Raynaldo Sembiring, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menegaskan bahwa kabinet di bawah periode pemerintahannya yang kedua akan menitikberatkan pada percepatan investasi dan penyediaan lapangan pekerjaan.

Implikasinya, ada penghapusan perizinan yang menghambat investasi dan pembangunan, salah satunya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang menurut pemerintah sering berbelit-belit dan akhirnya menghambat investasi yang masuk.

Sebagai pengganti AMDAL, pemerintah, melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang, mengusulkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

AMDAL merupakan analisis dan informasi tentang dampak penting, meliputi alamiah, kimia, fisik, biologi, sosial-ekonomi-budaya hingga kesehatan masyarakat, akibat suatu kegiatan atau usaha.

Sedangkan, RDTR bukan merupakan dokumen ilmiah yang memuat soal kajian risiko lingkungan, sosial, hingga budaya seperti AMDAL, melainkan rencana terperinci atas tata ruang sebuah wilayah.

Sehingga, rencana ini mendapatkan tentangan dari para ahli dan aktivis lingkungan karena tidak menyelesaikan permasalahan lingkungan, malah membebankan pemerintah sendiri.

Selain masalah lingkungan, ada tiga alasan mengapa RDTR belum bisa menggantikan AMDAL.

1. Pemindahan beban dari pelaku usaha ke pemerintah

RDTR merupakan rencana tata ruang terperinci dari wilayah kabupaten/kota dan dipakai sebagai arahan bagi pengambilan kebijakan dan pembangunan yang tidak memuat informasi detail tentang dampak suatu kegiatan usaha terhadap lingkungan.

Sementara, AMDAL merupakan kajian akademik yang dipakai pemerintah untuk memutuskan apakah kegiatan tersebut layak lingkungan atau tidak sebagai persyaratan untuk mendapatkan izin usaha atau kegiatan.

Sebagai kajian akademik, proses penyusunan AMDAL sangat bergantung kepada ketersediaan data, proses revisi dan kapasitas para penyusun. Pelaku usaha yang bertanggung jawab atas penyusunan AMDAL tersebut.

Sementara untuk RDTR, proses penyusunan adalah tanggung jawab pemerintah kabupaten atau kota.

Atau dengan kata lain, jika menggunakan RDTR akan ada perpindahan beban menyusun analisis dampak penting (lingkungan, kesehatan, sosial, ekonomi, lokal dan budaya) dari pelaku usaha ke pemerintah. Beban ini juga termasuk beban biaya yang harus disiapkan pemerintah.

2. RDTR tidak bisa memprediksi risiko jangka panjang

Jangka waktu keberlakuan untuk RDTR adalah 20 tahun, yang dapat ditinjau setiap 5 tahun sekali.

Artinya, pemerintah harus sudah dapat memprediksi dampak penting hingga 20 tahun ke depan.

Pertanyaannya, apakah hal tersebut dapat dilakukan? Mengingat sampai saat ini kita belum memiliki kajian atau sejenisnya yang mampu memprediksi dampak lingkungan dalam rentang waktu yang lama.

Beban pemerintah akan berat karena memprediksi dinamika lingkungan selama 20 tahun bukan hal yang mudah.

Alasan logisnya karena untuk memprediksi dampak dibutuhkan data yang cukup yang harusnya dimuat dalam “daya dukung dan daya tampung lingkungan”. Sayangnya, kita belum memiliki data daya dukung dan daya tampung secara komprehensif.

3. RDTR sulit dijadikan “defense” pelaku usaha

Apabila RDTR dipaksakan untuk mengganti AMDAL, maka ada risiko yang juga dihadapi pelaku usaha.

RDTR akan sulit memprediksi dampak kegiatan usaha secara detail dan menyeluruh selayaknya AMDAL. Hal ini membuat pelaku usaha dapat menghadapi risiko, seperti konflik masyarakat, bencana, hingga gugatan masyarakat karena tidak mendapatkan informasi yang lengkap tentang kondisi lingkungan sekitar usahanya.

AMDAL memberikan semua informasi tentang dampak lingkungan, sosial, dan kesehatan yang bisa membantu pelaku usaha.

Informasi ini penting bagi para pelaku usaha untuk mempersiapkan alternatif kebijakan seandainya diketahui ada potensi konflik atau bencana akibat usaha atau kegiatan mereka.

Lebih lanjut, AMDAL umumnya menjadi dasar pembelaan hukum bagi para pelaku usaha apabila mereka harus menghadapi gugatan masyarakat karena AMDAL adalah bukti bahwa kegiatan usaha yang dilakukan sudah dinyatakan layak beroperasi.

Pentingnya keberadaan AMDAL juga sudah diakui di negara-negara tetangga. Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Filipina masih menggunakan AMDAL.

Bahkan, Vietnam, yang sering disebut sebagai kompetitor Indonesia, menarik investor dengan mengatur kewajiban menyusun AMDAL.

Langkah ke depan

Dari uraian di atas, pemerintah sebaiknya tetap memberlakukan AMDAL dan tidak menggantinya dengan RDTR yang pelaksanaannya juga belum maksimal.

Sebenarnya, pemerintah sudah memperbolehkan RDTR untuk menggantikan AMDAL lewat Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

Hingga kini, baru ada 53 kabupaten/kota yang memiliki RDTR (sekitar 10% dari total kabupaten di Indonesia) karena memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Angka tersebut menunjukkan bahwa penggantian AMDAL menjadi RDTR belum bisa dilakukan secara maksimal karena penyusunannya membutuhkan waktu dan kapasitas sumber daya manusia, terutama di tingkat daerah.

Yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah adalah membenahi sistem penyusunan AMDAL yang ada.

Salah satu masalah penyusunan AMDAL adalah prosesnya yang memakan waktu. Hal yang bisa dilakukan adalah memberikan batasan waktu maksimal penyusunan AMDAL.

Kendala lainnya adalah keberadaan sumber daya manusia yang bisa menyusun AMDAL sangat terbatas.

Berdasarkan laporan Ikatan Nasional Tenaga Ahli Konsultan Indonesia (Intakindo), penyusun AMDAL paling banyak tersebar di Jawa Barat dan DKI Jakarta, yaitu di atas 150 orang, hingga Desember 2015.

Sementara, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, Papua, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah hanya memiliki tidak lebih dari lima orang penyusun AMDAL bersertifikat.

Akibatnya, para pelaku usaha harus mendatangkan penyusun AMDAL dari daerah lain yang membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit.

Sesungguhnya keberadaan AMDAL memang masih dibutuhkan sebagai instrumen pencegahan pencemran dan kerusakan lingkungan, tidak hanya bagi pemerintah, melainkan juga para pelaku usaha.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.The Conversation

Raynaldo Sembiring, Researcher, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: