Muhammad Yorga Permana, London School of Economics and Political Science

Munculnya otomasi pekerjaan dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) mengancam pekerjaan para spesialis jika mereka tidak memiliki alternatif kepakaran lain.

Secara global, misalnya, sebuah konsultan riset memprediksi sekitar 800 juta pekerja akan kehilangan pekerjaan pada 2030 akibat digitalisasi ekonomi. Di Indonesia, pada periode yang sama diperkirakan 50 juta peluang kerja akan lenyap, walau pada masa yang sama lahir pekerjaan baru seiring dengan berkembangnya industri berbasis digital.

Kegagalan manusia untuk beradaptasi mengakibatkan pekerjaan mereka tergantikan. Ekonom asal MIT Brynjolfsson dan Mcafee menyebut kenyataan ini sebagai “kekalahan berlomba melawan mesin”.

Tapi sejarah juga telah membuktikan bahwa manusia telah bertahan sejak 300 ribu tahun yang lalu hingga hari ini karena kemampuan adaptasinya yang luar biasa. Apa yang membuat Homo sapiens (manusia modern) bisa menjadi satu-satunya spesies manusia yang bertahan di dunia hingga hari ini?

Riset menunjukkan bukti-bukti yang menyakinkan bahwa rumus generalis sekaligus spesialis adalah kunci mereka bertahan hidup. Dan rumus itu tampaknya tetap relevan di tengah revolusi digital yang mengubah dunia pekerjaan dan pendidikan.

Bertahan karena generalis-spesialis

Arkeolog Patrick Roberts dari Max Planck Institute dan Brian Stewart dari University of Michigan dalam studi terbarunya yang dipublikasikan di Nature Human Behavior berkesimpulan bahwa kemampuan Sapiens untuk beradaptasi dalam lingkungan yang berbeda-beda, bahkan termasuk yang ekstrem sekalipun, berperan penting dalam menyelamatkan manusia modern dari berbagai ancaman. Kedua peneliti ini menyebut manusia modern sebagai generalis spesialis.

Selama ini terdapat dikotomi jelas antara spesies generalis dan spesies spesialis dalam dunia organisme. Panda misalnya, merupakan makhluk spesialis yang hanya dapat hidup dalam kondisi lingkungan dingin dengan sumber makanan terbatas. Lain halnya dengan hewan omnivora sebangsa tikus atau rakun yang identik dengan spesies generalis yang cenderung bisa beradaptasi di berbagai lingkungan.

Meskipun manusia selama ini diidentikan sebagai makhluk generalis, Roberts dan Stewart rupanya memiliki pandangan lain. Bagi keduanya, manusia modern merupakan makhluk generalis dan spesialis pada saat bersamaan.

Homo sapiens yang diprediksi telah hidup sejak 300 ribu tahun lalu memulai perjalanan migrasinya keluar dari benua Afrika 100 ribu tahun kemudian. Sejak itu, Sapiens berhasil menjelajahi seluruh dataran di bumi dengan kondisi beragam: menaklukkan sabana Afrika, gurun di semenanjung Arab, dataran tinggi Tibet yang dingin, hingga hutan tropis di Indonesia.

Bukan hanya melewati, sebagian dari populasi Sapiens ini justru kemudian menetap dan berkembang biak di suatu lingkungan tertentu menggantikan spesies manusia lain seperti Homo neanderthalensis atau Homo erectus.

Di sinilah letak simultannya, di satu sisi dengan sifat adaptifnya Sapiens bisa bertahan di berbagai kondisi lingkungan, tapi di sisi lain sebagian populasi Sapiens menspesialisasikan dirinya ke dalam kondisi tertentu. Bahkan sampai berkoloni hingga membangun peradaban di tempat tersebut.

Hapuskan dikotomi

Diskusi apakah manusia sebagai makhluk generalis atau spesialis tidak hanya relevan di bidang arkeologi dan sejarah, tapi juga dapat diadaptasi ke bidang pengembangan diri dan pendidikan kontemporer dengan konteks yang sedikit berbeda.

Pertanyaan yang jamak kita temukan adalah mana yang lebih baik bagi karir seseorang pada masa depan, menjadi seorang generalis yang memahami banyak bidang ilmu di permukaan (disebut juga “jack of all trades master of none”) atau menjadi seorang spesialis yang fokus menguasai satu pengetahuan tertentu secara mendalam?

Merujuk pada studi Robert dan Stewart tersebut, sudah saatnya kita tidak lagi mendikotomikan kedua peran tersebut. Dalam era perubahan teknologi yang begitu cepat hari ini, dalam situasi yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, peran manusia yang adaptif dalam berbagai kondisi yang ekstrem menemukan kembali relevansinya. Menjadi seorang generalis dan spesialis di saat bersamaan bukan hal yang mustahil, bahkan boleh jadi harus kita lakukan untuk dapat bertahan pada zaman disrupsi inovasi dan digitalisasi ini.

Memang, menurut doktrin klasik Adam Smith spesialisasi pekerjaan akan membuat organisasi lebih efisien. Dengan adanya pembagian pekerjaan, seseorang akan memiliki kepakaran spesifik di suatu bidang sehingga produktivitasnya akan meningkat. Namun, saat ini, spesialisasi ilmu dan kepakaran justru membatasi kapasitas adaptif manusia yang tidak terbatas. Para spesialis justru sangat rentan dengan perubahan.

Satu orang banyak bidang

Menjadi generalis spesialis artinya menjadi seseorang yang tidak berhenti belajar. Ia tidak hanya memiliki spesialisasi kepakaran di satu bidang ilmu, tapi juga berusaha memperdalam bidang-bidang ilmu lain yang sesuai dengan tantangan zaman.

Berbeda dengan generalis yang hanya memahami kulit-kulitnya saja, seorang generalis spesialis dituntut untuk menjadi pakar di banyak bidang. Seorang sarjana teknik misalnya, ketika masuk ke dunia kerja di bidang perbankan akan dituntut memahami ilmu keuangan dan investasi. Kemudian, saat suatu hari ia dirotasi ke bidang sumber daya manusia (SDM) ia harus paham ilmu manajemen. Untuk beradaptasi dengan teknologi digital, ia pun harus mempelajari dasar-dasar analisis dan intrepretasi data berbasis pemrograman.

Ada satu studi yang menarik untuk disimak terkait peran generalis spesialis di dunia hari ini. Cesar Hidalgo dan koleganya di MIT Media Lab memetakan migrasi pekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain di Brazil antara tahun 2008-2012 untuk melihat bagaimana penyebaran pengetahuan bekerja. Hasilnya ditemukan bahwa suatu perusahaan yang merekrut karyawan baru dari sektor industri yang berhubungan dengan jenis bisnisnya memiliki peluang keberhasilan lebih tinggi daripada perusahaan yang merekrut karyawan dengan pengalaman di bidang pekerjaan yang sama dari jenis industri yang berbeda.

Sebagai ilustrasi, misalkan sebuah perusahaan di industri farmasi membutuhkan manajer baru di bidang sumber daya manusia. Maka, menurut studi tersebut, lebih baik merekrut manajer marketing dari perusahaan kompetitor di industri farmasi daripada merekrut manajer SDM yang sebelumnya bekerja di industri perbankan.

Studi tersebut cukup menggambarkan pentingnya menjadi spesialis di suatu industri tertentu di satu sisi, tapi juga menjadi generalis yang menguasai berbagai bidang ilmu pada saat yang bersamaan. Kemudian, pada saat dibutuhkan, seorang pakar marketing dituntut untuk mampu mempelajari ilmu sumber daya manusia yang ia perlukan saat jabatannya dirotasi.

Bukti sejarah

Orang-orang hebat pada masa lalu ternyata merupakan generalis dan spesialis pada saat yang sama. Meskipun Leonardo Da Vinci lebih dikenal sebagai seniman, ia memiliki ketertarikan terhadap matematika, anatomi, hingga teknik penerbangan.

Begitu pula dengan Ibnu Sina yang mendalami ilmu medis, astronomi, dan filsafat di saat bersamaan. Artinya, penulis pun optimis manusia akan selalu mampu bertahan hidup dan mampu mengatasi tantangan dunia pada masa depan.

Syaratnya hanya satu: manusia harus memanfaatkan kapasitas dirinya untuk menjadi seorang generalis spesialis pada saat bersamaan, yang adaptif dan tidak pernah berhenti belajar.The Conversation

Muhammad Yorga Permana, Lecturer in School of Business and Management ITB and PhD Student in Economic Geography, London School of Economics and Political Science

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: