JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang kini tengah dibahas Komisi III DPR menimbulkan polemik yang tak berkesudahan. Pasalnya rumusan RUU tersebut dicurigai membahayakan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan pemberantasan korupsi. Hingga tak pelak RUU ini juga dicurigai bermuatan pesanan para koruptor.

Tak tanggung-tanggung koalisi LSM antikorupsi pun berteriak agar pembahasan RUU ini dihentikan. Demikian  juga KPK, lembaga ini telah mengirimkan surat kepada pimpinan DPR dan Presiden yang intinya meminta pembahasan RUU tersebut untuk ditunda. Ada dua alasan yang membuat KPK meminta pembahasan ini ditunda. Yakni masa kerja DPR yang tidak sampai 100 hari tak memungkinkan pembahahasan RUU secara serius dan pembahasan RUU KUHAP sebagai hukum formil sebaiknya dilakukan setelah ada pengesahan RUU KUHP yang baru.

Sebenarnya seperti apakah perumusan RUU KUHAP yang digadang-gadang sebagai revisi KUHAP lama yang dinilai telah ketinggalan jaman dan terlalu berkiblat pada hukum kolonial. Gresnews.com mewawancarai Profesor Andi Hamzah selaku Ketua Tim Perumus naskah Akademik RUU KUHAP tersebut sejak 1999, dan melontarkan sejumlah pertanyaan terkait keberatan publik soal muatan dari KUHAP tersebut. Termasuk soal dugaan ditungganginya muatan RUU tersebut oleh kepentingan tertentu.

Berikut wawancara wartawan Gresnews.com Ainur Rahman dengan pakar hukum pidana Universitas Trisakti itu di kediamannya Komplek Perumahan Pratama, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Jumat (21/2). Ditemani seduhan teh dan udara senja, Andi bercerita proses penyusunan rumusan KUHAP, yang menurutnya menemui banyak kendala karena harus melakukan studi ke berbagai negara di tengah terbatasnya anggaran. Hingga harus numpang perjalanan kepada pihak lain.

Berikut petikannya:

Bisa diceritakan bagaimana latar belakang penyusunan revisi RUU KUHAP?
Pada 1999 Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) merencanakan menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru. Tapi jauh sebelumnya sudah ada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Pidana (RUU KUHP). Maka KUHAP harus diubah mengikuti KUHP.

Kami bekerja dan saya kebetulan menjadi Ketua Tim Penyusun Revisi KUHAP selama 10 tahun sampai 2009. Kemudian saya serahkan hasilnya kepada Menkumham Andi Mattalata waktu itu. RUU itu sebenarnya sudah akan dikirim ke DPR. Namun waktu itu datang polisi yang dipimpin Awaluddin Jamil meminta supaya tidak dikirim RUU itu ke DPR. Mereka meminta KUHAP sebelumnya yang tetap digunakan. Tapi Andi Mattalata tetap ingin mengirimkan draft KUHAP itu, Namun sebelum dikirim ke DPR, Andi keburu diganti Patrialis Akbar.

RUU itu lalu ditarik kembali oleh Patrialis Akbar. RUU KUHAP ditarik karena ada desakan polisi. Saat Amir Syamsuddin jadi menteri, dikirimkanlah RUU KUHAP ke Sekretaris Negara lalu dikirimlah ke DPR.

Apa inti perubahan dari RUU KUHAP ini?
Jadi inti masalahnya adanya pertentangan antara pemilik otoritas dan kebebasan. Pepatah Perancis menyatakan: ada konflik abadi antara authority (kekuasaan) dan (liberty) kebebasan. Nah kalau kekuasaan dinaikkan maka kebebasan turun seperti masa Orde Baru. Kalau kebebasan dinaikkan akan tersinggung kekuasaan.

Karena Indonesia sudah menandatangani konvensi HAM maka saat penggodokan rancangan ini akan selesai, pemerintah meratifikasi kovenan HAM tersebut. Sehingga isi KUHAP pun  harus disesuaikan dengan kovenan itu.

Masalah penahanan, penyadapan, perekaman pembicaraan tanpa izin, penggeledahan harus disesuikan dengan konvensi yang sudah diratifikasi. Maka berubahlah semua. Penahanan menjadi sangat singkat dimana penahanan disesuaikan dengan pasal 9 konvensi HAM bahwa penahanan yang diajukan penyidik sesingkat mungkin.

Di AS penahanan hanya 2 X 24 jam sama dengan Jepang. Malaysia hanya 1 X 24 jam. Belanda 3 X 24 jam oleh polisi dan 3 X 24 jam oleh Jaksa, paling lama 6 hari. Kalau di Indonesia 5 X 24 jam oleh polisi dan 5 X 24 jam oleh Jaksa, jadi 10 hari baru dibawa ke pengadilan.

Penahanan itu berupa fisik bukan sebuah surat sehingga hakim bisa melihat bagaimana keadaan orang tersebut. Tapi kalau sekarang jaksa memperpanjang 40 hari tidak melihat orangnya, apakah lumpuh atau buta. Kalau orang hamil, hakim tidak akan teken dia.

Jadi revisi KUHAP ini berbeda dari konsep awalnya?

Iya, karena di tengah-tengah jalan pemerintah meratifikasi HAM. Apalagi waktu itu, Kemenkumham sudah kehabisan biaya dan sudah enam tahun kami bekerja. Maka Hamid Awaluddin minta bantuan Amerika. Kebetulan seorang Jaksa AS Robert Strang ditempatkan di sini untuk membantu.

Namun di luar itu ada beberapa studi banding ke berbagai negara seperti Singapura, Kuala Lumpur yang dibiayai sendiri. Karena anggaranya tidak tersedia.

Tanggapan Anda soal pembahasan RUU KUHAP di DPR yang ternyata menjadi polemik?
Saya kaget. Sebab 2008 sebelum saya serahkan ke Andi Mattalata saya diundang Jimly ke kantor Wantimpres. Hadir menteri Polkam dan perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum. Dalam tertemuan itu, Jimly mengatakan bahwa RUU ini harus segera dikirim ke DPR karena banyak mengandung unsur perlindungan HAM. Kemudian saya diundang ke LBH. LBH juga menyatakan RUU ini harus segera dikirim ke DPR karena sekarang terlalu banyak penyalahgunaan kekuasaan.

Tapi kemarin saya kaget ketika LBH menolak RUU karena dinilai melemahkan KPK. Tanggung jawab saya sampai 2009, saya tidak bertanggung jawab dengan apa yang terjadi sekarang.

Ke negara mana saja studi banding Anda lakukan?
Ada 14 negara.  Ke Perancis di antaranya dipimpin Taufiqurrahman Ruki. Ikut Wakil Jaksa Agung Mohtar Arifin, Wakapolri dan Hakim Agung.

Studi banding ini menggunakan biaya sendiri. Saya ke Singapura dibiayai Trisakti. Saya juga ke Eropa mulai dari Jerman sampai Belanda. Lalu ke Skotlandia dan Inggris. Kami hanya berdua bersama orang Ombudsman.

Lalu kembali lagi ke Belanda dan Perancis. Kebetulan OC Kaligis ambil doktor. Lalu kami pergi bertiga bersama jaksa dari Ombudsman itu. OC Kaligis sudah banyak kenal dengan Jaksa dan Polisi di Perancis. OC Kaligis kebetulan ambil doktor bukan untuk studi KUHAP. Dia calon doktor di Unpad dan saya pembimbingnya. Jadi saya menyelam sambil minum air. Saya numpang ke OC Kaligis. Kebetulan orang yang diwawancarai sama dan Ombudsman untuk lembaganya.

Apakah dengan bantuan pengacara itu tidak akan ada conflict of interest
Apa itu, tidak ada. Kaligis bukan untuk KUHAP tapi untuk ambil doktor. Bukan dia saja tapi juga Romli (Atmasasmita). Tidak ada conflict of interest. Dia tak gubris KUHAP ini. Dia ke Perancis untuk dirinya sendiri.

Apa benar seperti disebut-sebut KUHAP ini  melemahkan KPK?
Dengan RUU KUHAP, dimana kebebasan dinaikkan, yang teriak harusnya yang punya kekuasaan yakni polisi dan jaksa bukan KPK yang teriak.

Mengadopsi sistem hukum banyak negara,  apa itu tidak bertentang dengan sistem peradilan di Indonesia?
Sistem peradilan di Indonesia itu Belanda. Acara pidana itu universal, sama saja. Saya sudah buka 20 KUHAP di dunia. Tidak ada beda, cuma yang beda liberty agak tinggi seperti Belanda, Jepang dan Rusia sekarang. Ada yang authority yang tinggi seperti RRC.

Jika dibanding KUHAP sebelumnya, berapa persen perubahannya?
Yang berubah 30 persen, 70 persennya sama. Masih mirip. Kita tidak bisa membuat KUHAP baru. Kita masih mangacu pada KUHAP lama sistem Belanda dan Perancis. Bukan sistem AS. Saat pakar AS datang ke Indonesia, dia mendesak untuk pindah ke sistem AS dan kami tolak menjadi advisory sysem. Jepang sudah seperti Amerika. Yang menentukan salah tidaknya orang adalah pengadilan.

Juga di Italia menganut KUHAP baru yang pindah dari kontinental ke sistem advisorial. Dengan sistem ini menaikkan liberty. Menurunkan authority, maka 10 tahun polisi Italia sempat menolak. Tapi sekarang sudah berjalan mulus.

Dalam KUHAP baru ini ada sedikit advisorial di dalamnya. Misalnya jaksa yang menentukan siapa saksi yang diperiksa bukan hakim. Berita acara, jaksa bisa minta saksi nomor 10 dulu yang diperiksa. Begitu juga pengacara bisa menambah saksi baru dengan persetujuan hakim. Jadi berbau advisorial system.

Apa benar digabungnya tahap penyelidikan dan penyidikan akan lemahkan KPK?
Tidak ada. Dan itu bukan usul saya. Usul Luhut Pangaribuan, lalu diterima oleh anggota lainnya. Tidak yang dihapus tetapi digabung. Sebab pengalaman kami setiap ada jembatan ke penyidikan selalu ada masuk angin. Seperti sakarang, ada jembatan penyidikan dengan pra penuntutan jaksa, berkas perkaranya mondar-mandir. Akibatnya ada penelitian bahwa 5500 perkara hilang. 1 tahun 50 ribu hilang. Itu bukan salah polisi tapi salah sistem. Sistem yang membuat perkara mondar-mandir, dan kita usahakan hanya 1 kali. Polisi kirim ke Jaksa hanya satu kali. Saat itu juga polisi harus beritahu jaksa akan dimulainya penuntutan. Jaksa juga harus mulai memberikan petunjuk. Maka dalam RPP (rancangan pelaksanaan) KUHAP bahwa akan ditunjuk jaksa zona, seperti Jaksel zonanya Tebet dll. Semua perkara pada zona itu akan ditangani jaksa zona. Dan jaksa itu harus memberikan petunjuknya bukan seperti sekarang. Ini terjadi di Belanda sehingga tidak ada kolusi polisi dan jaksanya. Lalu tiap satu tahun dilakukan rotasi.

Digabungnya penyelidikan apa akan berpotensi disalahgunakan polisi?
Justru mengurangi itu. Kalau penyelidikan dihentikan ada problem tidak? Penyelidikan dihentikan apa ada risiko?
Apakah tidak akan mendorong polisi main tangkap sembarangan?
Justru itu, adanya jembatan ini yang banyak disalahgunakan. Itu bukan polisi saja tapi juga jaksa. Dan ada lagi namanya intel yang juga melakukan penyelidikan. Polisi punya, jaksa punya, dan yang melakukan penyelidikan itu adalah intelnya.

Penyelidikan dihilangkan, apakah berdampak pada kewenangan KPK?
Tidak ada hubungan. Di KPK penyelidikan dan penyidikan sudah di dalam, tidak ada kontrol orang luar. Yang ada kontrol dari luar hanya polisi dan jaksa. Karena saat dimulai penyidikan harus hubungi jaksa. Kalau mau melompat dari penyelidikan ke penyidikan harus kasih tahu jaksa. Kalau KPK tidak ada. Penyidik dan jaksanya di sana. Tidak ada masalah di KPK. Yang masalah Jaksa dan Polisi karena kalau sudah dimulai penyidikan harus membuat surat pemberitahuan penyidikan.

Ada wacana untuk memisahkan fungsi masing-masing lembaga hukum. Polisi misalnya di penyidikan dan jaksa penuntutan saja?
Kita usahakan polisi dan jaksa menyatu. Karena kalau sekarang P21, polisi tidak tahu diapakan perkara itu oleh jaksa. Sudah selesai urusan penyidikan. Dengan KUHAP baru polisi dan jaksa kerjasama sampai ke pengadilan. Misalnya, saat sidang berjalan jaksa bisa tambah saksi baru. Kalau pengacara menambah saksi baru, jaksa akan kepepet. Maka jaksa bisa telepon polisi untuk tambah saksi. Kerja sama polisi dan jaksa tidak putus tapi sampai pengadilan.

RUU KUHAP disebut-sebut lebih menguntungkan advokat?
Tidak juga. Tetapi ini menguntungkan pencari keadilan. Sistem advokat di Indonesia beda dengan Jepang. Kalau Jepang, jaksa dan advokat satu almamater. Di sidang tidak ada pertentangan jaksa dan advokatnya. Putusannya selalu di tengah, jaksa minta 1 tahun, pengacara akan minta 6 bulan penjara saja dengan percobaan 1 tahun.

Tim perumus KUHAP ada berapa orang?
Ada 20 orang, di antaranya ada Simanjuntak dari Mahkamah Agung. Susno Duadji, MA Rahman, Adnan Buyung. Jadi ini bukan buatan saya sendiri. Dan yang meminta penyelidikan dan penyidikan digabung Luhut Pangaribuan.

Siapa saja tenaga ahli penyusunan KUHAP ini?
Dari Amerika Serikat, Profesor Stephen C Thamaan dan Robert Stang, dari Belanda Nico Kijzer dan Scahffmeister.

Sebaiknya RUU KUHAP ini jalan terus apa dihentikan?
Saya sudah telepon Menkumham, kalau ditunda atau ditarik kembali saya akan mundur jadi ketua tim dan saya tidak bertanggung jawab. 

BACA JUGA: