Sudirman Nasir, Universitas Hasanuddin

Ketika kita berbicara tentang ketimpangan, korban yang umumnya kita bayangkan adalah warga miskin. Namun kenyataannya, ketimpangan berdampak buruk pada semua bagian masyarakat, termasuk warga kelas menengah dan kelas atas.

Oxfam dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) awal tahun ini mengeluarkan laporan tentang ketimpangan yang mengungkapkan bahwa dalam dua dasawarsa terakhir jurang antara si kaya dan selebihnya orang Indonesia semakin lebar dibanding negara tetangga di Asia Tenggara. “Empat orang terkaya di Indonesia sekarang memiliki lebih banyak harta dibandingkan 100 juta warga termiskin,” laporan itu menyebutkan.

Ketimpangan di Indonesia, diukur dengan indeks Gini, naik dari 0,30 pada tahun 2000 ke 0,41 tahun 2015. Gini, dikembangkan oleh Corrado Gini dari Italia pada 1912, mengukur pemerataan penghasilan dari skala nol hingga satu. Nol artinya pemerataan sempurna dan satu artinya seluruh penghasilan di negara itu dikuasai oleh satu orang saja.

Melebarnya ketimpangan di Indonesia akan meningkatkan risiko kesehatan masyarakat, seperti rentannya warga terhadap penyakit-penyakit yang menyerang fisik dan mental, serta meningkatnya kekerasan yang berdampak pada seluruh masyarakat.

Ketidakadilan itu beracun, membuat kita tidak bahagia

Ketimpangan memecah belah dan menggerus kehidupan bermasyarakat. Banyak riset menunjukkan semakin lebar ketimpangan antara yang kaya dan miskin, maka semakin buruk masalah sosial dan kesehatan di masyarakat tersebut.

Masalah kesehatan dan sosial yang lebih buruk artinya ada lebih banyak orang dengan penyakit fisik dan mental, lebih banyak orang yang melakukan kekerasan, dan rasa saling percaya yang rendah di masyarakat. Situasi ini memberi peluang pada penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika, lebih banyaknya orang yang masuk penjara, maupun kehamilan di kalangan remaja.

Kesejahteraan anak terancam sehingga besar kemungkinan prestasi anak-anak tersebut di bidang matematika dan membaca rendah, sehingga memperkecil kesempatan mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada orang tua mereka.

Penelitian-penelitian baru menyarankan bahwa mengurangi ketimpangan antara yang kaya dan miskin bisa membantu mengatasi masalah kesehatan dan sosial tersebut. Mereka menyimpulkan ketimpangan dan ketidakadilan meracuni kesehatan dan kesejahteraan kita.


Baca juga: Memetakan kemiskinan tidak cukup hanya menghitung jumlah orang miskin


Data dari Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 mengatakan bahwa 6% dari populasi Indonesia di atas usia 15 tahun, atau sekitar 14 juta orang, menderita depresi dan kecemasan. Diperkirakan 400.000 orang mengalami penyakit mental serius dan 57.000 diantaranya dipasung atau pernah dipasung. Untungnya, Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun 2014 menyatakan memasung orang adalah pelanggaran hukum. Namun Indonesia membutuhkan upaya lebih dari sekadar peraturan.

Situasi tak adil mendorong perilaku berisiko

Dalamnya ketimpangan juga mempengaruhi bagaimana orang menilai dirinya sendiri di masyarakat. Kate Pickett dan Richard Wilkinson, dua peneliti kesehatan masyarakat yang terkemuka, mengatakan di buku mereka yang terkenal “The Spirit Level”, bahwa lebarnya ketimpangan mendorong “persaingan status” dan “perasaan tidak aman mengenai status” di kalangan baik orang dewasa maupun anak-anak di seluruh kelompok penghasilan.

Persaingan dan perasaan tidak aman mendorong keterasingan dan kerentanan, seperti meningkatnya stres dan rasa frustasi, pada individu-individu. Hal-hal ini meningkatkan perilaku berisiko seperti merokok berat, ketergantungan pada alkohol, melakukan kekerasan, atau bahkan bunuh diri.

Laki-laki ini dipasung selama sembilan tahun di ruang belakang rumah keluarganya di Cianjur, Jawa Barat. Ketika ia dilepaskan, kakinya menciut karena tak pernah digunakan. Andrea Star Reese untuk Human Rights Watch, CC BY-NC-ND

Bukti memperlihatkan perbedaan yang kentara dalam hal kesejahteraan antara negara-negara yang tingkat ketimpangannya berbeda-beda. Kasus pembunuhan disengaja pada tahun 2011 di Amerika Serikat, di mana ketimpangan cukup dalam, adalah 47 orang untuk setiap satu juta orang. Bandingkan angka tersebut dengan negara yang penghasilannya lebih merata: 15 orang di Kanada dan tiga di Jepang untuk setiap satu juta orang.

Melindungi masyarakat dari masalah sosial seperti kriminalitas membutuhkan biaya yang tak sedikit. Kita akan perlu mengalokasikan dana lebih banyak untuk kerja polisi, pemeliharaan penjara, dan layanan publik untuk mengatasi masalah kriminalitas tersebut, kadang dengan biaya tinggi namun hasil tak seberapa.

Warga kelas menengah dan kelas atas menderita juga dalam situasi tak adil karena ketakutan, ancaman, dan biaya yang berkait dengan masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh, ketakutan dan kecemasan yang ditimbulkan dari ancaman nyata kejahatan, mulai dari kejahatan kecil-kecilan hingga perampokan sadis di jalanan kita.

Dampak ekonomi, sosial, dan psikososial dari kejahatan-kejahatan ini sangat besar karena mereka bisa mengancam jiwa, menyebabkan luka berat, trauma, cacat, atau kematian.

Kesetaraan itu baik dan mungkin dicapai

Riset-riset menyimpulkan, mayoritas—antara 90% sampai 95% dari populasi—mendapatkan manfaat dari kesetaraan yang lebih baik. Kita, terutama pemerintah dan swasta, harus menanggapi rekomendasi Oxfam dan INFID secara serius.

Masyarakat yang setara akan menguntungkan kita semua; kita akan punya kesempatan yang lebih baik untuk memperbaiki hidup kita dan akan lebih mampu untuk hidup berdampingan dan bekerja sama. Kita akan mengalami lebih sedikit kekerasan, kejahatan, ketergantungan narkotika, obat terlarang dan alkohol, maupun bunuh diri dalam masyarakat yang lebih setara.

Kajian-kajian tentang kesehatan jiwa mengkritik fokus berlebihan pada solusi individual untuk penyakit mental dan meresepkan kesetaraan sebagai bagian dari penyembuhan. Penanganan individual seperti terapi dan obat-obatan tentu saja telah menyembuhkan banyak orang, tetapi kajian-kajian ini juga menyarankan perlunya “solusi sosial”. Kita perlu mengurangi ketimpangan, karena bukti-bukti telah menunjukkan bahwa kesehatan jiwa kita sangat peka terhadap ketimpangan.

Meraih kesetaraan adalah mungkin. Kebijakan publik yang sehat bisa menyumbangkan jalan keluar dari siklus ketimpangan antargenerasi dengan cara mengatasi berbagai faktor pendorongnya.

Pemerintah Indonesia memiliki berbagai pilihan untuk memerangi ketimpangan. Salah satunya adalah memperbaiki pelayanan tingkat lokal dalam hal gizi, sanitasi, kesehatan, keluarga berencana, dan pendidikan, yang merupakan hal-hal penting yang menentukan awal yang baik bagi generasi mendatang. Cara lain adalah memperbaiki program perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai bersyarat, subsidi pendidikan, dan pelatihan kerja bagi pemuda pemudi.

Kita akan membutuhkan lebih banyak dana untuk melakukan semua itu tapi kita bisa mendapatkan uangnya jika kita melawan korupsi, melaksanakan sistem perpajakan yang lebih adil, dan memaksa lebih banyak wajib pajak untuk membayar. Kombinasi antara program struktural dan individual bisa mempersempit ketimpangan dan mendorong kesehatan dan kesejahteraan.

Masa depan pembangunan bangsa kita bergantung tidak hanya pada indikator ekonomi yang bersifat permukaan seperti pertumbuhan ekonomi tetapi juga ukuran-ukuran yang lebih bermakna: masyarakat yang lebih setara dan adil.The Conversation

Sudirman Nasir, Lecturer and researcher at the Faculty of Public Health, Universitas Hasanuddin

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: