Irwandy, Universitas Hasanuddin

Hanya dalam hitungan kurang dari satu setengah bulan pandemi COVID-19 telah melumpuhkan sistem kesehatan masyarakat di Italia.

Hal serupa juga berpotensi terjadi di Indonesia jika pemerintah tidak segera mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan keadaan terburuk dari penyebaran penyakit global ini.

Sejak 19 Maret 2020, Italia menempati urutan pertama negara dengan angka kematian tertinggi (per 26 Maret sekitar 7.500 kematian) akibat pandemi COVID-19. Angka tersebut melampaui Cina yang bertahan pada angka sekitar 3.200 kematian walau jumlah kasus di Cina lebih banyak dan diserang virus ini lebih awal dibanding di Italia.

Angka kematian di Indonesia per 26 Maret akibat COVID menempati urutan tertinggi (78 kasus kematian) di kawasan ASEAN. Kasus baru tiap hari juga terus bertambah secara eksponensial.

Jika dianologikan, maka Indonesia saat ini dapat disebut sebagai “Italia-nya ASEAN”.

Jika pemerintah tidak mengantisipasi ancaman ini dengan cepat dan tepat, tingginya jumlah kematian di Italia akibat COVID-19 dapat juga terjadi di Indonesia.

Apalagi beberapa ilmuwan Indonesia memprediksi ada 11.000-71.000 kasus pada akhir April 2020 di Indonesia bila pemerintah tidak segera mengambil intervensi secara besar-besaran untuk memperlambat laju penyebaran virus.

Jika tak ingin bernasib seperti Italia, pemerintah pusat dan daerah harus memiliki sebuah “rencana responsif” dengan fokus kepada empat strategi pokok: perlindungan masyarakat umum, perlindungan populasi rentan dan berisiko, perlindungan tenaga kesehatan, dan peningkatan kapasitas layanan kesehatan.

Perlindungan masyarakat umum

Karena obat dan vaksin COVID-19 belum ditemukan, satu-satunya cara untuk menekan peningkatan jumlah penderita dan kematian akibat penyakit ini adalah memutus rantai penularan.

Berbagai negara telah mengambil kebijakan mengkarantina wilayah (lockdown) total seperti Cina, Italia, sebagian wilayah seperti Malaysia atau pembatasan jarak antarindividu 1-2 meter (social distancing) seperti Korea Selatan dan Singapura. Indonesia saat ini memilih pendekatan pembatasan jarak sosial.

Apa yang dapat kita pelajari dari Italia?

Italia dikenal memiliki masyarakat dengan budaya sosial yang tinggi. Masyarakat di sana sangat senang berkumpul, bersosialisasi, dan hidup bersama keluarga besar dalam satu rumah.

Perilaku yang senang berkumpul ini tidak hanya dilakukan oleh penduduk usia muda, tapi juga oleh para penduduk usia lanjut. Masyarakat Italia juga memiliki keyakinan yang sangat tinggi terhadap kuatnya sistem pelayanan kesehatan mereka.

Hal ini mempengaruhi perilaku masyarakat di sana dalam menghadapi COVID-19 khususnya pada awal penyebaran Virus.

Kasus pertama di Italia dilaporkan pada 15 Februari 2020 dengan jumlah 3 kasus positif. Kemudian negara itu pertama kali menerapkan kebijakan lockdown terbatas/sebagian pada 21 Februari 2020 di beberapa kota di Lombardy dengan angka kasus pada saat itu baru mencapai 21 kasus positif dan 1 pasien meninggal.

Sayangnya ketegasan pemerintah dalam menerapkan lockdown waktu itu dinilai lemah. Penduduk masih diizinkan untuk meninggalkan rumah mereka walaupun sekolah dan tempat kerja telah diliburkan.

Transportasi umum juga masih diizinkan untuk beroperasi dan melewati daerah karantina tersebut.

Hal ini dapat dilihat dari data yang diperlihatkan oleh perusahaan Ceubiq dan University of Turin menggunakan data dari perusahaan telepon seluler. Kala itu hanya terjadi pengurangan 50% perpindahan penduduk antarprovinsi dan penurunan interaksi pribadi hanya berkurang 19% antara 22 Februari dan 10 Maret.

Kondisi yang terjadi saat ini di Indonesia mirip dengan yang telah terjadi di Italia bulan lalu. Kebijakan pemerintah Indonesia yang hanya mengimbau pentingnya pembatasan sosial dan kerja di rumah, diperparah tingkat kesadaran masyarakat yang lemah, menjadi faktor yang dapat mempercepat laju penyebaran virus ke depan.

Pemerintah harusnya bersifat tegas namun tidak gegabah.

Kebijakan social distancing ini baru akan efektif jika diikuti dengan berbagai kebijakan perlindungan bidang ekonomi dan sosial. Saat ini pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sembilan kebijakan di bidang ini termasuk untuk kelompok miskin, namun harus segera ditindaklanjuti dengan peraturan teknis agar masyarakat di bawah dapat merasakan langsung dan paham bagaimana cara memperoleh manfaatnya.

Perlindungan populasi rentan dan berisiko

Kasus Italia mengajarkan kita betapa pentingnya melindungi populasi populasi rentan seperti orang tua, ibu hamil, anak-anak, orang dengan kelainan imunitas tubuh dan orang-orang yang punya riwayat kontak dengan pasien positif COVID-19 atau berisiko tinggi.

Italia merupakan salah satu negara yang memiliki populasi penduduk usia di atas 65 tahun yang tinggi, sebesar 22,8%.

Populasi ini adalah populasi yang rentan, tingkat kematian dalam kasus COVID secara global untuk penduduk usia di atas 60 tahun menempati angka tertinggi: 3,6-14,8%.

Di Indonesia,penduduk dengan usia lanjut (60 tahun keatas sebesar 9,6% (sekitar 25 juta). Penduduk usia lanjut biasanya memiliki status kesehatan yang tidak lagi prima. Ketahanan tubuh mereka sangat rentan disusupi virus.

Menurut data Badan Pusat Statistik 2019, angka kesakitan penduduk lansia di Indonesia sebesar 26,20 persen.

Data secara global memperlihatkan bahwa penyakit penyerta seperti penyakit jantung, diabetes, infeksi pernapasan akut, tekanan darah tinggi dan kanker sebagai penyakit yang paling banyak diderita oleh pasien-pasien yang meninggal akibat Covid-19.

Di Indonesia sendiri saat ini angka kematian tertinggi akibat coronavirus berada pada populasi penduduk 45-65 tahun..

Kegiatan karantina mandiri yang lebih ketat, meningkatkan pengetahuan melalui promosi kesehatan spesifik coronavirus dan melibatkan anggota keluarga yang lebih muda dalam proses perlindungan kepada mereka, seperti tidak terlalu sering melakukan kontak, adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan.

Perlindungan tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan di Indonesia adalah prajurit garda depan tanpa peluru dan alat yang memadai untuk mengobati pasien dan mencegah penyebaran COVID-19. Pemerintah harus meningkatkan perlindungan bagi tenaga kesehatan.

Hingga 23 Maret 2020 ada enam dokter yang telah gugur dan 32 tim medis dan tenaga kesehatan lainnya positif COVID-19. Program-program perlindungan kepada mereka harus ditingkatkan.

Pemerintah harus menjaga ketersediaan alat perlindungan diri bagi petugas kesehatan dengan cara meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri, impor maupun penegakan hukum bagi mereka yang mencoba mengambil keuntungan dari keadaan saat ini.

Pemerintah dapat menempuh strategi dengan lebih meningkatkan pelibatan BUMN farmasi seperti Kimia Farma. Saat ini pelibatan mereka hanya untuk menjaga harga jual agar tetap stabil.

Kita perlu lebih dari itu, misalnya mengeluarkan kebijakan hanya menjual alat perlindungan diri bagi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dalam negeri.

Selain itu, pemerintah juga harus mengembangkan program pengetahuan dan keterampilan terbaru bagi tenaga kesehatan mengingat COVID adalah kasus baru.

Peningkatan kapasitas layanan kesehatan

Salah satu faktor yang menyebabkan Italia menjadi negara dengan tingkat kematian tertinggi di dunia adalah runtuhnya sistem layanan kesehatan di sana.

Banyaknya masyarakat yang memerlukan perawatan, diperparah dengan tingginya populasi usia lanjut yang memiliki penyakit penyerta, menjadi penyebab utama.

Pemerintah Italia telah berusaha untuk menambah jumlah tempat tidur rumah sakit khususnya unit pelayanan gawat darurat (ICU)–tapi sudah terlambat.

Di Italia, hanya dalam waktu kurang dari satu setengah bulan, tiga kasus pertama pada 15 Februari kini berlipatganda jadi 74.000 kasus.

Belajar dari Italia, pemerintah harus mulai menyiapkan langkah-langkah untuk memperkuat sistem layanan kesehatan khususnya di daerah.

Pemerintah harus menjaga pasokan kebutuhan logistik dan peralatan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Saat ini jumlah tempat tidur di rumah sakit Indonesia mencapai 276.692, dengan jumlah tempat tidur ICU hanya 7.987.

Pemerintah harus mempersiapkan ruang isolasi dan perawatan intensif tambahan di berbagai daerah, bukan hanya fokus di Jakarta seperti menyiap Wisma Atlet di Kemayoran untuk rumah sakit darurat. Sebab kasus COVID telah menyebar di 24 dari 34 provinsi. Ruang isolasi di rumah sakit saat ini sangat terbatas karena, merujuk Peraturan Menteri Kesehatan No.3 Tahun 2020, rumat sakit umum tidak harus memiliki tempat tidur isolasi.

Poin yang tak kalah penting adalah menyiapkan sumber daya manusia bidang kesehatan yang terlatih, dan rencana mobilisasinya untuk mengantisipasi ketika lonjakan pasien meningkat drastis di suatu daerah. Di Indonesia saat ini jumlah dokter spesialis paru hanya sekitar 1.100 Dokter. Jumlah yang jauh dari cukup.

Karena itu, pelibatan dan kolaborasi antarkeahlian tenaga medis dan non-medis harus dimaksimalkan. Adanya kebijakan “Kampus Merdeka” dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat digunakan sebagai alternatif strategi mobilisasi sumber daya manusia, dengan melibatkan mahasiswa pendidikan dokter, keperawatan, dan tenaga kesehatan lainnya.

Keterlibatan mereka diakui sebagai bobot SKS dalam proses pembelajaran seperti dilakukan New York University di Amerika.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu COVID-19 di sini.The Conversation

Irwandy, Head of Hospital Management Department Public Health Faculty, Universitas Hasanuddin

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: