Justito Adiprasetio, Universitas Padjadjaran

Setelah putusan persidangan pemerkosaan berantai Reynhard Sinaga resmi ditutup dengan ketuk palu, kita kemudian menghadapi terbukanya kontak pandora media daring (online) Indonesia.

Kita dapat melihat dengan gamblang bagaimana media Indonesia memperlakukan kasus perkosaan terbesar sepanjang sejarah Inggris itu menjadi festival remeh-temeh ketimbang sebuah tragedi.

Media daring Indonesia berlomba-lomba menyulap hal-hal yang berkaitan dengan pelaku jadi berita, bahkan untuk hal yang paling absurd sekalipun: rumah pelaku , swafoto (selfie) pelaku , supir ojek mirip pelaku , dan lain-lain.

Perilaku media yang tidak sensitif ini kemudian ditiru oleh pemirsa. Selama beberapa hari ini meme dan sticker Reynhard, bermunculan di lini aplikasi percakapan.

Media tidak dapat berfungsi sebagai alat kontrol sosial dengan membangun empati terhadap korban; media justru memperbesar objektifikasi.

Praktik ini bukanlah hal yang baru dalam ekosistem media daring kita. Berulang kali kita melihat tidak hanya kekerasan, namun juga berita duka, dan bahkan terorisme diobjektifikasi dan direproduksi secara masif menjadi berita yang tidak utuh dan terserak.

Namun, ada jalan agar media dapat berhenti melakukan ini, yaitu dengan menggunakan cara-cara lain untuk mencari pemasukan–tidak mengandalkan pada pemasukan yang berbasis jumlah pengunjung laman.


Baca juga: Kasus Reynhard Sinaga: analisis terkait bantuan hukum bagi WNI di luar negeri dan upaya jalur diplomasi


Fokus pada sensasi

Media daring menghalalkan berbagai cara untuk menarik pengunjung ke laman mereka.

Beberapa analisis telah memberikan gambaran, misalnya, tentang perbedaan antara media di Indonesia mengemas berita tentang Reynhard dengan media di Inggris.

Media-media di Indonesia terus melakukan hal yang sama. Eksploitasi isu kekerasan terhadap pelajar perempuan berinisial A di Pontianak, Kalimantan Barat, oleh hampir seluruh media online di Indonesia adalah salah satu contoh di mana pemberitaan berlangsung bak opera sabun.

Tribunnews pernah menulis artikel terkait meninggalnya tokoh boga dunia Anthony Bourdain dengan judul “Pernah Puji Suara Azan di Indonesia, Bule Amerika Tak Beragama ini Ditemukan Tewas Bunuh Diri” yang kemudian mereka hapus dengan permintaan maaf sekadarnya.

Tribunnews juga memiliki rekam jejak buruk, terutama dalam hal sensasionalisme terhadap berita terorisme yang kemudian menghasilkan perdebatan antara Muhammad Heychael (mantan direktur lembaga studi dan pemantauan media Remotivi) dan Dahlan Dahi (mantan direktur Tribunnews).

Contoh lain, dusta penganiayaan Ratna Sarumpaet pada akhir 2018 awalnya menjadi gempar karena media daring beramai-ramai memompa informasi yang tidak hanya belum terbuktikan, dan bahkan terbantahkan belakangan.

Ketika fakta terkait dusta Ratna terbuka, media berbalik arah. Mereka memompa sentimen negatif terhadap Ratna, dan pihak-pihak yang berkaitan dengan isu tersebut.

Yang terjadi berulang kali adalah media tidak berupaya menyiarkan fakta, apalagi kebenaran yang bertujuan untuk mencerahkan publik.

Yang terjadi adalah sensasionalisme lewat penggunaan judul dan narasi yang bombastis untuk menambah jumlah pengunjung laman berita dan situs mereka.

Ketika sensasionalisme adalah tujuan, maka semua hal menjadi dangkal dan banal. Ini menggerogoti jurnalisme daring kita, padahal jurnalisme ini digadang-gadang menjadi tiang penyangga demokrasi.


Baca juga: Wajah ganda media di Indonesia dalam memberitakan kejahatan


Mengandalkan clickbait

Terdapat asumsi laten yang menjangkiti model bisnis media daring di Indonesia, yaitu jumlah pengguna dianggap sebagai parameter paling penting dalam model bisnis mereka. Sehingga cara utama untuk mendapatkannya adalah dengan tidak hanya dengan memanfaatan isu-isu khusus tak terkecuali kekerasan, tetapi juga dengan mengeksploitasi clickbait dan sensasionalisme.

Ini karena hampir semua media daring di Indonesia komersil menyandarkan diri pada iklan, dengan parameter utama monetisasi berupa click (kunjungan). Tak banyak media yang berhasil menjalankan sistem langganan untuk mendapat penghasilan.

Tentu saja, model bisnis berbasis iklan dan langganan tidak dapat dilihat secara hitam putih, media dapat menerapkan secara langsung keduanya. Namun, karena mayoritas media mengandalkan iklan sebagai pemasukan utama, maka yang terjadi adalah mereka berebut pemirsa.

Mereka menggunakan judul yang sensasional, sehingga ketika disebar dan tersebar melalui Twitter, Facebook, Line Today, atau melintas melalui media agregator diharapkan pemirsa dapat tergoda untuk mengklik tautan.

Tidak hanya sensasionalisme, media daring Indonesia juga kerap melakukan trivialisasi.

Trivialisasi adalah kondisi ketika media yang semestinya memberikan informasi terkait hal-hal yang bersifat publik terjebak pada urusan remeh-temeh.

Media juga hampir selalu memiliki niat untuk memproduksi berita sebanyak-banyaknya dalam suatu tema pemberitaan. Ini mirip dengan cara pemancing amatir mencari ikan: lempar kail dan umpan sebanyak-banyaknya, maka kemungkinan untuk mendapatkan ikan juga akan semakin besar.

Alternatif baru

Berkhotbah tentang etika media saja tidak cukup, apalagi sekadar memaki-maki penulis berita clickbait. Mereka adalah bagian dari sirkuit ekonomi-politik media yang buruk. Menumbangkan satu hanya akan menumbuhkan seratus penggantinya.

Terdapat beberapa hal yang dapat diajukan untuk membangun ekosistem media yang berkelanjutan (sustainable) sekaligus sehat bagi demokrasi.

Kita bisa memasang target tinggi dengan mencoba model bisnis seperti New York Times yang edisi daringnya telah jauh-jauh hari berhasil melampaui keuntungan versi cetaknya.

Kita juga bisa memproyeksikan model bisnis yang bersandar pada donasi, seperti yang dilakukan oleh The Guardian di Inggris.

Cara lain adalah dengan menerapkan langganan dan donasi yang memiliki dampak langsung. Dengan begini media memiliki tanggung jawab untuk mengabdi pada publik sebagai penyandang dananya, sehingga pemberitaan dan informasi yang disiarkan media diperuntukkan bagi kepentingan publik.

Media kemudian tidak lagi menyandarkan diri pada iklan sehingga pemirsa merupakan komoditas yang akan dijual sebagai bilangan statistik untuk menarik pengiklan melalui mekanisme monetisasi seperti AdSense milik Google.

Tentu saja membangun budaya langganan dan donasi bukan hal yang mudah. Media harus turut memberitahu publik bahwa tidak ada informasi berkualitas yang murah, dan tidak ada jurnalisme berkualitas yang murah.

Kerja-kerja jurnalisme dengan konsentrasi dan intensitas tinggi memerlukan biaya besar. Bila publik bisa memahami kenyataan ini, mereka bisa diajak memberikan sebagian dana untuk berlangganan jurnalisme berkualitas.

Ini akan sulit bila dilakukan oleh sedikit media saja. Media harus beraliansi untuk menawarkan standar yang tinggi, dengan tarif langganan yang masuk akal untuk melawan media-media pemburu klik dan bahkan Google itu sendiri .

Tanpa keseriusan dari berbagai pihak, media, dan bahkan kita semua, kotak-kotak pandora lain akan terbuka sekadar hanya menunggu waktu.


Baca juga: Ekonomi atensi: Facebook bawa pembaca, tapi tak mencetak uang untuk situs berita



Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.The Conversation

Justito Adiprasetio, Lecturer, Universitas Padjadjaran

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: