptasi komunitas menentukan seberapa tangguh komunitas dalam menghadapi bencana. Dengan kata lain, ketangguhan komunitas bergantung pada tindakan-tindakan aktif dan adaptif anggota-anggota komunitas ketika mengalami peristiwa bencana.

Studi yang saya lakukan terhadap masyarakat yang terdampak letusan Gunung Merapi tahun 2010 di Yogyakarta menunjukkan bahwa pemulihan bencana merupakan sebuah proses adaptasi yang melibatkan strategi bersifat kultural dan dilakukan bersama-sama oleh para anggota komunitas. Tindakan atau praktik yang dilakukan bersama-sama oleh komunitas berdasarkan relasi sosial yang dimiliki menentukan pemulihan komunitas.

Dalam situasi pandemi, lewat gotong royong, anggota komunitas melindungi dan menjaga anggota komunitas lainnya terutama yang lebih rentan, lebih lemah, atau terstigma.

Gotong royong mewujudkan empati komunitas terutama terhadap anggota-anggota komunitas yang terdampak hebat oleh pandemi. Gotong royong menjadi upaya komunitas untuk pulih dari hantaman pendemi.

Indikator seberapa besar dampak pandemi dan seberapa tangguh Indonesia adalah bagaimana masyarakat Indonesia bergotong royong.


Baca juga: Bagai “berburu rusa”: solidaritas dan kerja sama akan menyelamatkan kita di tengah pandemi


Menghadapi pandemi

Pemerintah perlu lebih eksplisit dan tegas - namun tidak terjebak jargon - dalam menjadikan gotong royong sebagai kerangka berpikir strategi menangani pandemi.

Pemerintah perlu merancang lebih rinci bagaimana gotong royong dipraktikkan di level nasional, daerah, hingga akar rumput; mengikuti apa yang dijelaskan Soekarno, yaitu sebagai usaha, amal, dan pekerjaan bersama untuk kepentingan bersama menangani dan mengatasi dampak pandemi.

Praktik yang bisa menjadi contoh adalah usaha perusahaan BUMN memenuhi kebutuhan masker bagi karyawannya dengan memberdayakan penjahit lokal; atau kolaborasi antar perguruan tinggi dan yayasan untuk memproduksi ventilator yang dibutuhkan rumah sakit untuk pasien COVID-19.

Yang perlu diingat, desain gotong royong menangani dan mengatasi dampak pandemi bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama (sebuah konsep yang secara universal hadir dalam bahasa Latin ‘bonum commune’).

Dengan gotong royong, kita tangguh menghadapi bencana bersama-sama dan makin teguh dalam satu komunitas besar yang bernama Indonesia.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.The Conversation

Dicky Pelupessy, Lecturer, Faculty of Psychology, Universitas Indonesia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: