Aksel Tømte, University of Oslo

Industri kelapa sawit kerap membanggakan diri dengan kesuksesannya memberantas kemiskinan di daerah-daerah pelosok negara-negara tropis, sebuah kesan yang didukung oleh artikel The Conversation baru-baru ini.

Tapi, benarkah demikian?

Jawabannya tergantung pada area mana yang ditinjau dan metode apa yang digunakan.

Memang ada studi kasus yang menemukan bahwa petani yang bekerja dalam industri kelapa sawit dengan ketentuan yang memihak mereka dapat meningkatkan pendapatan mereka secara signifikan

Namun, sejumlah studi kasus juga menunjukkan bahwa ada masyarakat yang terlibat dengan industri kelapa sawit dengan ketentuan yang merugikan mereka. Mereka bisa jatuh miskin, kehilangan lahan, serta mata pencaharian mereka.

Pembangunan yang positif, bukan hanya pengembangan

Kelapa sawit membawa perubahan besar bagi beberapa pihak yang terdampak langsung. Komoditas ini bisa mengubah hak pengusahaan lahan dan sumber daya alam. Komoditas ini juga bisa mengubah seluruh aspek ekonomi lokal, seperti di mana orang mendapatkan makanan, air dan bahan bangunan, serta bagaimana mereka menghabiskan uang mereka.

Ambil contoh, Desa Sarapat yang terletak di provinsi Kalimantan Tengah.

Sebelumnya, warga desa Sarapat bertani padi dan sayuran, menggunakan air sungai untuk minum, memancing dan mandi di sungai, menyadap karet dan mencari bahan bangunan di hutan.

Namun hal tersebut berubah ketika tahun 2007, sebuah perusahaan kelapa sawit mulai beroperasi di wilayah tersebut.

Awalnya, pemuka masyarakat sepakat menolak adanya rencana pengembangan kelapa sawit, tapi perusahaan tersebut tetap saja melakukan pembukaan lahan hutan dan pertanian bagi kelapa sawit.

Semenjak perkebunan kelapa sawit berjalan, sungai tercemar akibat pupuk, pestisida serta limbah lainnya. Hasilnya, sungai tersebut tidak layak digunakan oleh manusia untuk menangkap ikan, mandi, hingga kebutuhan lainnya.

Mayoritas penduduk desa tersebut harus kehilangan tanah yang sebelumnya merupakan sumber penghasilan. Mereka yang dulunya berprofesi sebagai petani dan nelayan, kini beralih menjadi buruh harian di perkebunan kelapa sawit.

Sebagian besar bergantung kepada pasar untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Melihat apa yang terjadi di Desa Sarapat, kesejahteraan suatu wilayah tidak hanya bisa dilihat dari indikator moneter atau jumlah pekerjaan formal.

Dua studi baru menerapkan metodologi yang menilai tingkat kesejahteraan menggunakan berbagai indikator.

Dalam sebuah penelitian yang akan terbit, Institute for Economic, Social and Cultural Rights membandingkan kesejahteraan 12 desa di Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Hasilnya, dari beberapa desa yang menanam kelapa sawit, penduduk desa tersebut memang memiliki pendapatan yang lebih tinggi, namun akses ke makanan, air, dan kesehatan lebih rendah dari desa yang tidak menanam komoditas tersebut.

Sekelompok akademisi internasional juga membandingkan tingkat kesejahteraan di berbagai jenis desa di Kalimantan dan mendapatkan temuan serupa.

Dampak sosial dari kelapa sawit mungkin lebih positif di beberapa daerah lain–misalnya, di beberapa bagian Sumatra (lihat tautan di atas).

Dalam sebuah tulisan opini yang terbit pada Mei 2019, Marcus Colchester dari Forest Peoples Programme , sebuah organisasi non profit berbasis di UK yang fokus dengan isu kehutanan, lahan, dan masyarakat adat, menyatakan bahwa pertanyaan yang mesti diajukan adalah bukan tentang kelapa sawit bisa berkontribusi terhadap pembangunan atau tidak, namun kondisi apa yang bisa membawa pembangunan yang positif.

Konflik dan perampasan lahan

Pembangunan dan kelapa sawit membuat kita merenungi bagaimana cara mengurangi dampak negatif, seperti konflik dan perampasan lahan, dari komoditas ini. Kedua hal ini terjadi di Indonesia.

Perkebunan kelapa sawit telah mencakup sekitar 14 juta hektare di Indonesia, yang sebagian besar dikuasai oleh perusahaan perkebunan besar.

Upaya perusahaan kelapa sawit mendapatkan hak atas tanah berbeda-beda, namun biasanya dibarengi dengan ketegangan. Sejak tahun 2014 hingga 2018, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendaftarkan 1.771 konflik lahan di Indonesia. Konflik tersebut menelan korban – 41 orang tewas, 546 diserang, dan 940 petani dan aktivis dituntut pidana. Kasus konflik kelapa sawit mendominasi dibanding sektor lainnya.

Banyaknya konflik yang terjadi dikarenakan tingginya korupsi di sektor kelapa sawit yang (telah dikonfirmasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)), kurangnya transparansi akan konsesi perkebunan kelapa sawit (seperti penolakan pemerintah untuk mengeluarkan data penggunaan lahan), lemahnya penegakan hukum, dan terbatasnya partisipasi masyarakat dalam proses pengembangan perkebunan, seperti dalam contoh Desa Sarapat yang disebutkan sebelumnya.

Kedua, petani dapat kehilangan tanah mereka melalui proses yang berdasarkan permintaan dan penawaran di pasar. Hal ini terjadi misalnya ketika seseorang secara sukarela (kurang lebih) menjual tanah mereka untuk mengelola utang atau pengeluaran berlebihan.

Semua kasus tersebut terdokumentasi dengan baik, misalnya dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tania Murray Li dari The Institute for Ecosoc Rights.

Melindungi petani skala kecil

Skema pembangunan perkebunan skala besar seringkali berangkat dari asumsi bahwa perusahaan agribisnis global lebih efektif daripada petani skala kecil. Pandangan tersebut tercermin dalam artikel di The Conversation.

Sebuah penelitian dari Kajian Penilaian Internasional Pengetahuan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pertanian untuk Pembangunan atau Laporan Pertanian Dunia membantah hal tersebut.

Laporan yang disusun oleh lebih dari 400 ilmuwan berbagai disiplin ilmu yang bekerja bersama selama empat tahun, menyanggah mitos bahwa pertanian industri lebih unggul daripada pertanian skala kecil. Sebaliknya, laporan itu menyatakan bahwa pertanian skala kecil lebih unggul dalam hal ekonomi, sosial dan ekologi.

Pertanian keluarga menghasilkan sekitar 80% makanan dunia. Demi kesejahteraan petani, keberlanjutan ekologis, dan ketahanan pangan, kebijakan harus dibuat untuk mempertahankan pertanian skala kecil dan meningkatkan keamanan dalam hal kepemilikan tanah.

Di Indonesia, hal ini bisa berarti memperkuat transparansi dan supremasi hukum, termasuk dengan merilis data penggunaan lahan.

Penting juga untuk mengakui kepemilikan tanah lokal–secara individu atau kolektif–terlepas dari adanya rencana pembangunan perkebunan.

Pengambil kebijakan juga harus menetapkan proses pengambilan keputusan yang lebih inklusif di tingkat lokal, bahkan jika itu berarti akan menunda investasi agar masyarakat bisa memutuskan hal-hal terkait lokasi perkebunan dan aturan-aturan yang harus dipatuhi.

Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa InggrisThe Conversation

Aksel Tømte, Head of Business and Human Rights at Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: