Yanuar Farida Wismayanti, Griffith University

Sebuah putusan Mahkamah Konsititusi (MK) minggu lalu diharapkan bisa mengakhiri pernikahan anak di Indonesia. Di negeri ini satu dari empat anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun.

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, usia minimum untuk menikah adalah 16 untuk perempuan dan 19 untuk laki-laki. MK memutuskan bahwa usia minimum 16 tahun untuk menikah bagi perempuan inkonstitusional.

Kini DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) harus segera menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi dengan mengubah Undang-Undang Perkawinan. Secara khusus, usia nikah minimum untuk perempuan perlu ditingkatkan menjadi 19 tahun untuk memastikan anak-anak, terutama anak perempuan, aman dari segala bentuk kekerasan.

Masalah pernikahan anak

Indonesia adalah negara dengan penduduk terbanyak keempat sedunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Sepertiga dari 260 juta penduduk Indonesia adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Hampir separuhnya adalah anak-anak dari keluarga miskin.

Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan berisiko lebih besar untuk menikah pada usia dini. Dan jika mereka menikah lebih awal, mereka berisiko terus berada dalam lingkaran kemiskinan. Anak perempuan yang menikah lebih awal memiliki kesempatan yang terbatas dalam hal pendidikan, kesehatan, dan penghasilan.

Putusan Mahkamah Konstitusi adalah langkah yang tepat. Namun beberapa tantangan masih harus ditangani untuk mencegah pernikahan anak, terutama pada anak-anak perempuan.

Pertama, di Indonesia pernikahan anak dianggap hal lumrah oleh masyarakat termasuk oleh lembaga negara seperti Kementerian Agama. Dalam beberapa kasus, orang tua memaksa anak mereka, baik anak perempuan atau laki-laki, ke dalam perkawinan, terutama jika anak memiliki hubungan intim dengan pacar atau pasangan mereka, yang dikhawatirkan akan mengakibatkan kehamilan sebelum menikah. Orangtua takut dan khawatir jika anak mereka melakukan zina (seks di luar nikah), yang dianggap perbuatan dosa dalam Islam.

Juru bicara Mahkamah Agung Suhadi baru-baru ini mengatakan bahwa menikah adalah hak semua orang, termasuk untuk anak-anak. Peraturan Menteri Agama mengizinkan anak-anak di bawah usia minimum untuk menikah dengan mendapatkan izin dispensasi pernikahan dari pengadilan agama setempat. Pada 2012, pengadilan agama di tingkat kabupaten dan kota menyetujui lebih dari 90% permohonan dispensasi untuk menikahkan anak di bawah umur , dan jumlah pemohon justru mengalami peningkatan.

Kedua, hukum yang menetapkan usia minimum bagi seseorang untuk menyetujui hubungan seksual juga memiliki bias gender. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak, usia minimum untuk persetujuan seksual adalah 18 untuk anak laki-laki dan perempuan. Namun, merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) usia minimum untuk persetujuan seksual adalah 12 untuk anak perempuan, sedangkan untuk anak laki-laki tidak ada batasan usia yang ditentukan.

Ini menciptakan masalah lebih lanjut dalam melindungi anak perempuan dari pelecehan seksual. Tuntutan hukum atas kekerasan seksual terhadap anak dapat dimentahkan karena adanya peraturan yang saling bertentangan soal pernikahan anak. Selain itu, begitu anak perempuan menikah, dia menjadi tidak berhak mendapat layanan perlindungan anak. Hal ini menambah kekhawatiran tentang kesetaraan gender dalam hal menangani kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.

Karena peraturan yang bertentangan di berbagai undang-undang dan penggunaan diskresi peradilan, banyak anak, terutama perempuan, di Indonesia ditempatkan dalam posisi rentan. Mereka dapat dieksploitasi secara seksual dan tidak dilindungi oleh hukum. Standar usia yang berbeda dan dispensasi pernikahan yang diizinkan dapat disalahgunakan oleh pihak tertentu yang tidak memprioritaskan kepentingan yang terbaik bagi anak.

Putusan MK adalah langkah yang tepat dalam melindungi anak, khususnya perempuan, dari segala bentuk penyalahgunaan dengan mengurangi peluang bagi anak menikah pada usia dini, karena adanya perbedaaan standar usia minimum.

Program perlindungan anak di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah memasukkan perlindungan anak sebagai salah satu dari lima prioritas untuk memperkuat sumber daya manusia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019. Pemerintah telah meluncurkan dua program percontohan: PKH (Program Keluarga Harapan, Program Keluarga Harapan) pada 2007; dan PKSA (Program Kesejahteraan Sosial Anak, Program Kesejahteraan Sosial untuk Anak-anak) pada 2010. Tujuannya untuk melindungi anak-anak dengan meningkatkan kesehatan dan pendidikan untuk memutus siklus kemiskinan antar-generasi.

Untuk mendukung program perlindungan anak di tingkat provinsi dan kabupaten dan kota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merancang Program Kota Ramah Anak untuk memperkuat komitmen lokal terhadap perlindungan anak. Program ini dikembangkan dalam rangka mencegah dan menanggapi semua bentuk kekerasan terhadap anak demi kepentingan terbaik anak.

Terlepas dari program-program ini, Indonesia masih berjuang untuk mengakhiri pekerja anak, pernikahan anak dan bentuk-bentuk pelecehan terhadap anak lainnya. Seringkali kemiskinan adalah penggerak utama pelecehan dan eksploitasi anak.

Apa selanjutnya?

Melindungi anak-anak dari segala bentuk penyalahgunaan masih menjadi tantangan bagi Indonesia. Mahkamah Konstitusi harus dipuji atas upayanya dalam melakukan peninjauan atas Undang-Undang Perkawinan. Ini adalah langkah penting untuk melindungi anak-anak di Indonesia dan momentum ini perlu dipertahankan.

Bola sekarang ada di tangan anggota DPR yang akan melanjutkan proses ini dengan mengamandemen Undang-Undang Perkawinan mengenai usia minimum menikah bagi perempuan.The Conversation

Yanuar Farida Wismayanti, Researcher/PhD Student, Griffith University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: