JAKARTA, GRESNEWS.COM - Isu korupsi masih menjadi masalah mendasar bagi bangsa Indonesia yang harus dituntaskan. Munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk pada 2003 memberi angin segar. Harapan begitu membuncah pada lembaga ini untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia.

Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tapi tak sedikit upaya-upaya yang mencoba menghadang Komisi ini dalam menjalankan tugasnya.

Mulai tahun 2013, KPK melakukan terobosan dengan menerapkan pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang pada kasus-kasus dugaan korupsi yang disidiknya. Tak tanggung-tanggung, lembaga antikorupsi itu menggunakan dua UU TPPU sekaligus, yakni UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sebut saja mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dan kawannya, Ahmad Fathanah; mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo; serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Wa Ode Nurhayati. Semuanya divonis hakim bersalah melakukan tindak pidana korupsi sekaligus pencucian uang.

Keempat orang itu dijatuhi hukuman berat dan hartanya yang dianggap terbukti berasal dari tindak pidana korupsi juga disita negara. Untuk mereka yang divonis pada 2013, yakni Luthfi, Fathanah, dan Djoko, lama hukumannya di atas 10 tahun penjara. Luthfi divonis 16 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan dalam kasus suap dan TPPU kuota impor daging sapi.

Sejumlah harta Luthfi berupa rumah maupun mobil disita untuk negara. Dalam kasus yang sama, Fathanah divonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Sama halnya dengan Luthfi, harta Fathanah yang dianggap berasal dari tindak pidana korupsi juga disita negara.

Sementara itu, Djoko diperberat hukumannya di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dari 10 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar. Jenderal bintang dua yang tersangkut kasus korupsi simulator SIM ini pun diharuskan membayar uang pengganti kerugian negara sekitar Rp 32 miliar subsider lima tahun kurungan seperti yang dituntut jaksa KPK. Belum lagi, harta Djoko yang dianggap berasal dari tindak pidana korupsi diperintahkan untuk disita negara.

Sayangnya penggunaan TPPU oleh KPK ini masih menjadi kontroversi. Dalam beleid TPPU tidak menyebutkan secara jelas jaksa KPK boleh melakukan penuntutan kasus TPPU. Sehingga ada hakim yang menyebutkan Jaksa KPK tak berwenang melakukan penuntutan kasus TPPU. Nah untuk mengetahui perkembangan soal KPK hingga penggunaan TPPU itu, reporter Gresnews.com Mungky Sahid bersama juru foto Edy Susanto mewawancarai pakar ahli hukum pidana dan salah satu Tim Perumus UU KPK, Romli Atmasasmita di kantornya Jalan Brawijaya IX Nomor 8A, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (28/2). Berikut petikannya :

Bisa diceritakan awal pembentukan UU KPK?
Awalnya itu karena TAP MPR Nomor (11) Tahun 1998 diubah tahun 2000, isinya tentang pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Karena itulah kemudian kami mencoba membuat suatu pandangan bagaimana pemberantasan korupsi di Indonesia dan waktu itu kami sepakat bahwa itu harus jadi pengecualian. Jadi memang tindak pidana yang berdiri sendiri diatur dengan undang-undang ini. Tidak mungkin diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karena KUHP itu adalah tindak pidana yang sifatnya konvensional. Kejahatan yang tidak berdampak pada kepentingan rakyat banyak, nah itu persoalan yang kami hadapi. Pada saat itu tahun 1998, akibat dari rezim orde baru itu, kepolisian dan kejaksaan kan tidak efektif, karena dikuasai oleh pemerintah, intervensi, kami ragu bahwa korupsi bisa diselesaikan oleh pemerintah, karena memang korupsi itu dilakukan oleh pejabat negara, pemegang kekuasaan. Jadi kami pikir perlu ada lembaga baru. Sehingga pada saat kami menyusun Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 akhirnya pemerintah membentuk KPK. Usul awal itu adalah hasil musyawarah, negosisasi antara pemerintah dan DPR pada waktu itu yang kemudian kami minta dimasukkan juga pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik itu kemudian tidak disetujui. DPR takut kemudian kami minta juga (kepada DPR) bukti elektronik sebagai alat bukti. Disetujui, tapi sebagai petunjuk. Oke lah!

Nah pada waktu Undang-Undang itu berubah jadi Nomor 20 Tahun 2001 barulah kita masukkan Pasal 37 a, pembuktian terbalik terbatas terakhir. Tapi itupun setelah KPK kami bentuk, kami persiapkan. Dan usul pertama dari Fraksi PPP. Kalau Anda mau pakai istilahnya ini (lembaga KPK) harus ada. Jadi pembuktian terbalik dan KPK ini adalah satu jalur, satu rangkaian. Oleh karena KPK yang bisa melakukan itu, ya KPK kami bentuk. Jadi pembentukan KPK itu karena dua lembaga (kepolisian dan kejaksaan) itu tidak efektif.

Ke mana saja studi bandingnya?
Saat itu setelah TAP MPR Tahun 1999 itu keluar. Pada saat perintah pembentukan KPK dikeluarkan kami mengambil alih proyek itu dan dapat bantuan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) US$1 juta, kami keliling saja, beberapa negara termasuk Hongkong, Malaysia, Singapura, Australia, ke Amerika Serikat dan kemana-mana, kesimpulan kami, KPK kita harus beda dengan negara mereka. Punya kita sendiri. Bedanya kalau mereka itu menyidik sendiri, sedangkan yang melakukan penuntutan adalah kejaksaan. Kalau di Indonesia gak mungkin, (di Indonesia itu) penyidikan sendiri, penuntutan sendiri, lidik sendiri, jadi dimonopoli (oleh KPK).


Tapi DPR protes, kejaksaan dan kepolisian, DPR kan dulu ada fraksi ABRI. Taufiqurahman Ruki itu salah satu yang menolak ada KPK, keberatan tadinya. Masa kewenangan polisi diambil KPK? Jadi karena pada waktu itu kondisinya keras, jadi ada yang beri masukan ke saya pak Romli kalau terus keras gak akan jadi ini KPK? Akhirnya saya pikir ya sudah KPK hanya menyidik kalau perlu ambil alih. Jadi kepolisian dan kejaksaan masih bisa menyelidiki korupsi, tapi kalau dia tidak mau, tidak mampu ya kita ambil alih (oleh KPK). Itu konsepnya dari ICJ saya ambil, asas complementaritas itu saya ambil dan saya masukkan ke undang-undang KPK

Siapa saja tim perumus naskah akademiknya?
Tim penyusunnya ada 13 termasuk Hamid Halid, Chandra Hamzah saya bawa, Teten Masduki, Sahetapy, Taufiqurahman Ruki, ke Australia, ke Washington kita jalan. Jadilah Undang-Undang KPK karena ada proyek dari ADB, ditunjuklah supervisor kita mantan komisioner dari ICAC Hong Kong, KPK-Hong Kong.

Setelah 11 tahun berjalan apa kinerja KPK sesuai yang diharapkan pembentuk UU-nya?
Kalau dilihat dari kinerja dari jilid I, jilid II, ya masih dalam track. Track-nya benar. Nah yang ketiga KPK mulai jauh, bukan korupsi, cuci uang. Kan awal dibentuk untuk korupsi bukan untuk cuci uang. Kemudian dalam perkembangannya muncul undang-undang pencucian uang. Nah tapi KPK waktu itu bukan menyelidiki, polisi kan? UU TPPU 2002 dan 2003 itu kan cocok dengan polisi. Tapi polisi mandek, baca PPATK gak jalan. Tidak efektif. Lalu direvisi UU TPPU itu 2010, Yunus Husein kemudian berfikir bagaimana supaya efektif? Dimasukkannya di catatan kaki KPK bisa ikut menyidik, disamping polisi. Kejaksaan bisa, BNN bisa, pajak bisa begitulah akhirnya diperluas. Nah setelah itu barulah KPK memilih pertimbangan itu. Tapi kemudian KPK, sejak 2010, baru tahun 2012 baru bisa digunakan, kasus-kasus Wa Ode Nurhayati itu paling awal kan. Tapi kenapa dua tahun itu vakum? Karena dalam undang-undang TPPU yang direvisi tahun 2010 itu tidak menyebutkan KPK itu berwenang menuntut pencucian uang, hanya menyidik.

Debat di dalam saya dengar, bisa atau enggak, akhirnya ditafsirkan saja, ya sudah KPK berwenang untuk (penyelidikan) pencucian uang, padahal itu salah! Tapi ya karena KPK negong (bahasa Sunda, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai nekat, keras kepala), masukkan sajalah itu ke Undang-Undang Tipikor, nanti biar hakim yang memutuskan.

Jadi kalau sekarang KPK menggunakan TPPU itu salah, sebenarnya KPK tidak punya wewenang ya?
Tidak! Malah di UU TPPU tahun 2010 itu, Pasal 74 atau 75 itu yang berhak meminta keterangan harta kekayaan dari seorang terdakwa adalah kejaksaan. Yang berhak memblokir adalah Jaksa Agung. Tidak disebut KPK, tapi lolos. Rupanya tergesa-gesa, Yunus Husein yang jadi ketua timnya (revisi UU TPPU) gak tahu itu lupa (mencantumkan wewenang KPK). Awalnya ngotot punya wewenang, setelah dibaca-baca kata Yunus Husein memang gak stated it, tapi bisa ditafsirkan macam-macamlah, melihat celahnya disitu. Padahal wewenang itu gak boleh ditafsirkan, gak boleh. Harusnya disebutkan wewenang a, b, c itu apa. Wewenang itu harus eksplisit, jelas, tegas.

Jadi kalau KPK menuntut dengan UU TPPU bisa tidak?
Oh kalau saya cacat! Itu cacat!

Jadi kasus-kasus yang menggunakan UU TPPU cacat ya?
Cacat itu! Tapi kenapa terus jalan? Ya karena hakimnya tidak ngerti. Hakim MA, Artidjo (Alkostar) gak ngerti, padahal tidak. Tapi karena LSM, pers, dukung KPK ya dianggap benar begitu.

Jadi kasus-kasus yang sedang jalan sekarang seperti Pilkada Lebak?
Bahaya begini, hukum itu kan situasional dia tidak berlaku seumur hidup, kalau KPK selesai, kalau rezim ini berubah kalau kemudian UU KPK hilang, semua terdakwa itu bisa minta ganti rugi kepada KPK. Karena korban-korban itu bisa menuntut rugi, sekalipun inkracht dasar kewenangan tidak ada, berarti kan cacat.

Setelah 3 kali periode bagaimana tanggapan anda dengan lembaga KPK?
Ya KPK ini lebih beranilah. Pimpinan sekarang ini lebih berani dan brutal. Kenapa brutal? Masa BAP bisa ke koran? Arsip sampai keluar? Sprindik bisa bocor? Hanya demi mengatakan koruptor ini brengsek. Sadapan-sadapan dibuka supaya semua orang tahu. Ini apa? He...he.. Saya pikir KPK ini sudah seperti sutradara, kita nonton sinetron ada bintang film, oh rame, oh ini main perempuan dan lain-lain. Publik itu senang benar. Nah itu sinetron.

Serius dia (KPK, -red) saya tahu itu, tapi cara-caranya itu yang saya (tidak suka). Kan ada perintah? Satu, dia koordinasi dengan para supervisi. Dua, kalau perlu dia monitoring evaluasi. Ketiga, dia lidik dan tuntut. Pembangunan dari sisi penjagaan (kerahasiaan) itu tidak jalan. Yang jalan itu cuma lidik dan tuntut, yang lainnya itu tidak jalan. Berarti KPK ini belum selesai melaksanakan Undang-Undang KPK menurut saya.

Apa menurut Anda UU KPK perlu revisi?
UU KPK itu tidak perlu direvisi. Yang penting diawasi. Pengawasan. Karena apa? Kekuasaan ini luar biasa, dia tidak boleh SP3 tapi dia boleh sadap. Boleh sadap tapi tanpa harus minta izin. Kan itu luar biasa. Di negara manapun nyadap itu perlu minta izin. Di kita memang nyeleneh, sengaja, karena situasinya memang sudah tidak benar.

Penyadapan perlu diberi batasan, agar izin ke Hakim?
Pertama perlu ada pengawasan. Diawasi saja. Maksudnya begini, perlu ada dewan pengawas di KPK, sudah saya minta, revisi dan bentuk dewan pengawas di KPK. Jadi ada yang mengawasi si pimpinan KPK, ini harusnya diawasi. Kedua, pertanggung jawaban. Perlu ada pertanggung jawaban KPK kenapa dia nyadap. Kemana dia bertanya (pelaporan penyadapan) tidak usah ke pengadilan, karena kemungkinan pengadilan yang disadap kalau hakimnya yang disadap bagaimana? Tapi kalau KPK bertanggung jawab kepada dewan pengawas, itu mungkin jadi filter. Saya kira begitu.

Dewan pengawasnya itu sebaiknya dari unsur mana?
Harus dari luar, jangan dari unsur-unsur kepolisian dan jaksa, unsur luar, akademisi boleh.

Apa benar lembaga seperti KPK juga perlu diberikan kewenangan SP3?
Jangan! Kita sudah hitung itu hanya bisa kepolisian dan jaksa, dan itu kan sudah jadi barang dagangan kan? Ya kan kita tahu penyidiknya polisi juga, penuntutnya jaksa juga di KPK, kita khawatir penyakit lama (budaya KKN di Polri dan Kejaksaan, red) itu pindah juga. Sudah kekuasaannya luar biasa, punya SP3 ya susah.

Sebenarnya ada tidak sih upaya atau gerakan untuk melemahkan KPK?
Kalau bahasa saya sih, bukan pelemahan, tapi mengkritisi. Jadi kalau kita ingin mengkritisi itu bukan melemahkan. Jadi KPK itu harus ngerti. Kan semua pimpinan KPK itu sudah doktor, kalau doktor ya tidak masalah dikritisi. Jadi kalau tidak mau dikritisi ya jangan jadi doktor. Karena kalau tidak dikritisi KPK akan jadi lembaga yang superbody. Jadi kesannya dia yang paling benar. Padahal manusia kan sering keliru.

Menurut anda RUU KUHAP apa benar mengandung pelemahan KPK?
Begini RUU KUHAP itu kita kembali ke suasana kita menjadi masyarakat yang normal. Dalam arti begini, tidak ada korupsi, tidak ada nepotisme, demokrasi sudah bagus. Karena kayanya RUU KUHAP ini niru-niru dari luar nih, semua harus izin pengadilan, betul-betul hak tersangka/terdakwa dijaga. Intinya jangan ada pelanggaran HAM, tapi ini bukan kejahatan individual, kejahatan organisasi kan, ada trafficking, ada narkobalah, korupsi, terorisme, itu kan dampaknya luar biasa. Nah kalau mereka organized. Bagaimana kita gunakan sarana-sarana hukum yang biasa-biasa saja? Yang sedikit-sedikit harus izin, ya keburu kabur.

Apakah kata "HAM" itu perlu dicantumin juga dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP?
Itu kan hanya filosofis, yang kalau dituangkan dalam undang-undang menjadi norma.

Kabarnya 11 tahun berjalan orang-orang KPK masih menemui Anda untuk menanyakan maksud dari poin UU KPK? lalu apa biasanya saran Anda?
Dulu iya, jilid I dan II iya, malah seminar ikut. Jilid III ini sekali saya pernah ikut. Setelah saya banyak kritik terus tidak diajak-ajak.

Sarannya apa?
Ya advice yang benar, sesuai dengan undang-undang. Karena kadang dia tidak mengerti ini maksudnya kemana. Kadang saya jelaskan.

Seperti soal sprindik dan dokumen kasus itu perlu dijaga atau tidak?                                                             Begini, kalau kita jadi pimpinan itu ada leadership. Jadi pimpinan KPK itu kurang kontrol ke bawah. Kalau dulu jilid I dan II itu dikontrol. Saya tahu saya ikuti. Jadi ada semacam kontrol langsung ke bawahan. Setiap habis periksa ke tersangka itu selalu langsung dipanggil ke atas. Diawasi. Jadi tidak sembarangan. Jadi dikontrol.

BACA JUGA: