Iris van Eeden Jones, Te Herenga Waka — Victoria University of Wellington; Dedy Eryanto, Te Herenga Waka — Victoria University of Wellington, dan Karin Lasthuizen, Te Herenga Waka — Victoria University of Wellington

Presiden Joko Widodo menyebut Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai ‘agen pembangunan’. Saat ini BUMN terlibat dalam 40% proyek infrastruktur nasional, sebuah prioritas dalam masa jabatan Jokowi.

Meskipun BUMN berperan penting dalam mendistribusikan barang dan jasa di Indonesia, praktik-praktik korupsi masih marak terjadi di dalamnya. Menteri BUMN yang baru Erik Thohir memiliki tugas berat untuk membasmi korupsi dan membangun integritas di dalam tubuh BUMN.

Tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa tidak kurang dari delapan direktur BUMN terlibat penyuapan.

Korupsi yang mendarah daging dalam BUMN dapat menghalangi ambisi Jokowi dalam merealisasikan BUMN sebagai ‘agen perubahan’. Per 2019, Indonesia memiliki 142 BUMN. Namun, hanya 15 yang berkontribusi secara signifikan pada keuangan negara.

Tapi bukan tidak mungkin bagi sebuah institusi publik yang berada dalam lingkungan politik-ekonomi yang korup untuk membangun integritas. Penelitian terbaru kami menunjukkan bahwa hal ini dapat dilakukan melalui konsep kepemimpinan yang beretika.

Thohir sepertinya berupaya menanamkan konsep ini melalui pelantikan komisaris-komisaris baru di sejumlah BUMN. Namun mencari pemimpin dengan rekam jejak yang bersih dan bebas dari kontroversi bukan perkara mudah.

Kepemimpinan beretika

Kepemimpinan beretika merujuk pada watak, perilaku, dan pengambilan keputusan yang dilakukan seorang pemimpin dengan mengedepankan keteladanan, penguatan, dan komunikasi untuk memotivasi karyawan agar dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai moral, norma, dan aturan.

Baik di dalam maupun di luar organisasi, kepemimpinan beretika berperan penting dalam meningkatkan dan menjaga kualitas integritas organisasi.

Kepemimpinan beretika perlu dilakukan dalam rangka membawa perubahan yang berkelanjutan di tengah lingkungan politik dan sosio-budaya yang menantang seperti di Indonesia, tapi tidak ada jaminan bahwa hal tersebut dapat tercapai.

Temuan dan kajian penelitian ilmiah mengkonfirmasi pentingnya kepemimpinan yang beretika untuk mewujudkan organisasi yang beretika dan berintegritas.

Agar integritas dapat tertanam dalam setiap lini organisasi, maka kehadiran manajer eksekutif yang mampu menjadi teladan dan menunjukkan komitmen terhadap program integritas di organisasi mutlak diperlukan.

Pemimpin membutuhkan hak otonom untuk mengembangkan dan menerapkan program integritas bagi organisasinya, dan mereka perlu memiliki keberanian moral untuk tetap bertahan di bawah tekanan pemangku kepentingan.

Pemimpin politik juga harus secara serius mendukung dan melindungi organisasi agar mampu memutus mata rantai konflik kepentingan yang dapat mengarah pada korupsi.

BUMN tidak dapat menghindar dari jaringan politisi yang oportunis dan pihak-pihak yang memiliki “maksud tertentu”. Oleh karenanya, pemimpin organisasi harus mendapat dukungan politis dari pimpinan tertinggi di pemerintahan, termasuk Menteri BUMN, agar dapat menjadi ‘agen pembangunan’ seperti yang didambakan.

Agar BUMN memiliki integritas yang tinggi dan dapat berfungsi secara efektif guna mencapai tujuannya, maka kepemimpinan yang beretika perlu diwujudkan dalam tiga hal, dukungan politik, kepemimpinan yang otonom di tingkat CEO (pemimpin puncak dalam organisasi), dan komitmen manajamen eksekutif terhadap etika. Ketika masyarakat dapat melihat performa etika yang lebih baik di suatu institusi publik, barulah kepercayaan dapat diperoleh.

Pilihan Thohir

Untuk meningkatkan tata kelola perusahaan yang baik dan penerapan praktik-praktik manajemen yang beretika, Thohir baru-baru ini melantik beberapa orang yang secara umum dianggap ‘pemimpin anti-korupsi’ menjabat sebagai komisaris di beberapa BUMN.

Dia melantik mantan Gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, atau dikenal BTP, penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) pada 2013 sebagai Presiden Komisaris Pertamina.

Dia juga melantik mantan pimpinan KPK Chandra Hamzah dan Amien Sunaryadi masing-masing sebagai Presiden Komisaris Bank Tabungan Negara (BTN) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Kontroversi

Namun beberapa pilihan Tohir ini tidak luput dari kontroversi.

Misalnya, saat BTP menjabat sebagai Gubernur Jakarta, dia pernah terlibat dalam kasus dugaan korupsi pembelian tanah untuk sebuah rumah sakit di Jakarta dan pernah dipanggil oleh polisi terkait dugaan adanya maladministrasi dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Selain itu, sebagian orang beranggapan bahwa pada saat bertutur kata BTP terlalu kasar dan arogan serta tidak sopan. Beberapa orang meyakini faktor inilah yang menyebabkan dia dipenjara selama dua tahun atas tuduhan penistaan agama. Pendukungnya meyakini kejadian tersebut sebagai pembunuhan karakter terhadap sosok gubernur yang bersih sebelum ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Jakarta.

Sementara Chandra sendiri pernah menjadi kuasa hukum seorang tersangka kasus korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) setelah tidak lagi menjabat di KPK.

Kontroversi seputar penunjukkan para komisaris baru di beberapa BUMN tadi menandakan bahwa tidak mudah menemukan pemimpin yang beretika. Bahkan mereka yang memiliki rekam jejak dalam pemberantasan korupsi seolah kesulitan menghadapi konflik kepentingan di sekitar mereka.

Masih terlalu dini untuk menyimpulkan apakah BTP, Chandra atau Amien bisa berhasil dalam menanamkan integritas di dalam organisasi mereka masing-masing. Namun dengan jabatan tersebut, mereka mendapat kesempatan kedua untuk membuktikan kemampuannya sebagai pemimpin yang beretika.

Bram Adimas Wasito menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.The Conversation

Iris van Eeden Jones, Research associate Brian Picot Chair in Ethical Leadership, Te Herenga Waka — Victoria University of Wellington; Dedy Eryanto, , Te Herenga Waka — Victoria University of Wellington, dan Karin Lasthuizen, Professor, Brian Picot Chair in Ethical Leadership, Te Herenga Waka — Victoria University of Wellington

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: